Share

Bab 2

Penulis: Alita novel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-29 22:09:13

Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”

Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.

“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.

“Ibuuuu,” teriak si bungsu.

Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.

“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pergi, memang apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka? Kau sama sekali tidak punya uang Tiara. Orang tuamu juga tidak akan bisa membantu. Karena aku yang memberi uang jika keluargamu sedang kesulitan” Rian mengusap pipi Tiara lembut dengan senyum sinisnya. Perlahan tangan besar Rian mencengkram dagu Tiara erat.

“Pengadilan pasti mengabulkan gugatanku agar memenangkan hak asuh anak. Karena mereka memikirkan siapa orang tua yang punya banyak uang,” bisik Rian menakutkan.

Tubuh Tiara bergetar. Dia tidak memikirkan hal itu. Padahal Tiara sudah kerap melihat berita artis wanita yang kehilangan hak asuh anak mereka karena masalah uang. Rian melepas cengkramannya hingga tubuh Tiara luluh ke lantai. Pandangan Tiara kosong, pikirannya terasa buntu.

‘Apa yang harus kulakukan Ya Allah?’ batin Tiara menjerit pilu. Dia tidak mau dimadu. Keputusannya untuk berpisah murni karena Rian sudah berselingkuh hingga membawa wanita itu ke rumah ini.

Saat pengajuan gugatan cerai, Tiara akan menulis perselingkuhan Rian sebagai penyebab perpisahan mereka. Dengan begitu hak asuh anak akan jatuh ke tangannya. Tiara sama sekali tidak memikirkan tentang kondisinya yang tidak punya uang. Dia hanya ingin secepatnya berpisah dari Rian. Tinggal dengan ketiga anaknya lalu mencari pekerjaan. Suara dari kamar kembali menyadarkannya bahwa ada anak-anak disana.

“Cepat buat keputusan. Kau akan pergi tanpa membawa anak-anak atau menerima Dina sebagai adik madumu?” Tangan Rian terulur. Dia menunggu jawaban istrinya.

Tiara masih terdiam. Dia menatap uluran tangan sang suami. ‘Tidak ada pilihan lain. Aku harus bertahan sembari mencari cara mendapat uang dari rumah agar bisa berpisah dari Mas Rian.’

Setelah hatinya mantap, Tiara menggapai tangan Rian lalu berdiri. Pandangan suami istri itu bertemu. Ada berbagai rasa yang berkelindan dalam kepala mereka. Namun tidak ada rasa cinta sama sekali untuk satu sama lain. Hanya ada rasa sakit, cemburu dan marah. Bercampur menjadi satu.

“Baiklah aku terima kalau kau ingin menikah lagi dengan Dina, tetapi aku tidak mau tinggal satu atap dengannya.” Tiara melepas pegangan tangan mereka.

“Kau tidak perlu mengajukan syarat seperti itu. Cukup turuti perintahku untuk menerima Dina sebagai adik madumu.” Rian berdecih kesal.

“Aku tidak ingin anak-anak merasa bingung jika Dina tinggal bersama kita. Kalian pasti bermesraan di depan kami tanpa tahu tempat. Mereka sudah besar untuk bertanya kenapa kau menempel dengan wanita lain.”

“Cukup jelaskan jika sekarang mereka punya dua Ibu,” bantah Rian tidak mau kalah. Tiara balas tersenyum sinis.

“Kau memintaku untuk merahasikan pernikahan keduamu dari Ayah dan Ibu, tetapi ingin memberi tahu anak-anak. Apa kau waras Mas?” tanya Tiara sarkas. Rian melotot tajam mendengar hinaan sang istri.

“Anak-anak sangat dekat dengan Kakung dan Uti mereka. Namanya anak kecil tidak akan bisa menahan mulut untuk bercerita kalau kau sudah membawa wanita lain ke rumah ini. Apalagi dengan jelas mengatakan bahwa anak-anak punya ibu baru. Mereka pasti akan menceritakannya pada Ayah dan Ibu.” Tiara merasa di atas angin. Dia harus segera bernegosiasi agar bisa membukakan pintu untuk anak-anak.

“Baiklah. Aku tidak jadi membawa Dina tinggal di rumah ini.” Rian memberikan kunci kamar pada Tiara. Dengan cepat wanita itu membuka pintu lalu memeluk anak kedua dan ketiganya.

“Maafkan Ibu ya.” Tiara membawa kedua anaknya masuk ke kamar si sulung. Sedangkan Rian turun ke bawah.

Setelah berhasil menenangkan anak-anaknya lalu salat dhuhur bersama, Tiara duduk di tepi ranjang. Menatap kedua anaknya yang tengah tidur pulas. Sebentar lagi dia harus pergi untuk menjemput si sulung. Namun pikiran yang sedang rumit membuat tubuh Tiara sangat lemas.

“Aku tidak boleh lemah meski dipoligami. Apa yang harus kulakukan?” Tiara memijat keningnya bingung.

Pikirannya terasa buntu. Tiara tidak tahu harus melakukan apa untuk mencari kerja. Mengingat kembali kemesraan Rian dan Dina tadi membuat hatinya sakit. Jika terus begini, Tiara takut jika dia jadi gila. Hal itu akan berpengaruh pada anak-anak.

Lalu, bagaimana jika anak-anak tahu tentang pernikahan Rian dan Dina? Mereka pasti akan semakin sedih. Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Tiara menekuk lutut. Menyembunyikan wajahnya disana. Dia menggigit bibir, menahan isak tangis agar tidak terdengar anak-anak.

“Keluar sekarang Ra. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.” Suara Rian terdengar dari luar kamar. Tiara mendongak. Dia menghapus air matanya lalu turun dari tempat tidur. Berjalan untuk membuka pintu.

“Ada apa?” tanya Tiara tak acuh.

“Siapkan surat perjanjian yang harus kita tanda tangani. Asal kau tidak memberitahu orang tuaku tentang Dina.” Rian bersedekap. Wajahnya sangat serius. Mata Rian yang berbentuk almond menatapnya tajam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas.

“Baik. Akan aku kirim lewat WA. Tolong urus dengan notaris jadi aku tinggal menandatanganinya.”

“Bagus. Aku harap kau menepati semua yang tertulis dalam surat perjanjian kita. Jika tidak aku yang akan menceraikanmu dan mengambil hak asuh anak-anak.” Ancam Rian dengan nada tajam. Tiara hanya tersenyum sinis.

“Tenang saja. Aku tidak akan memberi tahu Ayah dan Ibu. Namun jangan salahkan aku jika mereka tahu dari orang lain. Kalau sudah selesai, aku pamit mau menjemput Anggrek di sekolah,” kata Tiara menyebut nama anak sulungnya.

Rian masih berdiri mematung di depannya. Tanpa mempedulikan sang suami, Tiara menutup pintu. Dia mengambil ponsel lalu mengetikan sejumlah syarat untuk Rian. Baru setelah itu dia memakai sweeter dan masker untuk menjemput anak sulungnya di sekolah. Tiara keluar dari kamar lalu turun ke lantai satu. Dia tidak melihat lagi keberadaan Rian dan Dina. Wanita itu segera pergi ke garasi. Rupanya mobil Rian sudah tidak ada disana.

“Kapan mereka pergi?” gumam Tiara heran.

Tiara mengeluarkan motor dari garasi lalu melaju di tengah jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Hanya butuh waktu sepuluh menit hingga Tiara tiba di depan sekolah. Anak-anak kelas enam pulang setelah dhuhur karena harus mengikuti pelajaran tambahan menjelang ujian kelulusan. Meski sekarang sudah tidak ada Ujian Nasional lagi seperti saat Tiara masih sekolah dulu.

Ia menatap satu per satu siswa berseragam merah putih yang keluar dari gerbang. Tiara melambai begitu melihat keberadaan Anggrek. Putri kecilnya yang sudah beranjak remaja tingginya hampir sama dengan Tiara. Dengan rambut panjang yang diikat kuda, berkibar tertiup angin. Anggrek berlari menghampiri ibunya.

“Ibu,” sapa Anggrek riang. Anak itu menyalami tangan ibunya. Wajah Anggrek sangat mirip dengan Tiara saat masih kecil. Sedangkan perawakannya yang jangkung di usia dua belas tahun sangat mirip dengan Rian.

“Hai sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Tiara berusaha menyunggingkan senyum untuk si sulung. Tangannya mengangkat kacamata tanpa lensa yang bertengger di hidung. Kacamata yang selalu ia pakai jika naik motor.

“Alhamdulillah aku dapat nilai bagus Bu.” Anggrek memasang helm yang diberikan Tiara. Gadis kecil itu baru menyadari bahwa mata ibunya bengkak.

“Ibu menangis?” Anggrek yang peka segera bertanya. Tiara menggeleng. Walau tidak bisa menyembunyikan mata sembapnya, tetapi Tiara tidak ingin memberi tahu Anggrek sekarang.

“Nggak sayang. Hanya kelilipan. Ayo naik. Ibu takut adik-adikmu akan terbangun jika kita terlalu lama.”

“Iya Bu.”

***

Saat Tiara dan Anggrek sampai di rumah, Rian sudah duduk di ruang tengah. Wajah pria itu merah padam. Nafasnya cepat seolah Rian menahan amarahnya. Melihat kedatangan Tiara, Rian mendongak. Matanya menatap tajam dengan tangan yang terkepal erat di paha.

“Kamu naik dulu ya sayang. Ada yang mau Ibu bicarakan dengan Ayah.” Tiara mendorong tubuh anaknya agar naik ke lantai dua.

Setelah Anggrek tidak terlihat lagi, Rian berjalan dengan langkah lebar. Tangannya terayun, menampar Tiara hingga tubuh istrinyta terhuyung ke belakang. Rian mencengkram bahu Tiara erat.

“Bukankah sudah kubilang jangan mengadu pada Ayah dan Ibu hah? Karena kamu, Ibu menelepon Dina dan memaki-makinya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bertahanlah dg semua kelemahanmu tiara. tamparan dan cacian akan jadi santapanmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 121

    Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 120

    Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 119

    Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 118

    Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 117

    Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu

  • Bertahan Atau Dimadu?   Bab 116

    Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status