"Permisi, Pak RT. Kami ingin membicarakan tentang pernikahan tadi malam!" ucap Danny mewakili Camelia yang berdiri di sampingnya.
Teras depan rumah tokoh penting di Desa Terban itu terasa sejuk dan asri pagi ini. Pria yang empunya rumah tersebut mempersilakan Danny dan Camelia masuk ke ruang tamu terlebih dahulu untuk melanjutkan perbincangan.
"Baik, jadi maksud Mas Danny dan Bu Camelia bagaimana?" tanya Pak Joko Sumitro sambil duduk berhadapan di sofa rumahnya.
"Saya hanya mengantarkan Camelia ke mari, Pak. Dia tidak setuju dinikahkan paksa secara mendadak seperti yang terjadi tadi malam!" jawab Danny lalu menoleh ke wanita berambut hitam lurus sepunggung itu.
Camelia langsung menyahut, "Benar kata Mas Danny. Saya menolak pernikahan ini. Kami tidak melakukan hal yang bertentangan dengan norma kesopanan di masyarakat, Pak RT. Jadi ... tolong bantu kami membatalkan pernikahan!"
Namun, Pak Joko menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata dengan tegas, "Maaf, tidak bisa. Ijab kabul disaksikan oleh wali dan saksi dari warga di hadapan penghulu yang berwenang. Pagi ini saya malah mau masukkan laporan ke kantor kelurahan. Data mempelai sudah lengkap ada di tangan saya berupa foto copy kartu keluarga dan KTP. Buku nikah akan segera terbit, mohon ditunggu saja, akan saya kirim ke rumah Mas Danny kalau sudah disahkan pejabat kependudukan!"
"Nggak—saya menolak jadi istri Mas Danny, Pak RT. Dia masih remaja, saya jauh lebih dewasa. Bagaimana kalau kami bercerai saja?!" bantah Camelia yang sulit menerima kenyataan pahit ini.
Pak RT menghela napas, dia lalu menasihati Camelia dengan suara berwibawa, "Bu, nasi sudah jadi bubur. Kejadian tadi malam itu disaksikan oleh setidaknya lima warga setempat dan saya sendiri. Demi nama baik Bu Camelia dan Mas Danny sekeluarga, tolong diterima saja pernikahan kalian. Amit-amit ya ... seumpama memang tidak ada kecocokan satu sama lain, jalan terakhir ya bercerai secara resmi. Akan tetapi, alangkah baiknya dijalani dahulu rumah tangga baru ini, jangan terburu-buru bubar jalan!"
Raut wajah wanita itu mendadak mendung. Camelia menatap Danny dengan penuh rasa antipati serta penolakan. Dia merasa dijebak oleh pemuda berusia 19 tahun tersebut.
"Maafkan aku, Lia. Segalanya jadi kacau begini. Namun, Pak RT benar. Nggak ada pilihan lain, kita jalani dulu pernikahan ini ya?" bujuk Danny sembari merangkul bahu ramping istrinya.
Tak ada lagi kata yang terucap dari mulut Camelia, dia hanya mengangguk dengan terpaksa lalu bangkit berdiri dari sofa dan tanpa pamit melenggang pergi dari rumah Pak RT. Justru Danny yang tak enak hati segera berjabat tangan dan berkata, "Maafkan istri saya ya, Pak. Kami permisi pulang, mari!"
"Nggakpapa, Mas Danny. Sudah ... dikejar saja istrinya lalu diajak pulang ke rumah!" jawab Pak Joko disertai senyuman paham.
"Hehehe. Iya, Pak Joko. Makasih!" sahut Danny lalu menyalakan mesin sepeda motor miliknya.
Si cantik yang ngambek sedang berjalan cepat menyusuri jalan area RT.002, Camelia tidak mempedulikan Danny yang ditinggalkan sendirian di rumah Pak Joko Sumitro. 'Huhh, enak aja main paksa nikah begini. Mana sama berondong yang umurnya dua puluh aja belum nyampe!' gerutu Camelia dalam hatinya. Tujuan perjalanannya jelas yaitu ke rumah kontrakan yang telah menjadi tempat tinggalnya selama tiga tahun belakangan ini.
