(Hallo, Arman. Hari ini kita akan bertemu dengan Pak Wijaya lagi. Tapi kita akan bertemu di rumahnya Pak Wijaya. Karena beliau sedang tak enak badan.) "Ok, Baik Pak. Saya akan segera bersiap-siap untuk menjemput Bapak, lalu menuju ke rumah Pak Wijaya." Ini kali pertama aku akan berkunjung ke rumah Pak Wijaya. Orang yang mau bekerjasama denganku. Dan si penelepon tadi adalah partner kerjaku. Beliau benar-benar orang yang baik, dia mau menolongku disaat perusahaanku yang hampir kolaps. Kini, aku sedang menuju ke rumah Pak Wijaya. Karena kami akan melakukan kerjasama dan juga menandatangani perjanjian kontrak.Beberapa menit kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah Pak Wijaya. Rumahnya besar sekali, lebih besar dari rumah Mama. Dan ini membuktikan betapa tajirnya Pak Wijaya.Segera ku langkahkan kaki, diikuti oleh partner kerjaku, yaitu Pak Dimas. Kami berdua dipersilahkan masuk oleh asisten rumah tangganya. Dan kami pun duduk di ruang tamu yang nampak megah sekali. Sedangkan si
Selama sedang berbincang-bincang dengan Pak Wijaya, aku sama sekali tak terlalu merespon. Karena pikiranku benar-benar terbagi pada kehadiran Nining barusan.Apa mungkin aku harus bekerjasama dengan Pak Wijaya? Apa dia mau untuk tetap bekerja sama denganku, saat dia tau kalau aku adalah orang yang telah menyakiti Adnan dan juga Lila? "Pak Arman? Kenapa? Sepertinya anda kurang memperhatikan saya berbicara?" Tiba-tiba tegur Pak Wijaya."Eh, hhmm ... Ma-maaf Pak. Sa-saya juga memang sedang tak enak badan," jawabku gugup, lalu menunduk. Karena Pak Wijaya menatapku dalam."Kalau sedang tak enak badan. Kenapa harus dipaksakan Pak? Kan bisa besok-besok kemarinya?" Ucapnya lagi."Ma-maaf Pak. Maaf sekali lagi." Jawabku pasrah. Karena aku tau sekali dengan karakter Pak Wijaya. Beliau paling tak suka kalau sedang berbicara dengan seseorang, tapi orang tersebut malah tak menyimaknya dengan baik.Kami pun akhirnya sama-sama terdiam. Hendra--partner kerjaku, dia juga hanya terdiam. Tak membelaku
Satu jam kemudian. Aku dan Hendra akhirnya berpamitan untuk pulang ke rumah. Karena urusan kami telah selesai. Untuk beberapa bulan kedepan, aku akan melakukan kerjasama dengan Pak Wijaya dan juga Adnan.Sikap Adnan sama sekali tak menunjukkan dendam padaku. Malah seakan dia bersikap tidak terjadi apa-apa. Jujur saja, dalam hati aku malu sekali, karena sikapku yang dulu-dulu pada Adnan dan Nining.****Waktu sudah menjelang senja. Aku kini sudah sampai di rumah Mama. "Assalamualaikum,""Waalaikumsalam, udah pulang kamu, Man? Gimana hasilnya?" Mama langsung mencercaku."Alhamdulillah Pak Wijaya mau kerjasama, Mah.""Syukurlah. Setelah ini kamu harus urus semua surat-surat perceraianmu dengan Lastri. Karena Mama sudah muak dengan anak itu. Kenapa dia sampai tega membohongi Mama dan menutupi jati dirinya sendiri?" Ujar Mama yang lagi-lagi membahas soal Lastri.Ya, Mama memang sudah mengetahui semuanya tentang jati diri istriku itu. Dan seperti yang sudah kuduga, bahwa Mama akan menyur
"I-iya Mah." "Kenapa? Kan Mama udah bilang sama kamu Arman, kalau menikah itu jangan sama orang miskin! Kamu bakalan kena susahnya. Sekarang lihat kan? Kamu jadi susah karena menikah dengan dia!" Hardik Mama, yang sudah terlihat kesal sekali dengan Lastri.Aku terdiam, bingung mau bicara apalagi. Karena aku sangat tau watak Mama seperti apa. Kalau sudah bicara, tak mau dibantah."Kenapa kalian cuma diam saja? Coba jawab, kenapa rumahmu sampai disita?" Mama mengulangi pertanyaannya lagi."A-aku punya hutang Mah. Jadi rumah beserta isinya yang diambil oleh rentenir tempat aku meminjam uang," Mama shock. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja."Pilihan kamu cuma dua, Arman! Kamu tinggalin Lastri dan tinggal disini bersama Mama dan juga anak-anak. Atau jika kamu tetap nggak mau meninggalkan Lastri, kamu harus pergi dari rumah ini. Bawa juga anak-anakmu sekalian! Biar kalian tinggal di jalan sekalian! Mama nggak mau menanggung hidup kalian." Mataku sontak langsung melotot. Begit
