Bagaimana akhirnya aku tertidur tadi malam?
Maksudku setelah sampai di Jerman dengan perbedaan waktu yang cukup jauh dari Indonesia, dengan jetlag cukup serius. Tidak terlalu bisa mengingat, sih. Tapi sepertinya Mbak Kinan sudah pulang berbelanja di Heidelberg Mall. Kastil juga sudah tidur. Lova terbangun, menangis minta susu lalu aku berlari ke kamar kami yang terletak di samping ruang keluarga. Nah iya, begitu sepertinya. Seperti biasa, aku lebih mudah tertidur saat menemani Lova minum susu dengan botol. Entahlah, sedari dulu memang begitu. Padahal tidak menyusui secara langsung, lho. Hanya ikut berbaring saja di sebelahnya.
OK dan inilah perjalanan hidupku yang baru di Jerman. Sudah, aku sudah mengucapkan selamat datang pada diri sendiri dan juga Lova. Selamat berjuang bersama, tetap semangat dan pantang menyerah demi kebahagiaan dan masa depan. Yakin, cerita di Jerman ini hanya sementara. Secuil kecil. Kelak, kami akan kembali pulang. Bersatu lagi dan bersama
Mbak Kinan belum pulang, anak-anak sudah tidur siang. Sesegera mungkin, aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Menjemur pakaian di loteng, mengosongkan mesin cuci piring, menyedot debu dan terakhir merapikan mainan. Terakhir, menyusun buku-buku bacaan di ruang belajar Mbak Kinan. Semalam dia sudah memberikan catatan, bagaimana aku harus menyusunnya. Urut, berdasarkan huruf alfabet nama pengarangnya. Tidak terlalu banyak sih, hanya sekitar lima puluh buku. Tetapi harus tetap serius plus fokus, kan?Driiing, driiing!Belum setengah buku tersusun, bel pintu rumah berdering nyaring, membuatku terkesiap. Detik berikutnya, memakai jilbab dan tanpa memikirkan apa pun lagi berderap ke pintu depan. Ternyata teman Mbak Kinan, warga Indonesia juga sama seperti kami. Namanya Mbak Farha."Farha." wanita cantik berjilbab biru muda polos itu memperkenalkan diri.Sesopan mungkin aku memperkenalkan diri, "Ayung, pengasuh Dek Kastil, putri Mbak Kinan."
Senangnya, membaca chat pertama dari Langit dengan ponsel yang dia beli dari hasil jerih payahku bekerja di sini. Wah, rasanya seperti putus tali sandal jepit tapi lalu menemukan peniti. Ya, pokoknya seperti itu lah, rasanya. Tidak sepenuhnya bahagia tapi senang.New Chat@Anonim[Assalamu'alaikum Mama][Ini Langit, Laut dan Bumi][Apa kabar Mama di sana?][Kami baik di sini][Bulek Uji yang nganterin aku beli hp tadi sore][Aku beli yang ramnya 2 Mama][Oh ya terima kasih ya Mama uang kiriman Mama sudah sampai][Baik-baik di sana ya Mama][Salam buat Dek Lova]Jangan tanyakan lagi, bagaimana air mata ini berguguran saat membaca baris demi baris chat Langit. Tak sanggup lagi menahan, meskipun Lova memandang dengan penuh kesedihan. Bagaimana tidak? Begitu tabahnya mereka menjalani cerita hidup ini padahal dalam keadaan jauh dari orangtua. Mas Tyas pun entah bagaimana sekarang? Semakin sadar atau semakin lupa diri?
Terkejut kuadrat.Begitulah yang kurasakan ketika Langit memberitahu kalau Mas Tyas Pulang ke rumah dengan membawa Sari dan bayi perempuan mereka. Bukan apa-apa. Masalahnya Laut menolak mentah-mentah kedatangan mereka hingga akhirnya ribut dengan Mas Tyas. Hampir saja mereka berkelahi. Laut sudah mengambil sapu ijuk, bersiap memukul Mas Tyas. Untung Mas Tama dan Mbak Anty datang melerai. Kalau tidak?To: Anak-anak Cintaku[Tapi Ayah nggak jadi pulang ke rumah kan, Le?][Terus, Dek Laut sudah tenang kan sekarang? Dek Bumi rewel apa nggak?]Sedikit lega perasaanku setelah pesan balasanku terkirim dan langsung dibaca. Meskipun tak bisa memungkiri sebuah kenyataan kalau hati ini berdesar-desar sakit saat menunggu pesan dari Langit. Is typing message … Sampai detik ini masih tak bisa membayangkan, bagaimana kejadiannya waktu Mas Tyas perang mulut dengan Laut? Laut memang paling keras di antara Langit dan Bumi. Tapi walau
Ternyata amukan Mas Tyas tidak hanya berhenti sampai sebatas chat saja. Dia juga berusaha untuk mengajakku berbicara di voice call. Video call juga pernah tapi aku tidak memberikan respon dalam bentuk apa pun. Untuk apa? Menambah dalam luka hati? Tidak, aku takkan pernah membiarkan itu terjadi. Titik.Cukup yang selama ini terjadi. Selain itu aku tak mau lagi. Heran juga rasanya, kenapa Mas Tyas sampai tega mengungkit peristiwa kelam itu? Padahal, dia sendiri yang ngotot sekaligus nekat mengantarkan aku pulang. Iya, kan? Kenapa masih saja menyalahkan aku seperti itu, coba? Memang benar kejadian itu sudah hampir enam belas tahun berlalu tapi masa dia lupa? Seenak hati melimpahkan kesalahan fatalnya padaku. Jelas, dia curang!"Mas, nggak usah nganterin aku pulang, Mas. Aku bisa pulang sendiri kok, naik bus." kataku waktu itu, mencegah keinginan Mas Ryas yang terlihat sekuat baja, " Lagian, aku hanya sebentar saja kok di rumah, Mas. Besok Senin pagi sudah bali