"Tin tin tiin!" Danny membunyikan klakson sepeda motornya mengejar Camelia yang kabur dengan kecepatan turbo.
Wanita itu membuka pagar besi setinggi satu meter di depan pekarangan rumah kontrakannya lalu melangkah masuk tanpa mempedulikan kehadiran Danny yang caper mengejar-ngejar dirinya.
"Lia, kok aku ditinggalin sendiri sih?!" tegur Danny yang justru terdengar seperti rengekan bocah remaja.
Camelia memasang stecu (setelan cuek) dan lanjut melangkah melalui jalan setapak samping rumah itu menuju pintu belakang arah masuk dapur yang tak dikunci semalam.
Setelah memasang standar dan mengunci sepeda motor Kawasaki Ninja miliknya di depan teras rumah kontrakan Camelia, pemuda itu bergegas menyusul melalui jalan yang sama. Langkah kaki lebar dan cepatnya berhasil mengejar sang istri.
Di dalam dapur, Danny mencekal pergelangan tangan Camelia dan membalik badan wanita itu menghadap ke arahnya. "Kamu jangan diam saja dong, Lia. Kita bicarakan baik-baik!" ucap Danny seraya menatap wajah berbentuk hati itu lekat-lekat. Mata yang dinaungi deretan bulu mata lentik itu mempesonanya dari jarak dekat.
"Aku masih kesel!" tukas Camelia sambil menepis tangan Danny lalu bersedekap.
"Kita sudah sah jadi suami istri. Kamu tinggal bareng aku di rumah sebelah, mau ya?" bujuk Danny dengan suara bernada lembut.
Camelia menghela napas dengan bahu jatuh melunglai. "Aku lapar. Mau masak dulu. Apa kamu nggak kuliah, Mas? Ini 'kan hari Senin pagi," ujarnya lalu membuka kulkas untuk mengambil bahan.
"Nanti jam satu baru berangkat, ada kuliah sore dan praktikum di laboratorium!" jawab Danny sembari menarik satu kursi kayu, "kutemani masak, Lia. Memang mau bikin apa buat sarapan?"
"Nasi goreng aja, nasi sisa kemarin masih ada banyak. Sayang deh kalau dibuang, kamu mau juga, Mas?" tawar Camelia, sedikit melupakan kekesalannya.
"Mau banget kalau dimasakin kamu, Sayang. Telur ceplok setengah matang saja kalau boleh, Lia!" jawab Danny berusaha mengakrabkan diri dengan istri barunya.
Dengan tangan yang cekatan Camelia meracik bumbu lalu memotong-motong sayur serta sosis di atas talenan. Dia membuatkan telur ceplok setengah matang pesanan Danny. Setelah itu mendadar telur untuknya sendiri. Dalam beberapa menit aroma nasi goreng yang lezat memenuhi udara dapur minimalis itu.
'Wah, Lia jago masak deh. Semoga mau dibujuk rayu agar tetap jadi istriku ya!' batin Danny penuh harap sembari menerima uluran piring berisi nasi goreng lengkap dengan telur ceplok setengah matang. "Kayaknya sedap banget nih. Yuk kita sarapan bareng!" ujar Danny dengan wajah ceria.
Istrinya duduk di bangku kosong sebelah Danny lalu mereka mulai makan. Camelia tanpa sadar mulai melayani pemuda itu dengan mengambilkan acar dan kerupuk udang dari toples untuk Danny lalu mengisikan gelas dengan air putih juga.
"Terima kasih, Lia Sayang. Masakan kamu enak sekali!" puji Danny. Dia membelai rambut panjang Camelia yang terurai.
"Ehh ... sama-sama, Mas. Dihabisin ya nasi gorengnya!" jawab Camelia salah tingkah.
"CUP!" Sebuah kecupan basah mendarat di pipi mulus Camelia. "Sebagai tanda terima kasihku atas sarapan bikinan kamu, Lia!" ucap Danny pede.
Wajah Camelia merona seperti apel Fuji, ingin protes tapi pemuda itu kini suaminya, dia pun menghela napas lalu melanjutkan makan paginya di bawah tatapan penuh perhatian Danny.
