Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.
Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya. Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas. Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran." --- Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandangan menarik di depannya. Dari balik kaca dua arah, ia melihat Michael Callahan berlumuran darah berjuang mempertahankan kesadaran. Kedua tangan Michael memegang rantai besi yang menggantungnya, mencoba menopang tubuhnya yang penuh luka. Wajahnya bersih, tanpa cacat, tapi tubuhnya menceritakan kisah berbeda: luka menganga dari goresan hingga daging yang terkoyak. Dominic memang sengaja memerintahkan anak buahnya untuk tidak melukai wajah pria itu. Ia ingin menikmati raut kesakitan Michael sepenuhnya. Baginya, ekspresi itu lebih memuaskan daripada darah yang tumpah. Ruangan tempat Dominic berdiri bernuansa gelap, dengan kesan mewah di setiap sudutnya. Dia menggoyangkan gelas wine di tangannya dengan mata tertuju pada ruangan berlawanan: ruang kumuh, kotor, dan berbau tajam dari darah dan kotoran. Itu tempat di mana Dominic mengadili orang-orang yang telah berani menyentuh dunianya, sengaja maupun tidak. "Lepaskan... aku..." suara Michael terdengar lirih dari speaker. Serak, nyaris tak terdengar, pria itu hanya mampu menggumamkan permintaan samar. Dominic mencibir, ekspresi dinginnya tak berubah. Michael telah menyakiti Amethyst, membuat wanita itu menangis setelah pertengkaran hebat semalam. Sebagai kakak yang tak pernah peduli, Michael turut andil menjadi duri dalam kehidupan Amethyst. Namun, mengingat pria itu tetap mau membiayai kuliah Amethyst, Dominic memutuskan memberinya pelajaran yang ringan saja. "Lepaskan." ucap Dominic sebelum beranjak pergi. "Baik, tuan." Segera, Michael dibawa ke rumah sakit dan dirawat dengan penjagaan ketat. --- Amethyst melirik jam di dinding kafe, merasa lega karena jadwal kerjanya sudah mendekati akhir. Hari itu berjalan seperti biasa, meski hatinya tak sepenuhnya tenang. Setelah pertengkarannya dengan Michael semalam, ia merasa lelah secara emosional. Namun, ada sesuatu yang lebih mendominasi pikirannya: Dominic. Ia baru kembali dari perjalanan bisnis panjang, dan Amethyst tak sabar menunggunya menghubungi. Sambil menuangkan kopi pesanan pelanggan, Amethyst menghela napas dalam. Pekerjaannya sebagai barista sering kali menjadi pelarian dari kekacauan pikirannya, tapi kali ini, bayangan Dominic yang penuh perhatian sekaligus mendominasi terus menghantuinya. Ia adalah tempat perlindungannya sekaligus sosok yang membuatnya merasa rapuh. "Amethyst, kamu kurang fokus hari ini, ya?" Viona, rekan kerjanya, menggodanya. "Sedang mikirin siapa, nih?" Amethyst hanya tersenyum kecil, tak berniat menjelaskan. "Aku cuma lelah, kok." Viona mengangkat bahu. "Kalau lelah, bilang saja ke bos. Kamu bisa istirahat sebentar." Amethyst mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, suara pintu kafe terbuka, diiringi bel yang berbunyi pelan. Ia secara refleks menoleh dan tertegun. Dominic berdiri di sana, mengenakan setelan kasual-kaus hitam dan jaket kulit -tapi tetap terlihat luar biasa mencolok. Aura pria itu begitu kuat hingga beberapa pelanggan berhenti sejenak untuk melirik. Dominic berjalan mendekat dengan senyum tipis, "selamat malam, sweetheart." sapanya lembut dengan suara bass nya yang menghanyutkan. Amethyst merasa pipinya memanas. "Dominic? Kenapa kamu ke sini?" bisiknya, berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Dominic menarik kursi di meja sudut tanpa menjawab, hanya memberikan tatapan yang membuat Amethyst hampir lupa cara bernapas. "Aku ingin melihatmu, tentu saja. Perjalananku terlalu lama, dan aku tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk bertemu." Amethyst merasa hatinya melunak. Dominic memang selalu tahu cara mengejutkannya, dan entah bagaimana, kehadirannya seperti oase di tengah semua kelelahan yang ia rasakan. Setelah mengambil kesempatan saat istirahat, Amethyst mendekati meja Dominic dengan secangkir kopi. "Ini untukmu," ujarnya sambil meletakkan cangkir di depannya. Dominic mengangkat alis, tersenyum kecil. "Terima kasih, tapi yang kuinginkan bukan hanya kopi." Amethyst duduk di depannya, menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?" Dominic mencondongkan tubuh, suara rendahnya terdengar intim. "Sebuah ciuman di bibir?" ucapnya dengan nada menggoda. Telinga Amethyst memerah. Dia memukul lengan Dominic dengan keras, "ini tempat umum. Tidak tau malu." Dominic tersenyum dan kembali duduk dengan tenang. "Baiklah, setelah shift-mu selesai. Aku akan menagihnya." "Baiklah-baiklah..... Terserah kau saja." Tak tahan terus dijahili. Amethyst memilih kembali ke tempatnya bekerja dengan pandangan mata Dominic yang terus tertuju ke arahnya. "Wajah itu memang lebih cocok dihiasi senyuman manis," gumam Dominic sebelum menyesap kopinya perlahan.Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa