Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
"Begitu syulit lupakan Rehan apalagi Rehan baik." Devan asik bernyanyi dengan suara yang dibuat mendayu dayu sembari mengelap rambutnya yang basah. Ia baru selesai mandi dan hanya pakai boxer. "Begitu syulit ...." Tiba-tiba Devan dikejutkan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Sontak Devan membalikkan badan. "Wow," girang wanita itu. Devan buru-buru menutup burungnya dengan handuk yang ia pakai mengelap rambut. "Siapa kamu? Ngapain kamu masuk ke kamar orang sembarangan." "Yaaah." Wanita itu kecewa dengan tindakan Devan yang menutup burungnya. Lalu ia mendongak menatap Devan, ingat tujuannya mendobrak pintu. "Yang nyanyi tadi itu kamu?” "Kenapa memangnya?” Wajah Devan memerah menahan amarah, plus malu. Bukannya menjawab gadis itu malah memperhatikan tubuh Devan dari atas sampe bawah lalu kembali lagi ke atas. "Badan berotot, suara ngebass, eh nyanyi lagu Rehan, mendayu pula tuh." Gadis itu menutup pintu dan mendekat membuat Devan melotot. "Mau ngapain kamu? Keluar!" "Sayang, p
"Kamu niat bikin saya kena kolesterol ya?” "Kok kolesterol, harusnya kan diabetes." Devan memicingkan matanya menatap Eleanora, lalu mengangguk. "Pengetahuanmu agak kurang ya, nanti baca-baca lagi di internet, banyak kok." Eleanora tertawa. "Loh benar kan, harusnya diabetes, kan tiap hari kamu kukasih senyuman manis." Ia menangkup wajahnya, bersikap sok imut. Devan mendengkus lalu berdiri, mengisi magicom dengan air. Sepertinya berniat membuat mi instan. Pakai magicom karena tak punya kompor. "Banyak loh kasus orang benci jadi cinta." Eleanora mengedip-ngedipkan matanya. "Kalo kamu terus-terusan benci, benci, benci sama aku, nanti kamu jadi cinta mati loh sama aku." Bibirnya menarik senyum simpul, geli. Namun yang diajak bicara tidak bereaksi, ia sibuk melihati air yang ia masak di magicom. Sudah lima menit belum mendidih. Eleanora gemas melihatnya. Entah berapa lama lagi Devan menunggu kalau magicomnya tidak ditutup. "Udah sih, makan yang ada aja. Malah yang ini lebih enak."
Menjelang akhir tahun pasti pekerjaan setiap kurir pasti banyak. Diskon-diskon berterbaran di mana-mana. Penjualan online naik, paket yang dikirim makin banyak, Kang Paket makin capek, makin lama pulangnya. Devan menipiskan bibir melihat tumpukan paket yang menggunung. Sudah bertahun-tahun dia jadi Mas Kurir, tapi tetap membuatnya merasa heran tiap kali melihat tumpukan paket sebanyak ini. Memang tidak sebanyak saat ramadhan menjelang lebaran, tapi kalau akhir tahun tetap saja banyak. Devan dan teman-temannya bergerak cepat, memilah paket-paket yang harus segera diantar dan mana yang bisa ditunda. Meski begitu Devan tetap berharap bisa mengantar semuanya hari ini, karena bisa dipastikan besok akan menumpuk lagi. Tidak apa. Demi uang, Devan rela berada di bawah teriknya matahari sepanjang hari. Hujan pun sebenarnya ia tak masalah, yang jadi masalah kalau paket yang dia bawa jadi basah. Nanti bukannya dapat bonus malah potong gaji gara-gara customer komplain. Devan menghela napas ke
Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk. "Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang." "Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar. "Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi." Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu. Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan. Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhad
Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. "Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. "Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur. "Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa n