LOGINSudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya.
Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria itu saat sore hari. Giselle lantas bangkit. Meninggalkan sejumlah uang untuk membayar pesanan, sebelum akhirnya beranjak pergi. Wanita itu menghampiri sebuah pangkalan taksi dan menaiki salah satu mobil yang terparkir. "Hotel Grand Orchid," ucap Giselle memberitahukan tujuannya kepada sang sopir. Mobil mulai melaju meninggalkan area pantai menuju tempat yang disebutkan. Setibanya di pelataran hotel, lagi-lagi Giselle mendapati karpet merah terbentang dan para pegawai hotel berbaris menunggu. "Wah! Aku merasa spesial hanya dengan menginap di hotel ini," gumam wanita itu kagum. Giselle turun setelah membayar tarif taksi. Ia lantas berjalan santai menginjakkan kakinya di atas karpet merah. "Nona, jangan lewat di sana!" tegur salah seorang karyawan hotel yang ada di barisan itu. "Apa? Kenapa?" tanya Giselle heran. "Itu untuk bos kami." "Bos?" Ah, ya! Giselle jadi teringat kejadian kemarin. Apa jangan-jangan, yang kemarin itu seharusnya juga untuk bos hotel ini? "Awas, Nona!" tegur karyawan itu lagi. Giselle menoleh ke belakang. Sebuah mobil mewah berhenti di ujung karpet merah, diikuti 2 mobil sedan lainnya. Namun anehnya, bukannya menurunkan penumpang, mobil-mobil itu justru pergi begitu saja. Padahal, Giselle penasaran dengan sosok bos pemilik hotel ini. "Apa kita salah dalam menyambut Tuan Muda? Sejak kemarin, Tuan Muda justru langsung pergi di saat kita berusaha menyambutnya dengan sedemikian rupa. Lalu, tiba-tiba datang ketika kita sibuk dengan pekerjaan," keluh seorang karyawan wanita kepada temannya. "Entahlah. Sepertinya, Tuan Muda tidak senang jika disambut dengan cara seperti ini," komentar yang lainnya. "Ah .... Buang-buang waktu saja!" keluh beberapa karyawan lain, yang kemudian berbondong-bondong membubarkan diri. "Aneh," komentar Giselle. Wanita itu memutuskan untuk segera masuk melalui lobi hotel. Sebelum sempat menjangkau lift, seseorang sudah menegurnya terlebih dahulu dari belakang. Giselle pun menoleh dan tidak menyangka jika Gabriel sudah berdiri di belakangnya. "Kenapa kau tiba-tiba ada di sini?" "Aku baru saja selesai jalan-jalan di sekitar hotel. Aku tidak sengaja melihatmu datang. Jadi, aku panggil saja." Sang wanita lantas tersenyum. "Kalau begitu, mau masuk bersamaku?" "Tentu saja, Nona." Dengan segenap hati, Gabriel merangkul pinggang ramping Giselle dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift yang pintunya baru saja terbuka. Begitu masuk ke dalam lift yang tidak ada siapa pun di dalamnya kecuali mereka berdua, Gabriel langsung mendaratkan kecupan-kecupan ringan ke leher sang wanita. Giselle bergerak resah. Ia mencoba menggeliat untuk menghindari ciuman. Namun, Gabriel sangat pandai membuatnya mabuk kepayang. "Emmh .... Hentikan!" Dengan sekuat tenaga, Giselle menahan bahu sang pria yang ingin terus mencumbunya. Lalu, ia tatap wajah pria itu dengan ekspresi serius. "Bagaimana kalau ada yang melihat?" "Kita di dalam lift. Siapa yang mau mengintip?" Mata Giselle lalu melirik ke atas, di mana sebuah CCTV memantau mereka. Gabriel ikut melirik ke arah CCTV sejenak, sebelum akhirnya menghela napas berat. "Aku akan minta petugas hotel untuk melepas kamera pengintainya." Giselle tertawa mendengarnya. "Jangan mengada-ada! Dasar!" Pria itu ikut tersenyum mendengar tawa renyah sang wanita. "Kau ternyata lebih cantik saat tertawa seperti ini. Aku jadi ingin memakanmu." "Kau sangat hyper!" "Hanya denganmu." "Bagaimana aku bisa memercayai mulut seorang pria penghibur?" Gabriel mengecup pelan bibir Giselle, kemudian berkata, "Aku menolak semua tawaran hanya untuk bersamamu." "Teruslah membual," komentar wanita itu seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Aku tidak berbual." "Ya, ya, ya. Kau mau berapa? Seratus juta? Dua ratus? Atau lima ratus?" Gabriel tersenyum geli. Ia tak menjawab, melainkan mengecup pipi wanita itu sekilas. "Ayo ke kamarku!" ajaknya setelah pintu lift terbuka. Mereka pun segera menuju kamar yang letaknya ada di lantai paling atas gedung. Namun, Giselle masih belum sadar jika mereka berada di lantai paling atas. "Kenapa kamar ini besar sekali? Bahkan kamarku tidak ada setengahnya dari kamarmu." Giselle mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Ia merasa kagum dengan fasilitas lengkap yang ada di kamar ini. Gabriel pasti menyewanya dengan harga yang tidak murah. "Sudah kubilang, biaya hidupku mahal. Apa kau masih sanggup?" "Kuras hartaku, Sayang," ucap Giselle, meniru sebuah kalimat yang sering ia temui dalam novel-novel bertema crazy rich yang sering ia baca. Mendengar itu, Gabriel pun tak bisa menahan tawa gelinya. "Kau lucu sekali." "Aku lapar." "Kau mau makan?" Dengan wajah polos, wanita itu menganggukkan kepala. "Apa kita bisa memesan pelayanan kamar?" "Eumm .... Tentu saja." Gabriel segera memesan pelayanan kamar melalui pesawat telepon. Setelah itu, ia mengajak Giselle untuk duduk di sofa yang ada di ruangan. Giselle benar-benar tidak bisa duduk dengan tenang. Apalagi jika bukan karena pria yang terus mendusal dan ingin mencumbunya ini? "Bersabarlah! Kenapa kau sangat agresif? Apa kau juga seperti ini pada pelangganmu yang lain?" Gabriel hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Pria itu sudah sibuk melucuti satu per satu kancing kemeja yang Giselle kenakan. "Apa karena aku kemarin masih perawan?" gumam Giselle bermonolog. "Akh! Shh .... Pelan-pelan, Gabriel!" Di tengah-tengah percumbuan itu, tiba-tiba ponsel Giselle berdering. Membuat si empunya kelabakan untuk segera menemukan benda pipih itu. Dengan terpaksa, Gabriel pun menghentikan aksinya lantaran sang wanita yang terus mengelak. "Abaikan saja jika itu dari suamimu," bisik pria itu. "Tidak bisa, Gabriel," jawab Giselle sembari memeriksa ponsel. "Kenapa? Kau ... mencintai pria yang sudah berkhianat itu?" Wanita itu terdiam sejenak menatap wajah sang pria. Lantas, ia tersenyum sembari mengusap pelan pipi kanan pria tersebut. "Jangan bicara soal cinta denganku." Giselle pun segera menjawab panggilan, sebab ponsel tak berhenti berdering. "Halo?" "Kau di mana?!" Sudah pasti itu siara Erick. Terdengar marah. Mungkin karena Giselle pergi tanpa pamit tadi. "Aku–mpp–" Wanita itu terperanjat saat mulutnya tiba-tiba dibungkam oleh ciuman Gabriel. Membuatnya tak berdaya dan segera menjauhkan ponsel dari telinga. Takut bila Erick curiga. "Nghhh!" "Halo?! Kau di mana?! Kenapa kau merintih?! Giselle?!" Teriakan Erick sama sekali tak digubris oleh kedua insan itu. Bahkan kini, Gabriel dengan mudahnya bisa merebut ponsel itu dari tangan sang gadis. Mematikan sambungan teleponnya, lalu melempar benda pipih itu ke sembarang arah. "Shh .... Ahh! Gabriel, jangan membuatku gila!" erang Giselle frustrasi."Kau dari mana, hah?!" Erick tampak marah saat melihat Giselle baru kembali ke kamarnya. Padahal, ini sudah pukul 9 malam, dan pria itu sudah menunggunya sejak petang tadi.Sang wanita melirik ke arah jam dinding. Ia lantas mengulum bibir dengan kepala sedikit tertunduk. Ini karena Gabriel yang memaksanya untuk tetap tinggal, dirinya jadi terlambat untuk menemui suaminya."Kau bisu?! Mulutmu terkunci rapat! Apa perlu aku merobek mulutmu agar bisa terbuka?!""Aku ada urusan," jawab Giselle cepat."Urusan?" Erick mendekat. Membuat wanita itu mundur satu langkah darinya. Kemudian, matanya memicing tajam mendapati sebuah tanda kemerahan di leher sang istri yang biasanya selalu tampak bersih.Srak!Giselle tercekat saat tiba-tiba, Erick menarik kasar kemejanya hingga membuat beberapa kancingnya terlepas secara paksa.Pria itu langsung terperangah begitu mendapati banyaknya kissmark di sekitar dada dan bahu sang istri. "I–ini–"Giselle buru-buru membenahi pakaiannya. Kancingnya rusak, jadi
Sudah Giselle duga sebelumnya. Tujuan Hana meminta Erick untuk membawa serta dirinya ikut jalan-jalan sebenarnya hanyalah alibi agar gadis itu bisa memamerkan kemesraan di hadapannya. Daripada menjadi obat nyamuk, Giselle memilih untuk duduk di kursi kafe tepi pantai sembari menikmati kelapa muda segar yang tersaji di hadapannya. Sementara di bibir pantai sana, terlihat Hana dan Erick yang tengah bermain air sambil tertawa bahagia seolah dunia milik mereka berdua saja. Sial! Andai Giselle tidak terlanjur berjanji untuk bisa diajak bekerja sama dengan Erick, wanita itu pastinya akan kekeuh menolak permintaan pria itu untuk ikut pergi. "Apa aku pergi saja? Toh, mereka tidak akan sadar, kalaupun aku menghilang. Kakek juga sudah menelepon pagi tadi. Pasti tidak akan jadi masalah besar," gumam Giselle pada dirinya sendiri. Wanita itu memeriksa ponselnya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Sebentar lagi, senja akan tiba. Dan ia sudah berjanji kepada Gabriel untuk menemui pria
