Kunikmati hidup yang terasa berwarna meskipun ada kehampaan dari sisi hatiku yang lain."Aku percayakan semua urusan padamu sekarang, kau tak usah lagi mengurus penjualan. Kau bertugas memeriksa semua laporan masuk saja. Uang keluar dan uang masuk aku percayakan padamu, aku hanya memeriksa hasil akhir saja.""Tapi, Mbak .... Apa aku pantas menerima tugas ini?""Apa kau tak yakin dengan dirimu sendiri. Bagaimana kau bisa berkata seperti itu. Apa kau tak ingin ada kemajuan dalam pekerjaanmu?""Tentu saja aku mau, Mbak. Tapi bagaimana Mbak begitu percaya padaku setelah ....""Mengapa kau mengungkit hal yang telah berlalu. Bukankah kau sudah berusaha untuk berubah dan aku percaya padamu. Lebih baik menjadi mantannya orang buruk dari pada menjadi mantannya orang baik."Dadaku berdegup saat mbak Alya membicarakan orang baik yang berubah buruk, bukankah itu mas Bara? Dan selama ini aku sukses menutupi keburukan mas Bara dari orang di sekelilingku. Mereka mengira hubunganku baik-baik saja sepe
Aku pulang bersama mama, Afnan tertidur di pangkuanku karena kelelahan. Dia tak berhenti sepanjang hari tadi.Mama tersenyum saat melirik cucunya yang tengah tertidur pulas."Puas sekali dia hari ini.""Iya, Ma. Oh ya tadi mas Bara sudah pulang belum, Ma?""Aku tidak bertemu Bara hari ini, aku malas untuk meneleponya, jarang dia mau mengangkatnya. Aku kira kalau kau sudah meneleponnya. Entah juga dia sedang mengawasi toko yang mana."Ternyata mama juga malas menghadapi mas Bara. Memang semenjak mas Bara tahu jika mama sering berada di pihakku, mas Bara jadi kurang akrab dengan mamanya sendiri."Ya sudahlah, Ma. Nanti juga pulang sendiri.""Kamu yang sabar ya Aruna. Semoga Bara akan menyadari kesalahannya sesuatu saat nanti.""Entahlah, Ma. Aku masih bisa berharap atau tidak."Aku tersenyum masam saja. Hatiku sepertinya juga sudah membeku tak ada rasa lagi.Kubaringkan tubuh putraku senyaman mungkin, kucium pipinya yang menggemaskan itu.Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk menyegark
"Bara benar-benar sudah pergi, ada apa dengan dirinya sampai berbuat senekat ini?""Aku tidak tahu, Pa. Akhir-akhir ini Bara hanya banyak diam.""Dia sungguh tega meninggalkan kita, orang tuanya sendiri yang sudah mengurusnya dan membesarkannya."Mama tidak lagi menyahut tapi kemudian terdengar Isak tangisnya.Tiga hari sudah mas Bara tidak ada kabar beritanya. Dan belum ada satu pun pihak yang bisa memberikan informasi tentangnya. Baik dari masyarakat sekitar, teman kerja maupun pihak kepolisian. Jejak mas Bara sangat sulit untuk ditemui.Aku terdiam dalam rasa yang sama sekali tak nyaman. Aku tidak berani angkat bicara. Sesungguhnya mereka pun tahu jika masalah mas Bara bukan dari mereka tapi dari diriku."Apa kau sudah menghubungi Citra?"Tanya Papa. Papa yang biasanya banyak diam kini jadi banyak bicara setelah kehilangan anak lelaki tersayangnya "Sudah, tidak ada sangkut pautnya masalah ini dengan Citra. Bahkan kini Citra sudah bertunangan dengan tetangganya di kampung.""Lantas
"Apa kau masih sakit, Aruna?"Tanya mbak Alya saat melihatku datang. Afnan langsung digendong ibu. Rumah mbak Alya sudah ramai orang. "Nggak kok, Mbak. Aku sudah merasa lebih baik.""Tapi masih pucat, kau pasti belum ke dokter ya?""Sudah Mbak, aku ini baik-baik saja. Jangan khawatir. Yok ah Mbak aku mau membantu yang lainnya. Masa datang cuma buat ngobrol nggak enak lah."Aku langsung masuk dan bergabung dengan yang lainnya. Aku ingin melupakan masalahku sejenak dengan melakukan kesibukan dengan mereka. Aku takut ibu dan mbak Alya semakin mencurigaiku. Biar nanti saja jika waktunya sudah tepat aku akan bicarakan masalahku ini. Siapa tahu mbak Alya bisa memberi masukan yang baik.Selepas Maghrib datanglah tamu yang sangat di tunggu oleh kami semua. Pihak keluarga mas Yusuf kekasih mbak Alya bersama rombongannya."Tampan sekali mas Yusuf, Mbak. Sangat sesuai dengan namanya. Mbak sudah mengenalnya lama?""Satu tahun yang lalu kami mulai dekat. Dia pemilik perusahaan yang menjadi mitra b
"Jadi kau tidak mengatakan apa pun pada keluargamu, Aruna?"Tanya mama Resti dengan nada rendah.Aku menggeleng.Kulihat Ibu dan mbak Alya saling berpandangan."Apa yang terjadi, Aruna?"Tanya ayah.Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tidak mau disalahkan tapi aku tidak bisa membela diriku."Katakan, ayo jangan takut."Mbak Alya menyentuh pundakkuAku melihat ke arahnya. Mbak Alya mengangguk. "Mas Bara pergi dari rumah karena bertengkar denganku."Kataku kemudian dengan sangat berat dan itu pun sudah dengan gemetaran.Semua terkejut kecuali mama Resti."Sejak kapan?"Tanya mbak Alya."Kenapa kau tak bilang pada kami kalau suamimu pergi."Lanjut ayah."Apa kalian ada masalah sampai Bara meninggalkan rumah?"Tambah ibu.Sungguh aku bingung sekali untuk memulai dari mana."Bara sudah tidak ada kabarnya dari seminggu ini, dia sudah tercatat sebagai orang hilang di kepolisian."Ujar mama Resti memberi penjelasan pada keluarga yang sudah barang tentu tid
Aku masih tergugu, semua diam. Tidak ada yang berani angkat bicara.Ayah, ibu dan mbak Alya sama-sama merasa kecewa padaku. Lagi dan lagi aku membuat masalah untuk mereka."Permisi Bu Alya, mau ditaruh dimana barang-barang ini?"Seseorang itu muncul di pintu depan. Aku tahu kalau itu orang suruhan mama Resti untuk mengirimkan barang-barangku ke sini. Mbak Alya melirikku yang tak bergeming sama sekali.Mbak Alya yang bangkit karena melihat yang lain diam."Tolong bawa masuk semua, Pak.""Baiklah, Bu."Mbak Alya saja yang membantu suruhan mama, memasukkan barang-barangku ke dalam kamar yang biasa aku tempati jika aku bermalam di sini."Terima kasih ya, Pak.""Sama-sama, Bu.""Sekarang susun barang-barangmu itu, aku tidak ingin kau tidak merapikannya."Suruh mbak Alya padaku saat orang suruhan mama sudah pergi."Biarkan dulu, Mbak. Aku mau pergi. Tolong titip Afnan.""Berhenti, kau tak boleh pergi."Suara ayah menghentikan kakiku yang hampir melangkah ke luar."Aku harus pergi ayah, tolon
"Ayo Afnan, pilih mainanmu yang akan kita bawa ke rumah ibu Alya. Ayo, cepatlah sedikit.""Iya, Ibu."Afnan sibuk memasukkan mainan yang dipilihnya. Aku mengeluarkan sepeda motorku."Sudah belum?""Udah, Ibu."Langkah kecil Afnan terdengar sudah ke luar rumah, aku tersenyum melihatnya menenteng kantong plastik berisi mainan yang akan dimainkannya di rumah mbak Alya nanti dan aku bisa bekerja dengan nyaman karenanya.Aku menaikkan Afnan di kursi depan kemudian menghidupkan mesin sepeda motorku. Sepeda motor melaju dengan tenang seperti tenangnya hatiku setelah melewati beberapa hari yang cukup menyiksaku. Hampir satu bulan ini aku menjalani hari dengan kegiatan yang sama dan aku sudah mulai merasakan kenyamanan hidup bersama Afnan saja. Aku berusaha menepiskan semua bayangan yang menggodaku untuk mengungkit kenangan masa laluku. Aku tak mau."Hai, Afnan.""Hai, Ibu Alya."Afnan langsung ikut ibu Alya-nya masuk ke dalam rumah, di sana ada mbak Siti yang akan ikut menjaga dan mengawasiny
"Aruna, gawat!"Belum juga aku mematikan sepeda motorku mbak Alya sudah terburu-buru menghampiriku. Sepertinya dia sedang cemas."Ada apa, Mbak?"Aku sengaja membawa Afnan menjauh dari sepeda motor, dia hobi sekali bermain-main dengan sepeda motor yang sedang berhenti, Afnan suka naik-naik dan aku takut jika tangannya menyentuh knalpot yang masih panas.Aku tahu jika mbak Alya akan membicarakan masalah serius denganku."Aruna, aku tidak bisa membatalkan janjiku pada mas Yusuf. Acara yang akan dihadirinya sangat penting dan aku sudah telanjur berjanji padanya untuk mendampinginya. Terus tadi aku menerima telepon dari Farida itu, dia mengundangku untuk bertemu dengannya. Katanya dia ingin mengadakan kerja sama dengan kita. Aduh aku jadi bingung, Aruna. Aku tidak bisa membuat mas Yusuf kecewa tapi bagaimana kalau Farida kecewa karena aku tidak bisa datang?"Aku tidak bisa berpikir secara jernih. Mbak Alya bicara dengan sangat tergesa-gesa sekali."Kalau kita tidak menemui Farida jangan-ja