“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.
“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst. “Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.” Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan. Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.” Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.” “Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu mengatakan itu, kak. Tapi kau tidak pernah benar-benar peduli. Kau meninggalkan kami untuk hidupmu yang nyaman bersama nenek, sementara aku harus menghadapi semua ini sendirian!” Michael menatapnya, matanya menyipit. “Aku pergi untuk menyelamatkan diri, Amethyst. Apa kau tidak mengerti itu? Aku tidak bisa melindungimu kalau aku sendiri hancur.” “Dan sekarang kau kembali, hanya untuk menghakimi apa yang kulakukan?” Amethyst berdiri dari kursinya, menatap kakaknya dengan penuh kemarahan. “Kau selalu berkata aku lemah, tapi aku bertahan. Aku di sini, kak. Aku tetap mencintai ibu meskipun dia seperti ini. Sementara kau hanya datang, berdiri di sana, dan bicara tentang masa depan!” Michael tidak membalas, hanya menatap Amethyst dengan wajah datar. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan nada dingin, “Kita berbeda, Amethyst. Dan aku tidak akan meminta maaf untuk itu.” Amethyst tertegun mendengar jawaban Michael. Matanya membelalak, lalu bergetar seolah mencari jawaban yang tidak kunjung ia temukan dalam tatapan dingin kakaknya. “Apa maksudmu, Michael?” tanyanya pelan, hampir berbisik, meskipun ia tahu jawabannya mungkin tidak akan menyenangkan. Michael mendesah, menyilangkan kedua lengannya di dada dengan sikap yang membuatnya tampak semakin jauh. “Aku tidak hidup dalam bayang-bayang keluarga seperti yang kau lakukan. Aku tidak memilih untuk memelihara luka atau terus-menerus menyalahkan keadaan.” Amethyst merasa tubuhnya menegang. Kata-kata itu menghantam seperti tamparan, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Aku tidak menyalahkan siapa pun, Michael. Aku hanya—” “Kau hanya apa? Mencoba mencari simpati?” potong Michael dengan nada tajam. “Ibu kita mungkin sakit, tapi itu bukan alasan untuk terus-terusan berputar dalam lingkaran ini. Aku sudah memilih jalanku, Amethyst, jauh dari semua ini. Dari kekacauan, dari... beban.” Amethyst menatap kakaknya dengan campuran terluka dan marah. “Beban? Jadi menurutmu aku dan ibu adalah beban bagimu?” suaranya bergetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak. “Michael, kau mungkin merasa berhasil melarikan diri dari semuanya, tapi aku... aku yang tinggal di sini. Aku yang melihat semuanya. Dan aku—” “Kau yang memilih itu,” potong Michael lagi, lebih dingin dari sebelumnya. “Aku tidak pernah memintamu untuk mengambil peran itu, Amethyst. Kau bisa saja pergi, seperti aku. Tapi kau tetap tinggal, dan itu adalah keputusanmu sendiri.” Kata-katanya menusuk dalam. Amethyst merasakan perutnya melilit, rasa sakit yang ia coba kubur muncul kembali. Ia menggeleng perlahan, menatap kakaknya yang seolah tidak lagi ia kenal. “Michael,” katanya dengan suara serak, “aku tetap tinggal karena aku peduli. Aku tidak bisa meninggalkan ibu sendirian. Aku tidak bisa melarikan diri seperti kau.” Michael tertawa kecil, tetapi tanpa humor. “Kau pikir aku melarikan diri? Aku membuat pilihan yang rasional. Dan lihat di mana aku sekarang, Amethyst. Aku berhasil.” “Berhasil menjadi apa? Seorang pria tanpa hati?” balas Amethyst dengan tajam, emosinya akhirnya pecah. “Kau mungkin punya karir yang hebat, tapi kau kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting, Michael. Keluarga.” Michael menatapnya dengan mata yang tidak menunjukkan emosi. Untuk sesaat, ia tampak ingin membalas, tetapi akhirnya hanya berbalik, mengambil langkah menjauh. Sebelum pergi, ia berkata tanpa menoleh, “Keluarga tidak selalu menjadi rumah, Amethyst. Kadang, keluarga adalah luka.” Kata-kata itu menggantung di udara, meninggalkan Amethyst sendirian di ruangan yang terasa semakin dingin. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan air matanya, tetapi gagal. Dengan tangan gemetar, ia menyeka pipinya dan berbalik menuju pintu keluar. Mungkin Michael benar. Mungkin keluarga mereka adalah luka. Tapi bagi Amethyst, luka itu adalah bagian dari dirinya, dan ia tidak akan pernah meninggalkannya.Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa