Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.
“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.
“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.
Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari WA, sosial media hingga email.”
“Percuma aku membuka ponselmu. Kau pasti sudah menghapus semuanya.”
“Kalau kau masih tidak percaya, kita bisa pergi ke toko service ponsel. Semua data yang terhapus bisa dikembalikan dengan mudah.” Tantang Tiara membuat Rian terdiam.
“Kita bisa buktikan aku atau Dina yang berbohong.”
“Baik. Besok aku akan mengajak Dina ke toko service ponsel langgananku. Kita bertemu disana.”
Rian pergi begitu saja. Dia tidak pamit. Tiara menghela nafas. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Tiara tidak pernah tahu jika Rian sering pergi ke toko service ponsel. Untuk apa? Toh dia bisa membeli ponsel mahal dengan logo apel. Ponsel yang juga Rian berikan di hari jadi pernikahan mereka yang pertama. Tiba-tiba kenangan masa lalu seperti kaset yang berputar di kepalanya.
Tiga belas tahun berumah tangga membuat Rian berubah jadi pria yang tak acuh. Sikapnya tidak sehangat dulu saat mereka masih pacaran. Di awal pernikahan manisnya madu masih bisa ia teguk. Kehamilan Tiara tidak lama setelah mereka menikah membuat Rian sangat bahagia.
Masa pacaran yang singkat selama enam bulan sudah membuat Tiara tahu watak Rian yang keras, egois dan tidak suka dibantah. Namun Tiara tetap menyukainya karena Rian adalah pacar yang romantis dan mau mendengar keluh kesahnya. Dia mantap menerima pinangan sang kekasih karena orang tua Rian juga menyukainya.
Kelahiran anak pertama dan anak kedua mereka membuat Tiara mulai sibuk. Tidak bisa memberikan perhatian untuk suaminya lagi. Meski begitu, Rian tetap memberi perhatian sebagai suami dan ayah yang baik. Dia tidak segan membantu Tiara melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak-anak lalu melakukan deep talk atau percakapan antara suami istri sebelum tidur.
Sayangnya sebelum kehamilan anak ketiga empat tahun lalu, sikap Rian mulai berubah. Dia sering pulang malam dengan alasan lembur atau pergi ke rumah teman. Mengabaikan anak-anak yang membutuhkan perhatian ayah mereka. Sering keluar kota dengan alasan pekerjaan. Hingga pertengkaran demi pertengkaran tidak terelakkan lagi. Rasa cinta diantara mereka yang menggebu perlahan menipis hingga akhirnya hilang tak bersisa.
Tiara yang lelah menghadapi perubahan Rian, memilih mengabaikan suaminya. Dia terpaksa menjalani pernikahan ini demi ketiga buah hatinya yang masih kecil. Dalam setiap sujud, Tiara selalu berdoa agar Rian bisa berubah seperti dulu. Tidak perlu pulang tepat waktu, cukup memberi perhatian padanya dan anak-anak. Itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Siapa sangka jika Rian pulang membawa wanita lain. Mereka juga berani bermesraan dihadapannya. Namun satu hal yang masih membuat Tiara bingung. Apa alasan Rian mempertahankan rumah tangga mereka jika dia ingin menikah dengan Dina? Apa karena kondisi ibu mertuanya?
Pandangannya tertuju pada kamar tamu. Entah kenapa dia ingin sekali masuk kesana. Sudah sebulan lebih Tiara tidak membersihkan kamar yang sekarang dipakai Rian. Mereka memang sudah pisah ranjang sejak setahun yang lalu dengan alasan agar Rian tidak mengganggu tidur Tiara jika pria itu pulang malam. Rian hanya mendatanginya saat butuh pelampiasan hasrat.
Kakinya melangkah masuk. Membuka pintu yang tidak terkunci. Keningnya berkerut heran. Padahal setiap pergi Rian selalu mengunci kamar tamu. Tidak mengijinkan siapapun masuk tanpa seijinnya. Pria itu rela membersihkan kamarnya sendiri atau kalau dia meminta Tiara membersihkan kamarnya, maka Rian akan mengawasi sang istri.
