Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.
“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.
Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga anak sulungnya.
“Oh begitu,” bisik Tiara mengusap air matanya. Di titik ini Tiara akhirnya sadar tidak ada lagi cinta yang tersisa untuknya. Selama ini Rian bertahan karena permintaan Dina dan untuk menjaga perasaan ibunya. Bukan karena ada anak-anak diantara mereka.
Dia merasa bodoh karena sempat memohon pada Rian untuk membatalkan rencana pernikahannya dan Dina. Disaat Rian dibutakan cinta hingga percaya pada apapun yang Dina katakan. Sudah cukup untuknya bertahan. Tiara harus membuktikan kalau dia tidak bersalah.
“Maaf aku tidak bisa menemukan ponsel rahasiaku. Sepertinya tertinggal di tempat lain. Tidak mungkin Tiara yang mengambil karena foto USG dan fotonya masih tersimpan di laci. Besok aku bawakan saat pergi ke apartemen. Kamu tidak perlu khawatir. Kita bisa minta video USG saat periksa lagi bulan depan.” Rian tertawa bahagia. Tawa yang menyayat luka semakin dalam di hati Tiara.
“Kamu tenang saja. Tiara tidak pernah bertanya lagi tentang gajiku. Aku bisa memotong uang belanjanya untuk menambah tabungan kita. Untuk sementara tabungan itu kita gunakan untuk membeli rumah dulu. Kalau tabunganku sudah terkumpul lagi, aku akan membelikanmu perhiasan mewah.”
Mendengar perkataan Rian membuat Tiara ingin pergi sekarang juga. Namun harga dirinya seketika terusik. Dia tidak bisa berpikir jernih, kemarin Tiara berusaha menahan diri. Entah kenapa sekarang dia tidak bisa melakukannya. Tiara membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Rian yang sedang bersandar di tempat tidur, terlonjak kaget. Ponsel pria itu sampai terlepas dari genggamannya. Tiara menghampiri sang suami dengan langkah cepat. “Aku sudah mendengar semuanya. Kamu bilang aku selingkuh. Mana buktinya? Jadi karena tuduhan tidak berdasar itu sikapmu berubah empat tahun lalu.”
Tiba-tiba saja wanita itu mendapat keberanian. Dia tidak terima harga dirinya terinjak karena dituduh selingkuh. Padahal selama ini Tiara setia mendampingi sang suami meski sifat Rian sudah berubah. Ia tutup rapat masalah rumah tangga mereka dari siapapun. Namun Rian sudah menuduhnya selingkuh hanya karena beberapa lembar foto.
“Aku punya buktinya.” Rian menjawab santai. Bukannya merasa takut, pria itu justru tampak senang melihat kemarahan Tiara.
Rian menghamburkan foto-foto itu ke wajah Tiara. “Lihat baik-baik. Itu semua fotomu. Kamu mau mengelak lagi hah?”
Tiara berjongkok. Walau hatinya biasa saja melihat semua foto ini, tetapi Tiara pura-pura kaget agar Rian tidak curiga jika dialah yang mengambil ponsel rahasia pria itu. Tiara lalu bangkit dengan mengambil salah satu foto yang ditunjukkan Anggrek tadi.
“Aku sudah berbaik hati tidak menceraikanmu setelah tahu kamu selingkuh. Seharusnya kamu berterima kasih padaku dasar murahan.” Cacian Rian menusuk hati Tiara semakin dalam.
Tangannya terangkat hingga bunyi tamparan terdengar keras di kamar ini. Tiara ingin membalas cacian Rian lebih keras. Namun ia segera menghela nafas. ‘Aku harus bisa bertindak elegan. Balas Mas Rian dan Dina dengan cara cerdik. Bukan dengan cara bar-bar.’
“Kamu menamparku?” Rian menatap nyalang dengan tangan mengusap pipinya yang panas.
“Iya. Kamu menuduhku selingkuh dan mengataiku murahan tanpa membuktikan kebenaran foto ini,” bantah Tiara tidak terima.
“Aku sudah mencari kebenarannya dengan pergi ke pakar telematika. Seorang ahli mengatakan bahwa semua foto itu asli.”
“Siapa ahli yang kau temui. Dia pasti palsu karena tidak bisa membedakan foto editan dan foto asli.” Tiara tidak mau kalah. Dia memperlihatkan foto yang ia pegang ke hadapan Rian.
“Lihat baik-baik tangan wanita di foto ini lalu bandingkan dengan tanganku. Apakah ada yang berbeda?” tanya Tiara membuat Rian memperhatikan foto itu dan istrinya bergantian.