"Mas habis ini pulang ke rumah sebelah saja. Aku mau mandi, baju-bajuku 'kan di sini. Selain itu, aku ada pesanan kue klien untuk siang nanti!" bujuk Camelia. Dia ingin tetap tinggal di rumah kontrakan saja.
Danny pun menjawabnya dengan hmm singkat tanpa penolakan. Seusai makan berdua, dia membantu mencucikan piring dan alat masak di wastafel dapur. Camelia menyeduh teh hijau di meja dapur sambil menunggui pemuda itu.
Tiba-tiba Danny berkata, "Kamu boleh kok tetap bekerja seperti biasa di sini. Tapi, ... malam balik ke rumah sebelah bareng aku. Nanti sepulang kuliah aku jemput, Lia Sayang!"
"Apa harus?" Camelia menggigit bibir bawahnya penuh keraguan.
"Harus, Istriku!" tukas Danny dengan senyuman semanis madu.
"Jadi gimana kencan kalian tadi malam, Dan?" tanya mamanya sambil sarapan di meja makan. Danny menyantap nasi soto buatan mamanya dengan lahap sembari menjawab, "Asyik dong, Ma. Lia kelihatan seneng banget diajak jalan-jalan!" "Sudah jadi bikin calon cucu Mama belum nih, Dan?" goda Nyonya Rina Sasmita. Dia juga penasaran progres pasca pernikahan kilat putranya dan Camelia.Langkah dua wanita yang berkunjung pagi-pagi ke rumah keluarga Sasmita itu terhenti di balik tembok pembatas ruang makan dengan ruang tengah. Mereka sengaja menguping pembicaraan sensitif ibu dan anak tersebut."Sabar ya, Ma. Kami masih harus saling mengenal lebih dekat lagi. Lia itu gadis pemalu, maklum dia belum pernah berhubungan intim dengan laki-laki. Danny juga nggak ingin memaksa karena takutnya dia malah ketakutan nanti!" jawab Danny. Meskipun dia termasuk badboy, tetapi didikan keluarganya tegas harus menghormati kaum wanita.Papa Danny yang sedari tadi diam menyimak pembicaraan istri dan putranya pun ber
"Malam ini langitnya indah banget ya, bintang-bintang kelihatan jelas. Makasih sudah ngajakin aku jalan-jalan keliling kota Yogya, Mas!" ucap Camelia sembari memeluk lutut duduk di atas rerumputan lapangan Alun-alun Kidul bersebelahan dengan Danny.Pemuda itu tersenyum berbagi tatapan syahdu bersama pujaan hatinya. "Aku ikut senang kalau kamu bahagia, Lia. Mungkin pernikahan ini terjadi begitu cepat dan tak terduga, tapi apa kamu pernah berpikir kalau aku jodohmu yang dikirim oleh Tuhan untuk melengkapi hidupmu?" gombal Danny tak melewatkan kesempatan sekecil apa pun."Ckckck ... Mas ini pinter bener ngerayu. Pasti dulu mantan pacarnya berderet ya?" sahut Camelia tertawa lepas seolah-olah tanpa beban."Yaa ... gitu deh. Suami kamu 'kan cakep, Lia. Baik pula!" balas Danny membanggakan dirinya."Huuu ... pedenya selangit!" tukas Camelia seraya mencubit hidung mancung suaminya. Tiba-tiba di tengah canda tawa mereka segerombolan pemuda pemudi melintas di depan mereka lalu salah satu rema
"Ma, aku ajak Lia jalan-jalan sore ya!" seru Danny dari depan pintu kamarnya seusai mandi. "Kalian makan di luar juga 'kan?" sahut Nyonya Rina yang sedang duduk di depan mesin jahit.Danny pun menghampiri ibunya seraya menjawab, "Iya, Ma. Nggak usah nunggu kami pulang nanti. Pokoknya Danny mau ajak Lia keliling kota Yogyakarta biar kami lebih akrab!" "Ide bagus tuh, Dan. Tadi pagi Lia bilang ke Mama kalau dia masih belum mantep menjalani pernikahan ini sama kamu!" dukung Nyonya Rina yang memang merestui pernikahan putra bungsunya dengan Camelia."Danny tahu itu kok, Ma. Biarlah cinta itu tumbuh dan bersemi sepanjang usia kami. Tentang cucu, Mama sabar aja, pasti kalau aku sudah berhasil mendapatkan hatinya Lia, gampanglah ... bisa diatur!" ujar Danny dengan penuh tekad. "Ya sudah, sana berangkat, keburu gelap!" tukas Nyonya Rina, melepas kepergian putranya dengan senyuman.Pemuda itu pun mengendarai sepeda motor Kawasaki Ninja warna hijau metalik menuju ke rumah kontrakan Camelia.
