*Happy Reading*
"Kita putus aja!" final Nissa Akhirnya. Karena sudah tak kuat menahan sesak atas sikap pacarnya itu. Ah Ralat, tepatnya orang yang dijodohkan oleh ayahnya.
Mendengar keputusan Nissa. Abyan, tunangan Nissa itu bukannya kaget, atau setidaknya merasa bersalah pada Nissa. Pria itu malah terlihat memutar mata jengah ditempatnya.
"Kayak bisa aja kamu hidup tanpa aku," jawabnya dengan jumawa. Membuat Nissa menggeram tertahan.
"Aku bisa kok! Aku akan--"
"Udahlah!" Abyan menyela dengan malas. Sambil mengibaskan tangannya dihadapan Nissa. Seperti Tak mau mendengar apapun lagi ucapan dari Nissa.
"Kamu tuh jangan banyak drama, bisa gak? Aku tuh capek!" imbuhnya lagi, sambil menatap Nissa dengan malas. "Aku udah kerja seharian, lembur, meeting sana sini. Aku butuh istirahat, Nis."
"Aku tahu, tap--"
"Makanya berhenti merengek!" pangkas Abyan dengan cepat. "Bisa gak? Kalau gak penting-penting amat. Kamu gak usah nemuin aku? Apalagi kalau niat kamu cuma buat ngerengek kaya gini. Nyebelin, tau gak?" tambah Abyan kejam. Membuat hati Nissa makin merepih sakit.
"Tapi, aku kan, cuma mau kepastian, Byan," ujar Nissa masih mencoba tegar.
"Kepastian apa lagi? Bukannya udah jelas, ya? Aku tuh udah milih kamu, dan nerima perjodohan kita, apa lagi?" jawab Abyan acuh.
"Ya, kalo gitu kenapa kamu masih jalan sama pacar-pacar kamu itu!!" seru Nissa mulai emosi.
"Ya terus masalahnya di mana?" Namun Abyan masih menjawabnya dengan tenang. Seakan perasaan Nissa itu memang tidak penting sama sekali untuknya.
"Toh, mereka kan, cuma pacar aku. Bukan calon istri aku seperti kamu! Jadi, tenang aja. sampai kapan pun, mereka gak akan bisa gantiin posisi kamu di sini!" tambah Abyan dengan lugas.
"Tapi bukan kaya gini yang aku mau, Byan." lirih Nissa akhirnya. Sudah tidak tahan menahan sakit hatinya. "Aku tuh, ... maunya kamu--"
"Ck, Malah nangis, lagi," desis Abyan tiba-tiba. Seraya kembali memutar mata dengan jengah.
"Udahlah! kita bicarain ini lagi nanti. Soalnya Aku males ngomong sama kamu, kalo kamu udah nangis gini."
"Tapi--"
"Pokoknya ingat ya, Nissa! Jangan menghubungiku, kalau bukan untuk masalah yang Urgent!"
"Tapi aku butuh kepastian dari kamu, Byan!" sergah Nissa cepat. Sambil menarik tangan Abyan yang hendak beranjak pergi.
"Kan, aku udah jelasin tadi." Abyan melepaskan tangan Nissa dengan malas.
"Tapi aku gak mau diginiin, Byan."
"Ya, terus maunya di kayak gimanain? Dimadu langsung?"
Astaga!
"Bukan begitu, Byan--"
"Ck, udahlah! Pokoknya kita bicara lagi nanti. Setelah kamu bisa lebih dewasa dan bisa nahan diri buat gak nangis di depan aku!" Abyan berdecak kesal kembali. "Kamu tahu, kan? Aku gak suka cewe cengeng! Apalagi ceweknya kaya kamu. Pasti gak bakal bisa mikir kalau lagi nangis. Udah, ya? Aku balik! Aku capek! Kamu bisa kan, pulang sendiri? Nih, aku ongkosin!"
Setelahnya. Abyan pun benar-benar pergi, meninggalkan Nissa yang kini mulai tergugu di tempatnya, sambil menatap uang merah dua lembar di atas meja dari Abyan.
Nissa sudah tidak kuasa menahan sesak di hatinya. Benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana mengambil hati pria yang ayahnya jodohkan padanya itu.
