Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.
“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.
[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]
Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala tidak membuat konsentrasi Tiara terganggu.
Uang di dompet tinggal seratus ribu. Sejak kemarin Rian belum memberi uang lagi padahal pria itu sudah gajian. Justru pulang membawa wanita lain. Tiara harus memutar otak karena uang itu hanya cukup untuk dua atau tiga hari ke depan.
Meski sudah menekuni profesi sebagai penulis online sembari mengikuti kelas menulis, Tiara tidak bisa langsung mendapat gaji karena menunggu bab yang terkunci terbuka. Gajian akan dicairkan bulan depan setelah memenuhi saldo yang cukup. Dia meletakan ponsel setelah mengetik bab baru untuk novelnya.
“Bagaimana caraku mendapat uang untuk kebutuhan anak-anak?” gumam Tiara pusing.
Dering ponselnya membuat Tiara menoleh. Ada pesan masuk dari ibu mertuanya. Tiara mengambil ponsel itu lalu membuka pesannya.
[Ibu ada rejeki dari penjualan tanah Nduk. Separuhnya Ibu kirim ke rekeningmu, separuhnya sudah Ibu transfer ke rekening Riska.]
Mata Tiara membulat tidak percaya. Dia memang dekat dengan mertuanya. Ibu Rian juga kerap mengirim uang untuk Tiara dan Riska, adik iparnya, jika mendapat rejeki. Ia membuka aplikasi e-banking. Membaca nominal yang dikirim ibu mertuanya.
“Lima puluh juta.” Tiara tidak percaya. Ibu Rian tidak pernah mengirim uang sebanyak ini. Tangannya gemetar, masih menatap tidak percaya layar ponsel.
“Ibu kita pergi sekarang?” Nana bertanya dengan suara cadelnya. Gadis kecil itu berdiri di depan ibunya.
Tiara melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Waktunya menjemput Anggrek di sekolah. “Iya sebentar sayang. Ibu ambil jaketnya Nana dulu.”
Dia beranjak dari sofa, masuk ke kamar. Sebelum mengambil jaketnya dan Nana, Tiara membalas pesan ibu mertuanya.
[Ya Allah banyak banget Bu.]
[Tidak masalah Nduk. Namanya juga untuk mantu dan cucu-cucu Ibu. Ibu yakin kamu bisa menggunakan uang itu dengan baik. Maaf Ibu belum bisa datang minggu depan. Ada banyak orang yang punya hajatan, jadi Ibu harus rewang.]
[Iya Bu.Terima kasih banyak.]
Ia masih menatap saldo di rekening. Lima puluh juta adalah nominal yang sangat besar untuknya. Tiara berjanji akan menggunakan uang itu dengan baik. Dia tidak perlu lagi mengemis pada Rian.
Tiara memakai jaketnya lalu mengambil jaket kecil Nana. Memakaikannya ke tubuh putrinya dan pergi ke sekolah. Di perjalanan pulang, pandangannya awas melihat ke sekitar. Meski Rian membatalkan rencana mereka pergi ke toko service ponsel, Tiara tetap mencari toko service terdekat. Dia harus mencari alternatif untuk membuktikan tentang foto tidak senonoh dengan wajahnya. Matanya tertuju ke toko service yang berjarak satu kilometer dari sekolah anak-anak. Di plan toko tertera jasa Pakar Telematika.
‘Mungkin aku bisa kesana besok.’
Kilas balik perubahan sikap Rian selama empat tahun hingga pertengkaran mereka kemarin terngiang di kepalanya. Cacian sang suami terdengar lagi di telinga. Hatinya sangat sakit mendapat tuduhan sebagai wanita murahan yang sudah berselingkuh. Dia tidak menyangka akan mendapat ujian seberat ini.
“Aku janji akan membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku akan membalas fitnah kalian,” gumam Tiara yang terbang terbawa hembusan angin.
***
Keesokan harinya, usai menjemput Anggrek dari sekolah Tiara mengajak ketiga putrinya jalan-jalan ke mall untuk memberi peralatan sekolah. Setelah itu mereka pergi ke toko service yang dilihat Tiara kemarin.
“Loh. Inikan tokonya guruku Bu.” Anggrek menunjuk toko di depannya.
“Punya siapa Kak?”
“Pak Haris. Wali kelasku saat kelas empat. Guruku yang seumuruan sama Om Heri. Masih muda dan ganteng.” Penjelasan Anggrek membuat Tiara mengingat sosok guru yang dimaksud.