"Mbak Ayung!" dengan nada suara yang berbeda---sepertinya tergesa-gesa berangkat ke kampus, sehingga terdengar seperti orang marah---Mbak Kinan memanggil dari gang, "Mbak Ayung, tolong ke sini sebentar, Mbak!"Gegas, aku berderap menuruni tangga sambil menggendong Lova di belakang. Tak seperti biasanya, Lova sedikit rewel pagi ini. Tidak mau disambi bekerja lah, intinya. Sampai-sampai keteteran saat harus menyiapkan makan pagi, membersihkan sekaligus merapikan semua kamar---kecuali kamar Kastil, dia masih tidur---dan menjemur pakaian. Bukan apa-apa. Masalahnya, tidak bisa sesigap biasa dan mungkin---aku merasa---itu masalah lain bagi Mbak Kinan. Mungkin lho tapi semoga saja tidak."Saya, Mbak Kinan?" kataku begitu menapakkan kaki di gang. Napasku naik turun seperti orang yang baru saja berlari cepat, sementara Lova justru berceloteh lucu. Dua hari ini dia memang sedang menggilai lagu Five Little Ducks, lagu favorit Kastil. Sampai di sini, Mbak Kinan t
"Mbak Ayung, Kastil mau es krim!" cakap Kastil lucu, penuh harapan ketika kami melintasi kedai es krim plus donat D & H, "Mau es krim, Mbak Ayung!"Sejujur-jujurnya kukatakan, yang ada di dalam benakku saat ini hanyalah perubahan sikap Mbak Kinan. Bagaimana bisa Mbak Kinan membuat kesimpulan kalau aku sudah melalaikan pekerjaan dengan asyik bermain ponsel? Dengan bermedia sosial. Memangnya pekerjaan apa yang tidak selesai? Lalu, media sosial mana yang kukunjungi? Semenjak ada Lova, belum pernah lagi aku login ke semua akun media sosial. Status di chat room pun, tak pernah update."Mbak Ayung, Kastil mau es krim … Hoaaa!" mungkin karena aku diam tak menanggapi, tangis Kastil semakin menjadi. Praktis otomatis aku terpengaruh. Maksudku, emosi sebagai seorang ibu dalam diri mulai bekerja, mendorong untuk melakukan sesuatu. Apakah itu?Aku berhenti mengayuh sepeda. Memutar separuh badan hingga menghadap ke arahnya. "Kak Kastil mau es krim
"Hi Ayung, Kastil dan Lova!" sapa Lea menjungkir balikkan seisi rongga dadaku, "Apa kabar semua?"Bagaimana tidak seisi rongga dadaku terjungkir balik, ketika menyadari kalau sudah berbuat salah? Sudah jelas hari ini ada jadwal mengajar les bahasa Indonesia untuk Lea, kenapa aku malah lupa? Bisa-bisanya terhanyut suasana di depan kedai es krim H & D tadi? Tidak bisa dengan tegas mengatasi kerewelan Kastil. Dasar aku, begitu saja sudah kuwalahan!"Halo, Lea!" seramah mungkin aku menyapa balik, "Semua baik dan Anda?"Lea menyuguhkan senyum lebar tulus untuk kami, "Saya baik juga Ayung, terima kasih. So, how is our Indonesia Class today?"Dengan menahan gejolak penyesalan di dalam diri aku mengatakan kalau kami bisa segera memulai pelajaran. Tentu saja setelah membuatkan susu untuk Lova sekaligus memberikan ruang yang nyaman untuk Kastil bermain. Lea menguasai senyum lebar seperti tadi, mempersilakanku untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Sungguh,
"Ayung … Kok, lama banget lho, ngangkatnya?" serbu Mas Tyas tanpa perasaan, "Dasar istri durhaka, suami telepon kok malah nggak cepet-cepet diangkat?"Di sini, aku hanya bisa diam seperti biasa. Tak ada gunanya juga menjawab ataupun memberikan alasan, Mas Tyas pasti murka. Duh, mana sanggup aku mendengarnya? Walaupun tak melihat mimik wajah atau gesture tubuh tetap saja mengerikan, bukan? Mana mungkin juga dia mau memahami, kalau aku di sini tuh bekerja, bukannya berlibur atau bagaimana?Terlebih, Mbak Kinan semakin berubah buruk setiap harinya. Ini tadi saja aku harus minta izin dan memperlihatkan kalau yang voice call benar-benar Mas Tyas. Bukan yang lain seperti Mamak, Limas, anak-anak atau teman termasuk Dik Uji."Halo, kok diem?""Halo Mas Tyas … Nggak diem, kok. Aku kan dengerin Mas ngomong?""Bagus. Kalau gitu, dengerin baik-baik ya?"Suara Mas Tyas terdengar keras dan tajam, seakan-akan aku ini bukan istri