Dering ponsel yang tiada henti membuat Giselle mau tak mau membuka mata. Ia meraba-raba ke samping tempat tidur, dan menemukan ponselnya yang berdering di atas meja nakas. Nama Erick terpampang di layar pipih itu sebagai identitas si pemanggil. Membuat Giselle buru-buru menjawab panggilannya. "Halo?" "Kau di mana, hah?! Di kamar tidak ada! Kau ini ke mana?! Kakek menghubungimu sejak tadi, tapi tidak bisa, jadi dia meneleponku. Aku mengatakan jika kau masih tidur," cecar Erick dari balik sambungan telepon. "Hmmh .... Maaf. Aku akan ke sana sekarang," jawab Giselle. "Kalau begitu cepat!" Panggilan berakhir saat itu juga. Giselle menghela napas seraya berusaha untuk bangun. Namun, lengan kokoh yang memeluk pinggangnya dari belakang itu seakan tak mengizinkannya untuk bangun. "Bisa kau lepaskan aku? Aku harus pergi," pinta Giselle yang benar-benar tak bisa bergerak. Akhirnya, pria itu melepaskan pelukannya. Membebaskan sang wanita untuk bangkit. Sementara, dirinya pun ikut duduk
Giselle memilih untuk keluar dari kamar malam itu. Ia juga sudah meminta petugas hotel agar membawa pria mabuk yang dibawa oleh Erick tadi keluar. Dengan sebuah mantel panjang berbahan bulu yang tebal, wanita itu menyusuri lorong hotel. Menoleh ke sana-kemari seperti seseorang yang kehilangan arah. Hingga akhirnya, indra pendengarannya menangkap sebuah suara riuh dari lorong yang tadinya hendak ia lewatkan. Penasaran, Giselle pun memutuskan untuk menyusuri lorong tersebut. Tiba di ujung lorong, dirinya menemukan sebuah pintu yang dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tinggi besar. "Mau masuk, Nona?" tanya penjaga di sana. "Tempat apa ini?" "Tempat untuk bersenang-senang di hotel ini. Apa lagi?" "Bersenang-senang?" gumam wanita itu pelan. "Saya bisa masuk?" "Tentu saja, asal Anda menunjukkan kartu pengunjung." Giselle merogoh saku mantelnya untuk mengeluarkan kartu pengunjung miliknya. Untung saja ia membawa benda itu tadi. Ternyata, benda itu cukup berguna. "Anda boleh masuk," ka
Sambil mendorong troli berisi 3 koper besar, Giselle berusaha menyusul langkah Erick yang lebih dulu meninggalkannya bersama Hana. Ia sedikit kewalahan. Namun akhirnya, wanita itu bisa menjangkau kedua insan tersebut di lobi bandara. Seorang pria paruh baya tiba untuk menjemput mereka. Namun saat hendak masuk ke dalam mobil, Erick menahan sang istri. "Kau cari taksi yang lain. Yang ini untukku dan Hana," ujar Erick. Giselle hendak melayangkan protes. Namun, pria itu sudah mengangkat tangan dan mengisyaratkannya untuk diam. "Kalau kau ingin uang dariku, kau harus bisa bekerja sama." Sial! Pada akhirnya, Giselle hanya pasrah ketika taksi meninggalkan dirinya beserta koper miliknya di sana. Saat menoleh ke belakang, secara kebetulan sebuah mobil lain berhenti. Tidak terlihat seperti taksi. Namun, Giselle yakin jika itu mobil angkutan seperti taksi pada umumnya. Dengan penuh percaya diri, Giselle ikut mendekat ketika sang sopir membuka bagasi mobil. Ia mendorong kopernya hingga men
"Kemasi pakaianmu!" perintah Erick, begitu mereka tiba di rumah. Giselle terkejut. "Kamu mengusirku?" "Apa maksudmu? Kita akan berangkat ke pulau besok." Mendengar itu, bukannya lega, Giselle justru semakin terkejut. "Kita benar-benar akan melakukannya?" tanyanya lagi. "Jangan harap, Giselle! Memandangmu saja sudah membuatku ingin muntah, apalagi menyentuhmu!" hardik Erick kesal. "La–lalu, bagaimana kita akan memberikan cicit untuk Kakek?" "Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting, kita berangkat ke pulau dulu," kata Erick santai. "Aku akan mengajak Hana." Giselle terbelalak. Ia menatap kepergian Erick dalam diam sambil mendumal dalam hati. Erick ini bagaimana? Kakeknya menginginkan seorang cicit dari rahim Giselle, hingga rela mengirim mereka berdua ke pulau untuk berbulan madu. Akan tetapi, pria itu justru berniat membawa selingkuhannya untuk ikut serta. *** Esok hari pun tiba. Erick dan Giselle pergi ke bandara dengan diantarkan oleh Tuan Warsana. Pria tua itu berharap pe