Padahal, Nissa sudah berusaha menjadi seperti yang Abyan mau. Mengubah tampilannya lebih modis, belajar masak, belajar make up. Bahkan, belajar bisnis agar bisa membuat Abyan nyaman jika mengajaknya ngobrol.
Namun ternyata, Abyan tetaplah Abyan. Sejauh apapun Nissa merubah diri. Abyan tetap tak mau melihatnya. Bahkan, pria itu terus saja berselingkuh di belakangnya.
Walaupun kata Abyan mereka cuma pacar, dan tidak mungkin jadi calon istri seperti Nissa. Tetap saja, rasanya ... sesak sekali.
*****
"Kukira, kau sudah pulang setelah ditinggal tunanganmu tadi?"Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi Nissa. Membuat gadis itu segera menghapus air matanya dengan kasar, dan menoleh ke arah sumber suara, yang sepertinya berdiri disampingnya.
Raid Anderson.
Si bule galmov yang terus membayangi sahabatnya, Naira.
"Ngapain? Masih mikirin tunanganmu yang brengsek itu?" tanya Raid lagi. Seraya duduk di samping Nissa dengan santai, Nissa refleks sedikit beringsut menjauh.
Jika mendengar dari pertanyaan Raid. Sepertinya bule ini cukup tahu apa yang telah di alami Nissa di dalam tadi? Atau mungkin, malah tahu banget. Karena buktinya. Dia bisa bertanya selugas ini pada Nissa.
"Bukan urusan Abang," tukas Nissa galak akhirnya. Seraya memalingkan wajah ke arah depan kembali.
"Memang bukan. Tapi saya jengah aja, liat kelakuan kamu yang diam saja di tinggalkan tunangan kamu tadi," balas Raid enteng.
Namun Nissa sepertinya sedang malas menjawab Raid sekarang. Karena itulah, Nissa memilih diam dan menerawang jauh ke depan tanpa mau repot-repot membalas ucapan Raid.
"Ck, malah bengong! Di kira saya martabak apa? Di kacangin gak pake coklat," ucap Raid lagi. Mencoba berkelakar untuk menghibur Nissa. Tetapi yang dihibur malah tetap diam, dan sepertinya tak ingin peduli.
Raid pun akhirnya menghela napas berat, lalu mengusap kepala gadis yang saat ini terbalut hijab pink muda itu. Mau tak mau Nissa kembali menoleh ke arah Raid, dan menatap pria bernetra hijau itu dengan lekat.
"Kalau kamu tidak kuat. Lepaskan saja. Tidak usah ditahan. Juga ... tidak usah banyak berpikir. Karena tidak ada yang tau apa yang bisa membuatmu bahagia, selain dirimu sendiri," ucap Raid bijak. Membuat Nissa tertegun cukup lama. Sebelum akhirnya menunduk dalam.
"Nissa juga sebenernya gak mau kaya gini, Bang," lirih Nissa akhirnya. "Tapi ayah-- "
"Sekali-kali egois itu tidak papa, kok," sela Raid cepat. Kembali membuat Nissa tertegun dan berkaca-kaca.
"Tapi Nissa gak mau kecewain ayah. Soalnya, Nissa cuma punya ayah sekarang" jawab Nissa lagi.
Raid kembali menghela napas panjang mendengar hal itu.
"Saya yakin. Kalau niat ayah kamu melakukan perjodohan ini, awalnya juga pasti memikirkan kebahagiaan kamu. Tapi jika kenyataannya perjodohan ini tidak membuat kamu bahagia. Ayah kamu pasti mau mengubah keputusannya." Raid mencoba memberi Nissa keyakinan. Agar gadis dihadapannya ini bisa lebih berani, dan tidak selalu mengorbankan dirinya untuk orang lain.
Karena, sepengetahuan Raid. Nissa ini memang setipe dengan Naira. Selalu lebih memikirkan kebahagiaan orang lain dibanding kebahagiaannya sendiri.
"Tapi Nissa juga gak mau bikin kondisi ayah drop lagi. Soalnya, kata Dokter, ayah gak bisa terlalu banyak mikir hal-hal yang berat sekarang. Dan juga ... Nissa pengen jadi anak berbakti sekali saja untuk ayah. Dengan mengabulkan satu permintaan terakhirnya. Yaitu menikah, sebelum ayah menutup mata. Karena Nissa gak tau sampai kapan ayah masih bisa bertahan," terang Nissa, mulai menangis lagi. Membuat Raid menghela napas berat sekali lagi.
"Kamu gak bisa mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri untuk sebuah bakti, Nissa. Karena, memilih calon pendamping hidup itu hak kamu. Dan kamu harus bisa bahagia dengan pilihan mu. Kamu tidak bisa--"
"Ya kalo gitu, kenapa Abang gak mau nikahin Nissa?" Nissa memangkas cepat ucapan Raid. Seraya menatap bule itu lekat-lekat.
"Abang kan, tahu. kalau dari dulu juga Nissa sukanya sama abang. Tapi Abang gak pernah mau nerima Nissa dan terus aja ngejar Naira, yang jelas-jelas gak akan milih Abang. Karena bahkan abang sendiri tahu, kan, hati Naira buat siapa? Tapi kenapa--"
"Karena Tuhan kita beda."
Suara sirene ambulans memecah keheningan malam, membawa Nissa yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit terdekat. Raid mengikuti dari belakang dengan perasaan kalut, bayangan Nissa yang terbaring berlumuran darah terus menghantuinya.Di ruang tunggu rumah sakit, Raid mondar-mandir dengan gelisah. Setiap detik terasa seperti siksaan, menunggu kabar dari tim medis yang tengah berjuang menyelamatkan istrinya. Pikirannya dipenuhi penyesalan; andai saja ia tidak asal tarik tadi, mungkin semua ini tak akan terjadi.Faktanya yang terjadi hanyalah kesalahpahaman semata. Raid yang tadi sedang menunggu Nissa di ruang vvip, tiba-tiba matanya ditutup sebuah tangan yang lembut. Raid kira itu Nissa, makanya dia main tarik saja tangan itu hingga jatuh dalam pangkuan. Raid pun syok saat akhirnya tau tangan tadi ternyata milik Nichole, bukan istrinya.Sialnya, Nissa malah datang di saat tidak tepat. Raid yang masih syok pun butuh beberapa detik menyadari kesalahpahaman itu hingga akhirnya gegas mengej
"Sayang, hari ini Abang ada urusan di knightsbridge. Kamu mau ikut nggak?""Di mana itu, Bang? Jauh nggak dari sini?""Knightsbridge terletak di jantung kota London yang modis, menggabungkan jalur Hyde Park yang dilalui kuda, kedutaan besar Belgravia, museum Kensington, dan kediaman seniman Chelsea. Saat ini, lingkungan itu dipenuhi dengan berbagai toko, restoran, townhouse bersejarah kelas dunia, dan merupakan rumah bagi dua properti Jumeirah . Di sana, kita juga bisa melihat sejarah Knightsbridge dan bagaimana ia bisa mempertahankan reputasi yang dimilikinya saat ini." Raid menjelaskan dengan sabar dan panjang lebar. "Nggak tahu ah, Bang. Nggak ngerti juga. Udahlah, Abang aja yang pergi. Nissa lagi mager," sahut Nissa kemudian dengan malas. Raid mengerutkan keningnya bingung. Beberapa hari ini entah kenapa Nissa memang berubah jadi pemalas. Tak seperti biasanya yang selalu antusias jika di ajak ke tempat baru. Apa mungkin Nissa sudah bosan tinggal di sini? Akan tetapi, mereka baru
Sebenarnya enggan sekali untuk Nissa menerima tawaran Naira pergi ke London. Bukan hanya karena dia tidak suka naik pesawat, tapi juga karena malas ketemu Nichole. Gimana ya, jelasinnya? Semua orang memang bilang Nichole itu sudah berubah. Tetapi sebagai sesama wanita, jelas Nissa tahu dan bisa merasakan kalau sebenarnya Nichole itu belum menyerah tentang perasaannya pada Raid. Wanita itu masih mendamba Raid meski tidak terang-terangan seperti dulu. Di depan Naira dan suaminya, Nichole memang akan bersikap biasa saja dan seolah acuh pada keberadaan Raid. Tetapi Nissa tahu betul, kadang dia masih mencuri pandang pada Raid, dan mencoba mendekati pria-nya dengan gaya halus.Ah, pokoknya Nissa tidak suka sama Nichole!"Sayang, kita nggak akan lama, kok. Hanya mengantarkan Naira saja ke rumah mertuanya.""Abis itu langsung pulang, ya?""Uhm ... tinggal dulu beberapa hari, ya? Soalnya Abang juga ingin menengok Damien dan juga harus mengecek usaha Abang yang ada di sini. Kita juga bisa sek
Raid mengulas senyum manis sambil menatap Nissa yang terlelap paska percintaan panas mereka. Panas dan menegangkan seperti permintaan wanita itu. Sungguh, Raid selalu dibuat kagum setiap kali bercinta dengan Nissa. Wanita itu banyak kejutan. Gadis alim itu sudah tidak ada. Wanita polos, cengeng, dan menyusahkan itu sudah sirna. Berubah menjadi wanita dewasa yang mengagumkan.Ia adalah Anissa fatih Zhakia. Wanita lemah yang awalnya tak pernah Raid inginkan dan terus ia hindari. Merepotkan! Beban! Titel itu sering Raid sematkan pada Nissa. Apalagi jika Nissa sudah mulai menunjukan sifat cengengnya. Rasanya ingin Raid cekik saja lehernya agar berhenti menangis selamanya. Namun, siapa sangka? Gadis yang awalnya tak pernah Raid inginkan ini justru mampu mencuri hatinya. Membuat seorang Raid bertekuk lutut hingga rela menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk seorang Nissa yang cengeng. Terlebih setelah berhasil memiliki Nissa seutuhnya, Raid dibuat tergila-gila. Jatuh cinta setiap hari da
Setelah urusan ngisi perut kelar, maka waktunya ... tidur. Eh, ya enggak, dong! Itu mah kaum rebahan yang makin menggemoy kayak Amih. Kalau Nissa sama Raid mah, abis makan mereka belanja. Soalnya, inget kan, kalau mereka perginya tadi dadakan dan tanpa tujuan. Jadi ya mereka nggak ada persiapan apa pun sebelumnya. Bahkan baju saja, mereka hanya bawa beberapa lembar. Raid membawa Nissa ke salah satu pusat pembelanjaan yang ada di sana. Membeli keperluan yang dibutuhkan sekaligus jalan-jalan cuci mata. Ya, anggap aja ng'date setelah nikah."Abang, cukup! Ngapain sih beli sebanyak ini? Abang mau buka toko atau gimana?" tegur Nissa saat melihat Raid memasukan banyak sekali barang. Bukan barangnya yang membuat Nissa keberatan, tapi jumlahnya. Masalahnya, Raid beli satu jenis barang dalam jumlah besar. Padahal, mereka di sana hanya akan liburan, bukan menetap. Tetapi Raid belanja seolah mereka akan lama saja. "Nggak papa, sayang. Abang sanggup kok bayarnya.""Ck, ini bukan masalah sanggu
Brak!Nissa terkesiap kaget saat tiba-tiba saja Nita menggebrak meja. Wajahnya merah padam menatap Raid. Pasti dia sangat marah sekali saat ini. Tentu saja, ucapan Raid barusan memang terlalu kejam. Bahkan Nissa yang mendengarnya saja merasa sakit hati barusan. Ah, suaminya ini kalau sudah mode julid memang tak kaleng-kaleng. Akibat ulah Nita barusan. Kini, mereka jadi pusat perhatian di tempat makan tersebut. "Kurang ajar!" sentaknya keras. "Berani sekali kamu menghinaku seperti itu. Apa kamu tidak tahu siapa aku?!""Tahu, kok. Kamu sampah, kan?" Raid tak gentar sama sekali. Berucap santai sambil sebelah tangannya mengusap lembut punggung Nissa demi menenangkan kekagetan yang sempat dirasakan. "Diam!""Ah, atau kau lebih suka ku panggil jalang?""Kurang ajar!"Grep!"Akh!"Nita yang murka pun berniat melayangkan tangannya. Namun, dengan cepat Raid tahan dan gantian mencekal tangannya hingga wanita itu meringis kesakitan. "Bang?" Tahu keadaan sudah tak kondusif. Nissa pun mencoba