"Lia, tolong maafkan kedua adik iparku yang berlidah tajam itu. Mama dan papa tidak berpikir seperti apa yang mereka katakan tentang kamu kok. Apalagi Danny juga kelihatan sayang banget sama kamu!" bujuk Nyonya Rina Sasmita sambil memeluk Camelia di teras depan rumah kontrakan."Sejujurnya ... saya masih belum mantep untuk menjalani pernikahan ini dengan Mas Danny, Ma. Tadi baru tanggapan dari pihak keluarga sendiri, bagaimana dengan warga sekitar kita, tetangga kiri kanan?" jawab Camelia sembari meneteskan air matanya. Dia tak sanggup membayangkan pedasnya bibir tetangga terutama kaum wanita.Nyonya Rina menghela napas dalam-dalam, dia mengerti bahwa mereka hidup tidak sendirian di tengah masyarakat dengan berbagai pola pikir. Belum sempat wanita paruh baya itu menanggapi, dari arah belakang punggungnya terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat disertai seruan."Lia, kok malah ke sini sih? Kenapa nggak sarapan di rumahku saja? Ada apa ini?!" tanya Danny penasaran melihat waj
"Mas mau apa?" tanya Camelia yang terbaring tak berdaya di bawah tindihan badan kekar Danny.Pemuda itu menyeringai bandel sembari menjawab, "Mau kamu seutuhnya, Lia!" Ada sebersit keraguan dalam hati Camelia karena teringat sesosok pria yang pernah memiliki tempat spesial di hatinya. Kisah cinta mereka terjeda bagaikan simfoni yang tak sempurna dulu. Ternyata waktu tiga tahun tidak cukup untuk menepis perasaan cinta lamanya.Ketika kepala Danny merunduk ingin mengecup bibir Camelia, wanita itu memalingkan muka sehingga ciumannya mendarat di pipi. "T—tapi, aku masih belum siap. Apa boleh aku minta waktu lebih, untuk mengenal pribadinya Mas Danny?" Camelia menatap lagi ke dalam sepasang mata bermanik cokelat keemasan yang semakin indah bila dipandangi berlama-lama.Hasrat dalam diri Danny pun perlahan surut, tak lagi bergelora seperti awalnya tadi. Dia pun mengangguk terpaksa lalu turun dari ranjang untuk memunguti pakaian yang berceceran di lantai. "Aku mau ke luar kamar sebentar ya,
"Lia ... apa aku boleh ... ehm ... boleh melihat tubuhmu?" tanya Danny ragu-ragu sambil duduk bersebelahan di tepi ranjang.Camelia memalingkan wajah ke samping sambil terkikik geli. Dia menduga suaminya itu masih perjaka, usianya saja belum genap kepala dua. Dia pun balik bertanya, "Memang Mas Danny mau lihat yang sebelah mana? Aku segede ini 'kan kelihatan jelas lho!" Pemuda itu menggaruk-garuk kepala, salah tingkah melirik-lirik bagian yang bulat menyembul dari tepi kerah gaun katun anggun milik Camelia. " Kalau yang di sebelah dalam apa boleh?" tanya Danny lagi."Mas, kita belum terlalu mengenal satu sama lain. Apa kamu yakin kalau aku akan jadi istri yang baik buatmu?" jawab Camelia mengalihkan pembicaraan. Namun, badannya masih terasa panas dari dalam. Bahkan, bagian intimnya berkedut-kedut tak biasa.Danny meraih wajah Camelia ke telapak tangan lebarnya lalu mengecup dalam-dalam bibir wanita yang telah menjadi pujaan hatinya selama tiga tahun belakangan. Dulu sewaktu Camelia p