Share

Bab 2 Ibuku munafik

Author: Syaha1505
last update Last Updated: 2024-09-18 02:34:34

Dira dan ibuku terlihat berinteraksi dengan hangat, aku melihat dari anak tangga saat akan turun dari kamarku.

Aku tak suka, dan terang terangan mencebikkan bibirku dengan sinis di hadapan mereka.

"Shiren, mau makan dengan lauk apa? Ada ayam goreng tepung, tempe dan sambal lado ikan kakap, kamu yang mana sayang?", tanya ibuku.

Tangannya begitu lincah menyendokkan nasi ke piring dan berhenti saat ia menanyakan lauk untuk nasiku.

" Ibu tidak perlu repot repot meladeni Shiren, karena Shiren bisa sendiri.

Tidak seperti anak manja itu!", sahutku sambil memajukan bibirku ke arah Dira.

Gadis tengil itu melotot ke arahku dengan mimik ketus juga. Padahal ia sedang berada di rumahku dan seenaknya saja bersikap kepadaku.

"Hei, ada apa denganmu Shiren? Tidak biasanya kamu jutek begitu?"

"Lagi boring dia tante!", kata Dira, mengadu dengan tingkah tengilnya yang memuakkan.

" Assalamualaikum..!"

Suara ayahku mengucapkan salam terdengar dari arah ruang tamu,

Belum sempat kami menjawab, ayah sudah nongol dan lantas bergabung bersama kami.

"Masak apa hari ini bu?", tanya ayah basa basi.

Tentunya ayah tahu, ibu masak apa, karena mata ayah sudah terarah ke atas meja.

" Ayah mau langsung makan? Tunggu ibu ambilkan ya! Ayah duduk saja di situ!"

Ayahku duduk di sebelah kiriku, ibu lalu memutari meja mendekati ayahku dan meletakkan piring yang sudah diisi penuh dengan makanan.

Kemudian ibuku mengelus pundak ayahku dengan mesra dan membisikkan sesuatu ke telinga ayah dengan menempelkan bibirnya di telinga ayahku.

"Ibu munafik!", ucapku di dalam hati sambil mendecih sinis.

Dira menendang tulang keringku cukup keras sehingga membuat aku kesakitan dan meringis.

Aku melotot kepada Dira dan memakinya dengan bahasa gerak bibir tanpa suara tapi aku yakin ia tahu apa yang ku katakan.

" Ada apa dengan kalian? Dari tadi ribut terus?", tanya ibuku yang ternyata menyadari kelakuan kami.

"Cemburu dia tante! Padahal aku cuma meminjam tante sebentar saja, bukan merampoknya dari dia!", ucap Dira konyol dan diakhir kalimatnya dia terkikik sendiri.

Ayah dan ibuku saling berpandangan dengan mesra, kemudian kompak menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua.

" Shiren, tidak boleh begitu nak! Dira hanya ingin dianggap anak oleh ibumu, bukan mengambilnya darimu! Kasihan dia, karena ibunya sudah tiada.

Dan ibu pun dengan senang hati menyayanginya, bukan begitu ayah?", ujar ibuku sambil mengerling manja pada ayahku.

"Dasar munafik! Di depan ayah saja bersikap manis, namun di belakang ayah ternyata ibu punya simpanan brondong ganteng yang lebih pantas jadi pacarku".

Lagi lagi aku ngedumel di dalam hatiku. Rasanya saat itu juga aku membongkar kelakuan bejat ibuku di belakang ayahku.

" Sayang, mau ibu buatkan kopi?", tanya ibu sambil mengelus bahu ayah.

"Jika ibu tidak keberatan, ya monggo, ayah senang senang saja diladeni oleh istri ayah yang saleha ini", ucap ayahku mesra.

Mendengar ucapan manis ayahku pada ibuku, mendadak mataku memanas.

Sekuat mungkin aku menahannya agar aku tidak menangisi keluguan ayahku yang tertipu mentah mentah oleh istrinya, yaitu ibuku.

Ayah yang dikhianati, tapi aku yang merasa sangat tersakiti.

Ekor mataku melirik Dira dan aku tahu ia masih menatapku tajam, seakan memberi kode agar aku tetap bersikap sewajarnya saja.

Ibuku kembali dari dapur dengan nampan di tangannya yang berisikan secangkir kopi dan dua gelas jus jeruk untuk aku dan Dira.

Andai aku tidak melihat rekaman di ponsel Dira, sudah pasti aku bahagia sekali melihat ibuku melayani ayahku dan melayani kami.

Namun sayangnya aku sudah melihat semua kelakuan busuk ibuku. Betapa memalukan, tidak sesuai kelakuan ibuku dengan hijab panjang yang selalu dikenakan.

Setelah urusan makan dan minum selesai, Dira membereskan meja makan, membawa bekas makan yang kotor ke dapur lalu ia mencucinya sekalian.

Anak itu memang pandai membawa diri, agar tuan rumah senang senang saja ketika ia datang.

Ibuku selalu memuji muji Dira dan tidak segan membandingkan dengan diriku.

"Bu, ayah ngantuk!"

Ayah mendorong kursi yang ia dudukki ke belakangnya, lantas ia berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya.

Ibuku mengikuti ayahku dan menggandeng lengan ayah.

"Munafik!", aku mendesis sangat pelan, karena aku takut ibuku mendengarnya.

" Jaga mulutmu Shiren! Kau belum tahu rasanya tidak punya ibu, sakit tahu!", sentak Dira marah.

"Tapi ibuku selingkuh! Dengan pria yang lebih pantas jadi anaknya! Bukankah itu sangat menjijikkan?

Di depan ayahku, ibu berlagak jadi istri yang mencintai suaminya, tapi di belakangnya tingkahnya tak lebih dari tante tante girang penggemar berondong!"

Kali ini aku berkata sambil menangis. Air mata yang tadi kutahan tahan akhirnya jebol juga.

Meluncur deras membasahi pipiku.

Beruntung ayah dan ibuku sudah masuk ke kamar dan pintu tertutup sehingga mereka tidak mendengar omonganku.

"Shiren, kita tadi sudah berjanjikan untuk tidak berlebihan dan sembarangan menuduh ibumu. Kita harus cari tahu dulu sehingga masalah ini terang benderang.

Jika ibumu terbukti selingkuh, baru terserah mau kau apain saja!

Kalau sekarang ini kitakan masih menduga duga saja! Makanya rem dulu praduga burukmu itu!

Jangan sampai kau jadi anak durhaka!"

Aku tidak mau meladeni Dira lagi dan membiarkan dia sendirian di ruang makan.

Biasanya bocah itu akan menyapu dan mengepel ruang makan hingga ke dapur.

"Untuk membayar makanan buat Dira", katanya selalu jika ditegur oleh ibuku.

Di dalam kamar, aku membenamkan wajahku di atas bantal dengan air mata yang terus berurai.

Rasanya, saat ini juga aku ingin berlari ke kamar orang tuaku, menggedor pintu dan mengadukan semua kelakuan ibuku di bandara itu.

Dira masuk ke kamarku, lalu duduk di tepi kasur dan mengelus elus punggungku dengan lembut.

" Sudahlah, jangan menyakiti dirimu sendiri dengan hal hal yang belum pasti.

Besok kita cari tahu siapa pemuda itu", ucap Dira seenak udelnya saja.

"Lantas dari mana kita memulainya? Sedangkan pemuda itu sangat asing bagiku, aku tidak mengenalnya", sahutku malas.

" Bagaimana jika kita datangi nenekmu saat libur nanti?", tanya Dira.

Aku menggaplok paha Dira dengan kuat.

"Mengapa aku tidak berpikir srpertinitu ya?", ucapku senang.

Baru saja aku selesai bicara terdengar suara pintu kamar diketuk.

" Shiren, tutup pintu pagar, kami mau keluar!"

Mendengar ucapan ibuku, aku dan Dira saling tukar pandang, lalu tersenyum.

"Saatnya kita mulai!", seruku lalu meloncat dari ranjang dan keluar kamar untuk mengunci pintu pagar begitu mobil ayahku keluar halaman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berondong Simpanan Ibuku   Amukkan Bakhtiar Suganda

    Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.

  • Berondong Simpanan Ibuku   Kencan pertama

    "Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak

  • Berondong Simpanan Ibuku   Nadira

    "Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la

  • Berondong Simpanan Ibuku   Saling curiga

    Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p

  • Berondong Simpanan Ibuku   Bakhtiar Suganda

    "Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b

  • Berondong Simpanan Ibuku   Tetap pelayan nyonya Maryam

    "Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status