"Terimakasih banyak Bang. Kamu sudah membelaku di depan Mama, semoga kita bisa ngelewatin semua ini bersama-sama lagi ya?" Ucap Lastri, saat kami sedang duduk di teras belakang rumah.Dia berusaha menggapai tanganku. Dan mau tak mau aku pun membalas genggaman tangannya. Padahal aku sudah muak dengannya. Aku sudah ingin sekali hidup bersama Irna. Tapi, masih ada misi yang akan ku jalankan setelah ini. Jadi aku harus sabar."Iya Mah. Sama-sama. Oh iya, kemarin aku ke rumah Pak Wijaya. Dan aku benar-benar terkejut karena Adnan adalah anak kandung dari Pak Wijaya. Berarti adikmu itu sekarang sudah jadi orang kaya raya ya, Mah?" "Jadi kamu udah tau kalau sekarang Nining sudah menjadi orang kaya?" Aku langsung mengangguk yakin. Beda dengan sikap Lastri yang langsung terdiam."Aku memang akan bekerja-sama dengan Pak Wijaya, Mah. Dan Adnan yang memegang kendalinya. Karena Pak Wijaya sekarang sedang sakit. Aku juga bertemu dengan Nining, karena waktu itu dia yang mendorong kursi roda Pak Wijay
Hari ini, aku sengaja menyuruh Lastri untuk menemui Nining lagi. Walaupun awalnya Lastri menolak karena katanya dia gengsi untuk meminta bantuan pada Nining. Tapi karena terus-menerus kupaksa, akhirnya dia pun luluh.Niatku setelah mengantarkan Lastri, aku akan segera menemui Irna dan mengantarkannya untuk fitting baju pengantin."Bang, aku ragu deh mau menemui si Nining. Aku malu sama dia," ucap Lastri ragu. Karena kami berdua kini telah sampai di depan toko kue milik Nining. "Kenapa harus ragu sih? Dia kan adik kandung kamu? Santai ajalah! Dia juga pasti bakal membantu kamu kok. Udah jangan kebanyakan mikir, mending sana buruan temui Nining." Paksaku pada Lastri.Walau awalnya dia ragu. Tapi akhirnya dia mau melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam toko kue milik adik iparku itu.Setelah sosok Lastri menghilang dibalik pintu toko. Aku segera melajukan mobil, menjemput permaisuri hatiku. Yaitu Irna.****"Lama sekali sih, Mas? Darimana saja?" Sungut Irna, saat aku telah sam
Pov 3Arman dan Irna sudah sampai di toko kue milik Nining. Disana juga ada Lastri yang memang sudah sejak tadi berada disana.Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh Arman. Bukan karena takut ketahuan oleh Lastri, tapi karena perasaan malu dan canggung jika bertemu dengan Nining.Apa nanti kata Nining, jika sampai melihat Arman bersama dengan Irna. Apa mungkin dia akan berpikiran yang aneh-aneh? "Mas, ayo Mas! Lama banget sih!" Irna terus mendesak Arman untuk segera keluar dari dalam mobil, menarik-narik tangan Arman. "Nggak usah di toko kue ini deh. Mending kita ke toko kue lain aja, gimana?" Irna berdecak kesal."Kenapa sih? Ada Mbak Lastri ya? Huft!" Gumamnya, sambil bertolak pinggang."Iya, aku tadi nyuruh dia nunggu disini. Aku takut kalau dia sampai tau kamu ada disini. Tau sendiri kan, dia itu suka bawel dan nggak tau tempat. Jadi lebih baik kita pergi aja dari sini, cari toko kue yang lain." Ajak Arman pada calon istrinya ini.Sejenak Irna berfikir, dan mau tak mau ak
"Terus Kakak semua sekeluarga baik kan?" Ucap Nining, setelah mereka mengurai pelukan. "Alhamdulillah aku sehat Ning. Oh iya, boleh nggak aku minta tolong sama kamu, Ning? Aku sebenarnya malu mau cerita sama kamu. Tapi karena cuma kamu saudaraku satu-satunya, maka dari itu terpaksa aku harus cerita sama kamu," Nining menyimak dengan seksama."Minta tolong apa Kak?" "Boleh nggak aku tinggal untuk sementara di rumah kamu? Rumahku sudah disita sama rentenir, Ning." Ucap Lastri lagi."Astaghfirullah! Disita, Kak?" Nining terkejut. Lastri semakin senang. Merasa kalau adiknya akan semakin kasihan padanya."Iya, makanya itu aku mau minta tolong sama kamu. Aku pengen numpang di rumah kamu, karena aku nggak mau tinggal di rumahnya Arman. Ibunya Bang Arman, ternyata seorang mertua yang galak. Cuma mau pas aku lagi seneng doang, saat aku susah seperti ini, dia malah memojokkan aku terus." Beber Lastri panjang lebar. Nining bingung akan permintaan kakaknya itu."Bang Arman bagaimana, Kak?" "Ma