Baru saja Tiara masuk, dia melihat ponsel dengan casing biru dongker di atas laci. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur. Saat menekan layar, terlihat foto Rian dan Dina. “Ponsel siapa ini?”
Dia membuka kunci layar lalu membuka WA. Sayangnya ada pola yang membuatnya tidak bisa membuka aplikasi itu. Tiara memasukan ponsel itu ke saku. Dia akan membawanya saat pergi ke toko service ponsel bersama Rian dan Dina.
Ia membuka laci yang ada disamping tempat tidur. Ada map dengan logo rumah sakit dan departemen kandungan. Tiara mengambil map itu lalu membuka isinya. Terpampang hasil pemeriksaan dengan nama Dina beserta USG janin berusia tiga bulan. Tangan Tiara bergetar. Hasil USG ini membuktikan jika Dina sudah hamil di luar nikah.
“Jadi ini alasan mereka akan menikah?” Tangannya mencengkram foto USG hingga berkerut. Tiara menggigit bibirnya. Alasan Rian menikahi Dina hanya karena ingin punya anak laki-laki hanya bualan. Sang suami menutupi kesalahan yang ia buat hingga membuahkan janin di perut Dina.
Memikirkan hal itu membuat hati Tiara semakin perih. Dia tidak menyangka jika Rian tega berhianat di belakangnya. Tiara memukul dadanya. Tidak tahan dengan masalah rumah tangga yang kali ini hampir menghancurkan pernikahannya.
“Astaghfirullah.” Wanita itu mengucap kalimat istighfar berulang kali. Sembari menghela nafas hingga perasaannya tenang.
Tiara memegang kepalanya yang terasa berputar. Kenyataan demi kenyataan yang hadir hari ini membuat hati Tiara hancur berkeping-keping. Dia sudah tidak kuat lagi. Ingin rasanya pergi sekarang juga, tetapi wajah anak-anak yang membayang mengurungkan niatnya.
“Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Tolong beri hamba petunjuk.” Wanita itu mengusap wajahnya gusar.
Semua pikiran itu berpilih seperti benang kusut. Tiara masih berpikir bagaimana caranya mencari pekerjaan dari rumah. Menutupi kenyataan jika Rian akan menikah dengan Dina dari anak-anak dan mertuanya. Apalagi kondisi kesehatan ibu mertuanya yang tidak baik.
Tiara mendongak. Menatap plafon kamar berwarna putih. Beralih pada lemari yang berisi semua pakaian Rian. Ada juga dua koper besar yang terletak di sudut jika Rian pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. “Pasti saat itu Mas Rian pergi ke rumah Dina,” gumam Tiara sendu. Matanya kembali beralih pada laci yang masih terbuka.
Saat Tiara hendak menutup laci, dia tidak sengaja melihat amplop berwarna coklat. Keningnya berkerut dalam. Sebelumnya Tiara tidak pernah melihat amplop itu ada di laci. Rasa penasarannya membumbung tinggi. Tiara meletakan map yang berisi hasil pemeriksaan Dina lalu mengambil map lain di laci.
Mata wanita itu kembali terbuka lebar. Kali ini matanya terasa berkundang-kunang saat dia bisa melihat dengan jelas ada sepuluh foto dengan dua pemeran. Satunya adalah seorang pria tinggi berwajah tampan dengan mata sipit. Sedangkan pemeran wanita memiliki wajah yang sama persis dengannya. Tangannya bergetar lagi. Kali ini lebih hebat. Dia tidak menyangka bisa menemukan foto yang membuat pernikahannya hampir hancur.
Hatinya menolak untuk melihat foto-foto itu lebih lama. Terlihat dengan jelas si pria berada disamping wanita itu. Tubuh mereka hanya tertutup selimut sampai ke dada, memperlihatkan bahu yang terbuka. Tiara berusaha mencari perbedaan yang mencolok, tetapi tidak bisa. Foto itu jelas seperti asli. Ia tidak bisa lagi mencari cara kecuali meminta bantuan orang lain. Namun, dalam hati kecilnya Tiara terlalu malu jika ada orang lain yang melihat foto tidak senonoh yang menampilkan wajahnya. Walaupun foto ini hanya editan semata.
“Siapa yang sudah menjebakku? Apakah foto ini perbuatan Dina?” Mata Tiara terasa berkunang-kunang. Dia sudah tidak kuat lagi menghadapi kenyataan bahwa perubahan sikap Rian selama ini hanya karena beberapa lembar foto. Karena terlalu fokus dengan foto yang ada di tangannya, wanita itu tidak menyadari saat putri sulungnya membuka pintu. Perlahan Anggrek menutup pintu lalu berjalan mendekat hingga Anggrek bisa melihat foto yang dipegang ibunya.
“Astagfirullah,” jeritan Anggrek membuat Tiara menoleh. Semua foto yang pegang jatuh ke lantai. Membuat Anggrek bisa melihat semuanya.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku
Aurel menghela nafas. Dia menyiapkan jawaban terbaik yang akan ia kirimkan pada Tiara. Meskipun wanita itu sudah disakiti sedemikian rupa, bahkan hampir menghancurkan rumah tangganya, tapi Tiara adalah sosok yang sangat mengagumkan karena mau mengirim pesan untuk mencari tahu keadaan Dina saat ini.[Mimpi anda memang benar Bu Tiara. Telah terjadi hal buruk di rumah saya karena Dina menggunakan ilmu hitam disana. Saya mengirimnya ke rumah sakit jiwa, khusus di ruang isolasi agar Dina tidak bisa menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.Maaf tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena sekarang saya sedang menemani seorang ustad kenalan keluarga yang sedang meruqyah Dina. Jika anda ingin tahu lebih banyak, kita bisa bertemu di lain kesemapatan.]Aurel menekan tombol kirim. Belum ada balasan dari Tiara. Aurel juga tidak menunggu karena ia paham jika setiap orang punya kesibukan masing-masing.Wanita itu lalu menekan nomor sang suami, Hendra. Karena tujuan awalnya membuka aplikas
Aurel menundukan kepalanya dengan cara yang sangat amat sopan pada Ustad Soleh. Begitu juga dengan semua muridnya yang sebagian besar sudah bergelar ustad dan ustadzah."Selamat siang Pak Ustad. Mari kita masuk," kata Aurel meluruskan tangan kanannya dengan gestur sopan"Baik Bu Aurel," jawab Ustad Soleh tidak kalah sopannyaDua orang dengan tampilan berbeda itu berjalan bersisian. Meskipun ada jarak yang membentang di antara mereka. Bagaimanapun juga Ustad Soleh adalah seorang pemuka agama yang harus dihormati. Begitu juga dengan dua pengawal Aurel yang berjalan di belakang. Mereka berjalan bersisian dengan murid laki-laki Ustad Soleh.Mereka pergi ke meja depan. Melakukan pendaftaran untuk menjenguk Dina lalu diantar salah satu perawat menuju sel isolasi. Aurel yang sudah hafal dengan desain rumah sakit ini berjalan mantap melewati dua gedung berbeda tempat pasien dirawat.Perawat memilik rute jalur lorong. Dimana mereka hanya melewati setiap kamar yang tertutup. Tidak ada pasien ya
Tidak ada yang dapat membayangkan betapa leganya Aurel sekarang. Kondisi rumahnya sudah kembali seperti semula. Semua asisten rumah tangga dan pengawal tidak berada di bawah kendali Dina. Bu Jumi juga tidak akan diganggu lagi oleh sosok kiriman Dina. Namun masih ada satu hal lagi yang harus Dina lakukan sekarang yaitu pergi ke rumah sakit jiwa bersama Ustad Soleh dan para santrinya untuk menghapus ilmu hitam yang sempat mengikat Dina.Aurel berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Dia menatap pantulan dirinya yang memakai kemeja berwarna kuning. Selarang dengan kulitnya yang putih. Dipadu dengan celana hitam panjang dan blazer berwarna abu-abu. Menambah kesan mewan dari kalangan orang kaya lama. Meskipun Aurel hanya memakai sepatu murah seharga dua ratus ribu dan jam seharga lima ratus ribu.Wanita itu tidak suka menggunakan perhiasan atau barang mewah jika hanya untuk bekerja. Bukan bermaksud untuk merendah di tengah kehidupannya sebagai keluarga konglomerat. Baginya bekerja cuku