“Aku punya tanda lahir abstrak berwarna merah di atas siku. Sedangkan wanita di foto ini tidak punya. Seharusnya kamu bisa membedakannya dengan mudah karena kita sudah menikah tiga belas tahun.” Tiara melempar foto itu ke wajah Rian. Seperti yang Rian lakukan tadi.
“Ta—tapi,” ujar Rian bingung.
“Tidak mungkin. Pakar telematika yang kutemui tidak mungkin salah.”
“Kalau begitu kita buktikan besok. Kau tinggal pilih, kita buktikan pada adik iparmu atau minta rekomenadasinya untuk menghubungi ahli yang lain.”
“Kita akan bertemu dengan orang yang sama. Dia akan menjelaskannya padamu.”
“Tidak mau. Mungkin di toko service besok aku bisa menanyakan apa ada ahli yang lain. Jika tidak kita buktikan lain waktu. Aku sendiri yang akan mencari pakar telematika lain untuk membuktikan jika aku tidak bersalah.”
“Bagaimana jika kamu yang bersalah? Apa kamu bersedia mengakui kesalahanmu di depan keluarga kita?” tanya Rian menantang.
Detak jantung Tiara meningkat. Dia gugup. Tantangan Rian bisa merugikan untuknya. Namun melihat seringai mengejek di wajah sang suami, membuat keberanian Tiara kembali muncul.
“Aku tidak akan melakukannya karena aku tidak bersalah. Lalu apa yang akan kamu lakukan jika aku yang benar?” Tiara melipat tangannya di dada. Menantang balik.
“Apa kamu berani mengakui perselingkuhanmu dan Dina di depan Ayah dan Ibu? Sekalian minta restu akan menjadikannya istri kedua.”
“Kamu?” geram Rian marah.
“Jangan mengungkit hal itu lagi. Jika tidak aku akan menceraikanmu dan mengambil hak asuh anak-anak,” gertak Rian lagi.
Tidak seperti sebelumnya, Tiara tidak gentar sama sekali. Dia menerima perlakuan Rian karena tidak tahu apa salahnya. Sekarang setelah tahu penyebab Rian berubah karena hasutan Dina, Tiara merasa di atas angin. Dia yakin bisa mendapat hak asuh anak jika memberi tahu adik iparnya.
“Silahkan saja. Aku tidak takut. Sudah dua kali kamu mengancamku dengan kata cerai. Walau tidak tahu hukum pastinya, mungkin saja sudah jatuh talak Mas. Hati-hati dalam berucap atau kita akan benar-benar berpisah. Aku tunggu besok pagi untuk membuktikan tuduhanmu dan Dina padaku.” Tiara berbalik pergi. Puas mengatakan kekesalan hatinya pada sang suami.
***
Keesokan harinya, Tiara melakukan aktivitas seperti biasa. Menyiapkan sarapan, mengantar anak-anak ke sekolah lalu pulang lagi ke rumah. Sejak tadi pintu kamar Rian masih tertutup. Tiara tidak membangunkan Rian setelah dia tahu apa yang dilakukan sang suami di belakangnya.
Jarum jam terus berputar hingga menunjukkan pukul sembilan. Sesuai janjinya dan Rian kemarin, seharusnya hari ini mereka pergi ke toko service ponsel untuk membuktikan tuduhan Dina padanya. Namun Rian tidak mengirim pesan dimana alamat toko itu.
Dia memutuskan membuka kamar Rian. Kosong. Tidak ada siapapun disana. Tas kerja Rian juga tidak ada ditempatnya. Itu berarti Rian sudah berangkat kerja. Ia mengirim pesan pada Rian untuk memastikan dimana alamat toko itu.
[Kita jadi pergi ke toko service atau tidak?]
Tidak lama kemudian ada pesan masuk dari Rian. Matanya membulat saat melihat foto yang dikirim, membaca caption yang tertera dengan hati-hati.
[Apapun yang terjadi aku tidak akan percaya padamu. Tidak mungkin Dina berbohong. Untuk apa membuktikannya? Jangan hubungi aku dulu. Kami sibuk mempersiapkan pernikahan.]
Foto itu menunjukkan Dina bersama wanita berhijab memakai baju pengantin. Rian mengirim pesan lagi yang memperjelas tebakan Tiara.
[Lihatlah betapa cantiknya Dina saat memakai baju pengantin. Tidak sebanding denganmu saat kita menikah. Barang baru memang terlihat beda dengan barang bekas. Terlihat sangat berkelas.]
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku