LOGIN"Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.
Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya. "Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!" "Aku ada urusan," jawab Giselle cepat. "Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih. Srak! Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa. Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–" Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi ia terpaksa memegangi kemejanya dengan tangan agar tak terbuka. "Ka–kamu yang memaksaku melakukan ini." "Hah?! HAHAHAHA!" Tawa Erick terdengar menggelegar di penjuru ruangan. Pria itu sampai harus mengusap sudut matanya yang berair lantaran terlalu keras tertawa. Giselle hanya diam mendengar tawa sang suami. Hatinya diselimuti sendu. Ia merasa seperti seorang pelacur yang begitu hina saat ini. "Pada siapa kau menjual tubuhmu? Aku penasaran. Apa kau menggoda penjaga keamanan di luar? Atau ... seorang petugas kebersihan yang kebetulan melintas di depan kamar?" ejek Erick. Giselle tak tahan lagi dengan penghinaan ini. "Keluarlah, Erick. Kamu mau apa di sini? Ini sudah malam. Hana pasti menunggumu." "Kau mengusirku?" Pria itu menatap tak senang. "A–aku hanya ...." Giselle merasa takut kali ini. Apalagi, pria itu berusaha mendekatinya. Memaksa dirinya untuk terus bergerak mundur, hingga bokongnya berakhir menubruk meja di sudut dinding. Ia pun tersudut. Tubuhnya berada di antara Erick yang hanya berjarak 5 sentimeter darinya dan juga meja. "Sepertinya, aku kemarin terlalu bodoh untuk menyiakan dirimu," gumam Erick seraya meraih dagu wanita itu. Giselle bergemetar. Ia berusaha menjauhkan wajah seraya memejamkan mata. "Jika dilihat-lihat, tubuhmu cukup indah," tambah Erick. "Ck! Kenapa aku baru menyadarinya? Sayang sekali, orang lain yang lebih dulu merasakan keperawananmu." "Er–rick." Giselle merasa tercekat saat pria itu menggunakan tangannya yang lain untuk meraba tubuhnya. "Kau takut?" "Jangan–hh!" Wanita itu menggelengkan kepala ketika tangan sang pria berusaha menelusup masuk ke balik kemejanya. Erick terkekeh sinis. "Kau seperti seorang pelacur. Kau membuatku jijik, sekaligus penasaran." Giselle segera mencekal tangan pria itu. Membuat kemejanya sedikit terbuka lantaran 2 buah kancingnya rusak oleh perbuatan Erick sebelum ini. "Jangan, Erick. Kumohon, jangan ...," lirihnya sedikit bergemetar. "Kenapa? Bukankah sebenarnya kau sudah lama menginginkanku?" "Kamu salah paham, Erick. Aku hanya ingin membalas budi terhadap jasa Kakek." "Kalau begitu, biarkan aku mengajarimu, bagaimana caranya membalas budi dengan benar." Erick menarik tangannya dari cekalan sang wanita. Lalu, tangan tersebut merayap naik dan menyentuh leher wanita tersebut. Giselle merasa tercekat. Ia tahan pergelangan tangan yang seakan ingin mencekik lehernya itu. Tidak peduli lagi akan kemejanya yang terbuka hingga memperlihatkan sebagian asetnya yang menonjol. Erick menyeringai. Entah mengapa, wajah ketakutan wanita itu justru membuatnya semakin tertantang untuk menggaulinya. "Erick, tolong pikirkan Hana!" pekik Giselle yang semakin merasa terancam. "Hana?" Erick tentu saja mengingat kekasihnya. Ia memang mencintai gadis itu. Namun, dirinya juga tak ingin merusak sang gadis. Selama berpacaran dengan Hana, Erick hanya berani berciuman dan making out saja. Tak pernah benar-benar masuk ke permainan inti, sebab dirinya takut apabila hubungannya dengan Hana tidak bisa berakhir sesuai harapan. Ia tak ingin merusak gadis itu. Apabila hubungannya dengan Hana berakhir, setidaknya Hana masih seorang gadis yang suci dan perawan. "Tentu saja. Aku bisa membayangkan wajah Hana, selagi melakukannya denganmu. Ah! Seharusnya sejak awal saja aku menjadikanmu boneka seksku," ujar Erick, yang berhasil membuat Giselle merasa tercekik hanya dengan mendengar sebaris kalimat mengerikan tersebut."Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi
Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria
Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk
Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka
Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men
"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe







