Samantha!
Chase ingin menjitak kepalanya sendiri, tentu saja ada kemiripan antara wanita yang sedang berdiri di hadapannya dengan Samantha.'pasti ini ibu Samantha.'Ia melihat sosok wanita yang lemah lembut namun tegas. Terlihat jelas dari tatapannya yang tetap tenang menunggu Chase mendekat.Chase cukup kaget karena tak pernah terpikirkan akan bertemu langsung dengan kedua orang tua Samantha. Orangtua yang peduli dan sayang pada putrinya, kalau tidak...mana mungkin mereka meluangkan waktu mengarungi samudra untuk mendampingi putri yang hanya akan menikah pura-pura demi untuk mendapatkan kepastian siapa ayah dari cucu mereka.Chase merasa harus hati-hati sebelum dia mendengar cerita Samantha.Chase pun berkenalan dengan Ibunda Samantha.“Selamat pagi Bu,” sapa Chase dan menjulurkan kedua tangannya dengan sopan."Chase Navarell?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sambil menerima uluran tangan Chase. Chase merasa sorotChase berusaha menepis rasa penasaran di hatinya.“Maaf, saya permisi ke kamar kecil." ucap Chase sesopan mungkin.“Oh ya, silahkan." Baru saja Ibunda Samantha akan menunjukkan arah tapi diurungkannya karena melihat Chase telah berjalan menjauh. Chase pun segera berlalu dan menuju ke kamar mandi. Chase tidak tahu bahwa kedua orang tua Samantha terkejut melihat Chase berjalan menuju ke kamar mandi yang jika belum pernah tahu pasti tidak bisa menemukan karena letaknya yang tersembunyi. "Dia sudah pernah ke sini!" gumam ayah Samantha.Senyum manis tersungging di bibirnya. "Pria berkarakter kuat,” katanya lagi. "Aku yakin anak kita baik-baik saja, dia pasti akan berusaha membantu mencari dan menemukan ayah Tristan." Kembali si ayah berkata. Si ibu hanya menganggukkan kepala.Teringat bagaimana mereka jauh-jauh terbang dari Indonesia untuk melihat pernikahan Samantha, walau Samantha menolak karena ini bukanlah pernikahan sungguhan tapi kedua o
"Sudah selesai,” ucap Chase sambil menatap Samantha. “Thank you,” ucap Samantha lirih dan nampak meraba gaunnya seakan untuk memastikan apakah ada yang kelewatan dari pengamatannya atau tidak, padahal sepertinya itu hanya untuk menutupi keresahannya. Chase berdiri diam di tempatnya, dia tahu harusnya dia pergi agar mengurangi kegugupan Samantha, akan tetapi kakinya enggan beranjak menjauh, malah muncul keinginan untuk menggoda Samantha. "Aku tadi menebak kau akan menyemprotku habis-habisan." Samantha memandang Chase sambil mengigit bibirnya. Chase mengangkat keningnya.Samantha melengos lalu akan beranjak saat Chase menangkap lengannya. "Kita harus segera berangkat, kakek sudah berusaha menenangkan petugas yang akan menikahkan kita, tapi tidak tahu itu akan bertahan berapa lama, sebaiknya kita segera berangkat."Nampak Samantha mengangguk sambil menjauh dari Chase. Tak lama Samantha turun lalu mendekati Chase yang sudah bersama dengan ayah
Samantha langsung menggenggam tangan sahabatnya. Bianca tersenyum senang merasakan sahabatnya tercinta yang ketenangannya telah melegenda kini sedang kebingungan. Bianca ingin tetap tinggal mendengarkan jawaban Samantha seperti yang tadi di katakannya, akan tetapi begitu ayah Samantha tiba, Bianca langsung menjauh. Samantha diam menunggu sambil memutar otak mencari cara mengelak."Pa, mama mana?" Ayahnya hanya menelengkan kepalanya memberi tanda tentang keberadaan istrinya. "Papa nggak ke sana? Nanti mama cari Papa!"Nampak ayah Samantha hanya menggeleng."Pa, Samantha mau cari Tristan dulu ya." Samantha berusaha menghindar dengan cara lain akan tetapi usahanya gagal saat lengan sang ayah melingkar di bahunya. "Sayang, sepertinya Papa kesulitan membayangkan kalau pernikahan ini tidak sungguhan, melihat kamu yang merona dan Chase_”"Pa!" Potong Samantha. "Papa cuma mau curhat sama putri papa tercinta, Papa yang udah mulai tua sampa
Samantha tidak menghiraukan seruan seseorang, dia terlalu sibuk menyembunyikan reaksinya. Dia tahu seperti apa anggapan mereka, gadis sederhana yang kikuk dan gelisah yang telah berhasil menikah dengan sang penguasa. Mungkin mereka berpikir dia minder atau rendah diri, padahal yang sebenarnya terjadi Samantha gelisah karena SENTUHAN tidak sengaja sang penguasa, karena dia tidak berpengalaman, karena dia masih perawan! 'Astagaaaa semoga tidak ada yang menangkap kenyataan yang sebenarnya,' batin Samantha. Samantha langsung meminta maaf dan segera menghampiri Chase yng sedang memangku Tristan. "Mari, biar aku yang menjaganya, kau makanlah." Awalnya Tristan dengan gembira berpindah ke pangkuan Samantha, akan tetapi begitu Chase akan beranjak pergi mendadak Tristan meraih tangan Chase sambil berceloteh."Pa..pa...pa."Seketika Chase menghentikan langkahnya dan dan berbalik kembali, lalu duduk di sisi Samantha."Apa aku tidak salah dengar barusan?” gumam Chase. Chase terkejut dan m
Dengan terkejut Samantha mengamati wajah Salim. Entah kenapa wajah Salim sangat tidak ramah saat ini. Tidak sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di kantor sipil tadi.Hal yang membuat Samantha menjadi tidak nyaman. Hal yang aneh tapi tak bisa dilarang. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Samantha."Yah, aku memang ingin meminta bantuanmu," balas Salim. "Sebutkan, semoga aku bisa membantu." "Kau tidak sedang bekerjasama untuk menjebak temanku kan?" tanya Salim langsung pada pokok masalah tanpa mengurangi rasa penuh curiga di wajahnya."Maksudmu?" "Jadi begini, aku merasa aku mengenalmu, nggak mungkin kan, aku merasa kamu itu bukan kamu!" Salim merasa ada yang janggal antara Samantha dan Chase. Dari apa yang ia dengar, dan apa yang ia lihat. Salim merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh Samantha hingga membuatnya menaruh rasa curiga."Apa alasanmu berpikir begitu?" Samantha mengernyitkan dahinya. Hatinya benar merasa bahw
Selesai makan, mereka pulang kembali ke rumah Samantha. "Thank you," kata Samantha saat mereka hanya berdua."Thank you untuk?" "Karena tidak memaksakan keinginanmu." "Ini tentang tempat tinggal?" Memang Chase mengiyakan saja saat Samantha mengutarakan maksudnya untuk kembali ke rumahnya, pertimbangan Chase adalah karena barang-barang Tristan masih belum ada yang dipindah jadi sementara mereka akan tinggal di rumah Samantha sambil mempersiapkan segala sesuatunya saat pindah ke rumah Chase.Samantha merasa sangat senang masih bisa tinggal di rumah lamanya. "Tentang segalanya, kau tidak memaksakan keinginanmu, kau mau mendengarkan orang lain, kau mengalah, dan contoh lain yang sejenis, masih banyak tapi aku sudah lupa." Chase memandang istrinya dari dekat. "Kau....berbeda....." Gumam Samantha sambil menggigit bibirnya.Chase memandang cukup lama sebelum akhirnya menjawab. "Berbeda? Jadi aneh?" Samantha menggelengkan kepalanya.
"Ke mana?" Samantha mengulang bagai burung beo. Tidak mungkin Samantha jawab dengan jujur, tapi dia juga tidak ingin berdusta. "Ke...t-tempat kerjaku." "Ke kantormu? Apa tidak sebaiknya dia bersamaku saja di rumah?" saran Chase. Samantha terdiam, kalau dipikir-pikir memang lebih sederhana kalau Tristan di rumah saja bersama dengan Chase. Hanya saja ini tidak berjalan satu dua kali tapi akan berjalan selama 6 bulan yang akan datang. "Tidak apa-apa Chase, ini bukan hanya satu kali saja kan, tapi setiap dua minggu sekali dalam 6 bulan perkawinan kita, bayangkan berapa belas kali kamu harus mengosongkan jadwalmu? Jadi sebaiknya sesuai rencana awal saja agar tidak merepotkan," semakin ke sana suara Samantha semakin rendah. Chase mengerutkan keningnya. "Jika kau membawa Tristan pergi bersamamu, nanti dia tinggal dengan siapa saat kamu 'bekerja' pikirkan baik
"Bos?" Salim berkata sambil melambaikan tangannya.Chase menghela nafas panjang. "Ok, aku akan usahakan hadir sebentar, bersiaplah menggantikan aku sebelum dan sesudah. Sekarang aku pulang dulu ya.""Kau baik-baik saja?" "Of course I am!""Kau Chase Navarell?" "Kau sedang mabuk?" Chase balik bertanya."Soalnya aku merasa tidak seperti ini Bos yang ku kenal. Biasa urusan pekerjaan itu nomor satu!" "Sekarang juga tetep nomor satu, tapi ada hal lain yang lebih penting." Salim garuk-garuk lehernya."Kalau ada yang lebih penting ya bukan nomor satu namanya, Bro." Sambil mengomel Salim pun berlalu meninggalkan ruangan Chase. Belum sepuluh detik kembali pintu terbuka."Chase, jangan lupa ajak pasangan." Chase mengerutkan keningnya. "Karena?" "Karena tema tahun ini 'COUPLE' jadi datang harus berpasangan!""Pakai tema couple segala, kalian bikin susah aja." "Namanya aja inovasi Bro, biar nggak sama dengan tahun-tahun yang lalu kan, kalau tidak ada pasangan Leda pasti bersedia!" "L
"Dokter Dom, saya ke rumah sakit karena ternyata panasnya hanya turun sedikit dokter." "Baik, saya tunggu kebetulan saya baru saja visite pasien.""Saya sudah di rumah sakit dokter, di unit gawat darurat." Dokter Dominic maklum kalau ternyata Alana Drew dan putranya sudah di rumah sakit, orang bingung bisa begitu walaupun tadi ngomongnya 'saya ke rumah sakit' ternyata sudah di rumah sakit, ibu-ibu yang kebingungan malah semakin membuat Dominic respect karena itu salah satu tanda mereka sangat care, mencemaskan orang yang mereka kasihi, itu tanda sayang bukan!"Mrs Navarell tunggu disana, saya akan menuju ke unit gawat darurat." "Baik terimakasih dokter." Sambil berjalan dr Dominic membayangkan keributan yang akan terjadi di unit gawat darurat jika mereka tahu siapa yang sedang berada di sana. Begitu membuka pintu penghubung ke unit gawat darurat tahulah Dominic bahwa apa yang dibayangkannya tidak terjadi karena ternyata Alana Drew mengenakan kacamat
Alana Drew! Penyanyi favoritnya!Dokter Dominic berusaha melegakan tenggorokannya sebelum menjawab pertanyaan Samantha. "Benar, ada yang bisa saya bantu Ms Alana Drew?" Samantha tidak terkejut mendengar panggilan itu karena dia tahu wajahnya yang tanpa penyamaran pasti langsung dikenali di manapun dia berada."Aku harap kau merahasiakan keberadaan ku disini," pinta Samantha."Jangan kuatir, apa yang bisa saya bantu?""Anak saya merengek dan gelisah sejak bangun." "Baiklah, saya akan periksa, mungkin bisa dibaringkan dahulu? Siapa namanya?" "Tristan, dokter." Samantha segera membaringkan Tristan yang seketika menangis dengan keras ketika merasa kehilangan pelukan ibunya."Wow, wow...keras sekali anak Mommy menangis, anak hebat...mari kita lihat apa yang salah ya." Dengan lembut dan sambil berbicara dokter Dominic melakukan pemeriksaan menyeluruh dan kondisi Tristan yang menangis tidak menjadi halangan, terlihat bahwa sang dokt
Tidak adanya penolakan dari Samantha membuat gairah Chase naik secepat kilat, 'tubuh' nya membengkak sempurna. Chase makin menekankan tubuhnya, memeluk istrinya erat-erat seakan bisa meredakan gairahnya. "Sayang, masih ada yang ingin kau katakan?" tanya Chase, sejenak melepaskan ciumannya. Samantha menggeleng. "Aku dimaafkan?" Samantha kembali menggeleng. Chase terkejut. "Kita sama-sama salah, Chase. Tidak ada yang perlu dimaafkan." "Kita mulai awal yang baru ya, Sayang. Tanpa perjanjian! Selamanya kau adalah Mrs Navarell!" Kembali Chase melanjutkan cumbu rayu yang sempat terhenti. Chase selalu tahu bahwa istrinya bisa begitu cepat menaikkan gairah dan hasratnya. Akan tetapi hari ini sangat luar biasa hebat. Chase menurunkan tangannya dan meremas bokong Samantha, lalu menekan tubuh Samantha makin rapat dengan gerakan yang begitu sensual, hingga terdengar
Sepanjang hari irama Chase melambat, dia menghitung sisa waktu sampai ke pukul 12 malam, saat perjanjian berakhir."Bos, ada tawaran besar dari klien kita, line satu." "Bereskan." Chase langsung memberikan instruksi lisan kepada wakilnya. "Bro, nggak nanya sebesar apa?" "Bereskan, Lim." "Oke." Kembali Chase melihat dokumen di hadapannya, akan tetapi fokusnya sudah bercabang. Dia merencanakan untuk memberi perhatian dan waktu sepenuhnya bagi Samantha saat mereka telah bertemu dan menemukan kata sepakat nanti. Giliran Chase yang menelepon Salim. "Lim, kemari." Hanya selang sesaat Salim sudah mengetuk pintu ruangan Chase. "Gitu lah, Bro! Top! Apapun yang terjadi bisnis is number one! Aku sambungkan langsung dengan klien kita, ok?" Chase langsung mengangkat wajahnya. "Kau belum bereskan?" Giliran Salim yang bingung."Sudah, tapi nggak tuntas karena dia minta bertemu langsung dengan decision maker." "Kan aku udah kasih kamu wewenang khusus, Lim. Kamu tinggal bilang kan kalau
Chase bersama Salim sedang menghadiri gala dinner dari perusahaan rekanan yang cukup besar yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang lima. Chase mengupayakan datang karena mereka telah mengirim undangan sudah lama sekali. Mereka sedang duduk di meja undangan VVIP ketika sang pembawa acara mulai membuka rangkaian acara."Salim, kenapa acara baru dimulai?" Gumam Chase heran. Salim yang mendengar kalimat Chase hanya diam saja, memang Chase tidak tahu karena undangan Salim yang pegang. "Kau akan terhibur malam ini, duduk santai sajalah, Bos." "Tiga puluh menit lagi aku akan pergi.""Lhaaa, belum juga pegang tangan dengan Mr Ramji." "Kau saja yang tinggal, bilang mendadak aku ada urusan penting." Chase berusaha menahan diri, sebenarnya jangankan tiga puluh menit lagi, sebenarnya tadi Chase enggan untuk datang. Sejak Samantha pergi, hari hari hidupnya hanya dihabiskan dikantor, sendiri dengan dokumen, dikelilingi dinding-dinding kantor yang membisu, menghitung detik demi de
Bianca menatap wajah jelita sahabatnya yang sedang memandang dengan tanda tanya besar di matanya. Melihat temannya hanya diam saja, Bianca berinisiatif untuk mengorek isi hati Samantha. "Gimana pendapatmu setelah mendengar ceritaku?" Nampak Samantha menggigit bibirnya."Mungkin apa yang dilakukannya terdorong oleh tanggung jawab yang besar terhadap Tristan." "Wrong answer, pilih jawaban lain." Nampak Samantha sedang berpikir mencari jawaban lain. "Mungkin dia takut kakeknya marah?""Kau yang lebih mengenalnya, menurutmu dia takut?" Samantha menggeleng. "Kalau kau lihat wajahnya kau akan tahu seberapa dalam kesedihannya, itu yang mendorong dia melintasi samudra secepatnya." Samantha tidak menjawab, tapi anehnya kondisinya sudah jauh lebih baik dibanding saat Bianca datang."Kalau kau tanya apa yang memicu kesedihannya, hanya kalian berdua yang bisa jawab? Urusan ranjang terpanas? Gaya terheboh? Atau_""Bi, memangnya besok kamu nggak ada shooting film?" Samantha memotong untuk
"Kenapa? Apa Tristan sakit?" tanya Chase mengingat kebiasaan Samantha yang sangat cemas saat Tristan sakit. "Tristan sehat," jawab Arnold. "Istriku..apakah dia baik-baik saja?" Arnold tidak menjawab, dia memandang Chase dengan tajam."Tadinya tidak, tapi sekarang dia sudah baik-baik saja, aku katakan padanya di bumi ada berjuta-juta pria yang mau mati bagi dia."Chase maju dan langsung mengangkat kerah leher Arnold. "Samantha istriku, selamanya dia istriku!" "Kalau itu yang ada di benakmu, seharusnya yang keluar dari mulutmu bukan hal yang menyakitkan hatinya." Chase menggertakkan giginya menahan rasa marah, bukan kepada Arnold, lebih kepada diri sendiri karena kalimat Arnold seketika mengingatkan dia akan kebodohannya menyuruh Samantha pulang! "Kalian apa-apaan sih?" teriakan Bianca membuyarkan lamunan Chase.Segera Chase melepaskan cengkeramannya lalu berlalu meninggalkan kedua sahabat Samantha, dia berjalan dengan posisi bahu turu
Dokumen? Chase ngeri mendengar kalimat Bianca. Seketika Chase mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Samantha. Chase memandang layar, dia sangat gelisah. Dia ingin sekali mendengar suara istrinya. 'Pleaseeee Sam! Please angkat, Sam.' Waktu terus berputar.... Detik demi detik terasa sangat lama hingga akhirnya telepon diangkat. Ada yang berdesir di dada Chase saat menunggu suara lembut yang dirindukannya. Chase senang sekaligus sedih, banyak sekali yang ingin dia katakan namun lidahnya kelu. "Chase?" Chase sampai tidak bisa berkata-kata, lehernya tersumbat. Bahkan iya kesulitan untuk menelan salivanya, pikirannya tiba-tiba kosong seolah ada sesuatu yang membuatnya takut, sebuah kata yang tak ingin ia dengar keluar dari bibir Samantha. "Chase?" kembali Samantha bertanya. Chase menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan istrinya. "Sayang....kamu di mana?" "Maaf aku sudah jauh, tapi kalau kamu mau mengirim dokumen perc_" "CUKUP, SAM! Tidak akan ada percera
"Mom?" "Hai, Sayang." Mereka saling berpelukan, lalu Chase mempersilahkan ibunya masuk, sebaliknya Chase turun dari teras menuju mobil ibunya. Chase membuka pintu..lKosong... Chase terdiam dalam posisi kepala tertunduk sambil memegang pintu dalam waktu yang cukup lama. Lalu dia berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di hadapan ibunya. Sambil menangkupkan kedua tangannya, Chase bertanya. "Samantha yang mengirim Mom ke sini?" Nampak raut keheranan di wajah ibunda Chase. "Mom, Samantha pasti marah karena kejadian kemarin, sampai dia mengirim Mom ke sini." Tidak terdengar jawaban apapun dari ibunya membuat Chase menegakkan badannya dan memandang ibundanya. "Betul kan, Mom?" Ibunda Chase menggelengkan kepala perlahan. Chase mengernyit melihat gelengan ibunya. "Istriku tidak pergi menemui, Mom?" tanya Chase dengan kecemasan yang kental mewarnai suaranya. Siapapun pasti bisa menangkap nada saya