“Pak Haris itu hebat banget Bu. Beliau cerita waktu kuliah lama karena ambil dua jurusan di dua kampus yang berbeda. Pertama jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar lalu setelah lulus Pak Haris kuliah lagi di jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Selain mengajar di sekolah, beliau juga membuka toko ini bersama istrinya.” Cerita Anggrek dengan binar mata kagum.
Anggrek sering bercerita tentang beberapa gurunya pada Tiara. Salah satunya adalah Haris. Mereka juga beberapa kali bertemu di sekolah saat Anggrek masih duduk di kelas empat.
Mereka masuk ke toko yang disambut satpam. Suasana toko terasa sejuk dengan AC yang menyala. Toko ini dilengkapi dengan sofa memanjang yang menempel di dinding. Serta meja jika ada pengunjung yang membeli minuman dingin di kulkas.
“Kak Anggrek tolong jaga adik-adiknya di sofa. Ibu mau menyervice ponsel dulu.”
“Iya Bu.”
Tiara berjalan ke konter. Menjelaskan maksud kedatangannya. Customer service mengambil gagang telepon. Bicara dengan seseorang. Tiara mendengar nama Haris disebut. CS itu mengangguk lalu meletakan gagang telepon.
“Ini nomor antrian anda. Silahkan naik ke lantai dua.” CS itu menangkupkan kedua tangan di dada.
“Baik. Terima kasih Mbak.” Tiara bangkit dari kursi. Memberi tanda pada ketiga putrinya akan naik ke lantai dua.
Sesampainya disana, suasana di lantai dua tidak berbeda dengan lantai satu. Ada dua orang yang menunggu dengan membawa amplop. Dada Tiara kembali berdebar. Dia mengeluarkan amplop berisi foto yang diberikan Rian. Saat nomor antriannya dipanggil, Tiara masuk ke ruangan Pakar Telematika. Matanya membulat saat bertatapan dengan Haris.
“Bu Tiara,” sapa Haris kaget.
“Selamat siang Pak Haris. Tadi Anggrek cerita kalau anda pemilik toko ini.” Tiara menyalami Haris.
“Silahkan duduk.” Haris mengulurkan tangannya ke kursi.
Tiara duduk lalu memberikan amplop berisi foto tidak senonoh dengan editan wajahnya. “Maaf jika saya membuat anda kaget. Saya mengira Pakar Telematika yang dimaksud adalah orang lain.”
“Saya sendiri yang menangani klien yang ingin memastikan kebenaran tentang foto atau video. Kebetulan hari ini saya hanya mengajar kelas satu. Jadi bisa pulang jam sepuluh pagi. Ada yang bisa saya bantu Bu?”
“Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah Pak Haris pernah menerima permintaan untuk menyelidiki foto-foto ini?” Tiara menyerahkan ponselnya.
Wajah Haris tetap tenang saat melihat Tiara di layar ponsel itu. Haris menggeleng. “Tidak pernah. Saya adalah satu-satunya Pakar Telematikan di toko ini.”
“Apakaha ada Pakar Telematika lain di kota kita selain anda?”
“Setahu saya tidak ada Bu. Kenapa?”
Dia menceritakan secara singkat tentang masalah rumah tangga mereka dan percakapannya dengan Rian tadi malam. “Saya bukan wanita di foto itu. Karena itulah saya ingin membuktikan jika saya sudah dijebak.”
Tiara menahan getar tangannya. Rasa marah, kecewa, sedih berbaur jadi satu mengingat perlakukan Rian selama ini.
“Baiklah. Saya akan membantu. Apakah anda punya foto atau video lain? Selain foto yang anda bawa.”
“Saya punya foto-foto yang lain. Sebentar Pak.” Tiara mengirim foto-foto yang ia potret dari foto yang dimilki Rian. Haris mengangguk setelah menerima file yang terkirim.
Tiara memperhatikan beberapa alat di meja. Tiara tidak tahu apa yang dilakukan Haris. Pria itu terus mengamati wajahnya lalu membandingkan dengan foto di ponsel yang ia pegang.
Suasana hening melingkupi ruangan ini. Hanya suara printer yang tengah mencetak kertas yang terdengar. Tiga puluh menit menunggu, Haris mengangguk lalu menandai foto-foto yang telah ia cetak dengan spidol.
“Wanita di foto ini memang bukan anda,” kata Haris yakin.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku