Hidup adalah pilihan dan perjuangan, dimana beragam tantangan dan risiko mewarnai perjalanannya. Seperti Shreya, saat itu ia harus memilih mempertahankan rumah tangga walaupun batu sandungan bertambah besar. Shreya yang tidak mau rumah tangganya hancur karena orang ketiga lagi pun berkata, "Aku tidak akan memberikan apa yang sudah menjadi milikku, Cindy!""Dan untuk Ibu ... dulu Ibu menuduh mandul dan mengusir Aya dari rumah Aya sendiri, lantas kenapa sekarang Ibu menginginkan putraku?"Melani diam. "Ada tamu rupanya?" ucap Felix yang baru saja datang. Semua menoleh. "Pasti ini calon suami Cindy, kan?" tanya Melani sembari menghampiri Felix. Yang dihampiri hanya tersenyum samar, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Melani. Melani kembali menghampiri. "Ibu sudah mendengar semuanya. Bahwa Pricilla ingin Cindy yang menjadi mamanya. Jadi, kapan akan melamar?"Felix menatap wajah Melani. "Memangnya siapa yang mau menikahi putri Ibu itu?""Loh, katanya mau menebus kesalahan denga
Joko memarkirkan mobilnya di halaman rumah Andreas. Sang Nyonya turun, Joko pun kembali pulang. Kedatangan Shreya dan Nathan disambut suka cita oleh Adelia. "Ya, ampun, Sayang, apa kabar kalian, hem?" sapa Adelia sembari menciumi Nathan. "Baik, Bu. Ibu apa kabar?""Sangat baik. Apalagi ada kalian ke sini.""Oh, iya, ini ada sedikit oleh-oleh." Shreya memberikan satu buah kantong berukuran besar. Adelia menerima itu dan mengajak putrinya itu masuk. Di ruang keluarga tampak Andreas dan Jody sedang menonton televisi. Sambutan tak kalah hangat Shreya dapatkan dari mereka. "Loh, kamu gak sekolah, Dek?" tanya Shreya kepada Jody. "Nih!" Jody memperlihatkan tangannya yang dibalut perban."Kenapa itu?""Biasa, anak muda," jawab Jody, kemudian terkekeh-kekeh, sedangkan Shreya mendengkus. "Mana suamimu?" tanya Andreas. "Beresin kerjaan yang beberapa hari kemarin tertunda karena liburan." Shreya menceritakan ke mana keluarga kecilnya pergi. "Wah, kapan-kapan ajak aku, dong, Kak?" sambar
Setelah perdebatan yang sedikit alot, akhirnya Pricilla setuju. Ibu dan anak tiri itu pun turun dari mobil. "Sayang, sini dulu." Shreya menarik lengan Pricilla. Dirapikannya dasi, seragam sampai rambut. "Udah rapi! Yang semangat, ya, belajarnya." Shreya mencium kening Pricilla. "Udah, ih! Aku bukan anak kecil tau gak?! Dicium segala!" Pricilla mengusap keningnya. Shreya hanya terkekeh-kekeh, kemudian menuntun Pricilla. "Ih, gak usah dipegang juga tangannya, Mamaa!" protes Pricilla. Akhirnya Pricilla memilih masuk dan akan menemui kepala sekolah sendiri. "Oke! Tapi, ingat pesan Mama, ya?""Iya, iya, bawel!" Shreya tersenyum melihat kepergian Pricilla. Ia berharap anak gadisnya mampu melewati semua syarat yang Shreya berikan meskipun risikonya adalah Shreya harus pergi dari rumah Felix. Tak mengapa, karena yang terpenting untuk Shreya adalah dirinya sudah berhasil mendidik Pricilla. Tak menampik pula jika Shreya berharap Pricilla bisa bersikap baik dan menerima kehadirannya, pun
Ucapan Jody benar-benar membuat Pricilla dirundung gelisah. Satu sisi ia percaya dengan apa yang dikatakan Jody. Tidak hanya Jody, bahkan Nury berkata demikian. Di sisi lain, Pricilla merasa tidak percaya. "Cilla! Lu di sini rupanya?" sapa Nury. "Huwaaaa!" Tangis Pricilla pecah. "Astaga! Lu kenapa nangis, sih? Ada apa?!" Nury panik. Dalam tangisnya Pricilla berkata bahwa yang dikatakan Nury ternyata benar, jika Dio adalah playboy. "Ya, Tuhan, gue pikir lu kenapa? Yuk, masuk! Udah bel tauk!" Nury menyeret Pricilla. Pricilla yang tidak ingin sang guru serta teman lainnya tahu, ia memutuskan untuk membasuh muka terlebih dahulu, setelah itu masuk. Dua mata pelajaran sudah guru sampaikan, tetapi entah apa bahasannya Pricilla tidak dapat mencerna. Hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Pricilla bergegas meninggalkan kelas. Di gerbang, Pricilla diam mematung sembari menunggu Shreya menjemput. Tin! Suara klakson motor berhasil mengagetkan Pricilla dan menoleh. "Naik!" titah Jody. P
Shreya turut merasakan sedih melihat Pricilla. Cinta Pricilla terlihat sangat tulus walaupun bisa disebut masih cinta monyet. Gadis itu benar-benar rapuh. Kepalanya ia sandarkan di dada Shreya. Lagi lagi moment yang tepat bagi Shreya. "Menangislah jika itu bisa membuat hatimu merasa lega," kata Shreya sembari mengusap kepala Pricilla. Anak baru gede itu merasa diberi petunjuk. Ia pun menangis sejadinya. Shreya benar-benar membiarkannya sampai akhirnya Pricilla tenang, barulah angkat bicara."Laki-laki yang baik itu pasti akan menjaga perasaan wanitanya. Laki-laki yang baik itu menepati setiap janji. Laki-laki yang baik itu bisa dipercaya. Lalu menurutmu Dio itu seperti apa?""Yang jelas, sekarang perasaanku hancur. Dia tidak menepati janjinya untuk setia kepadaku. Jadi, aku gak percaya sama dia."Shreya memeluk Pricilla erat. "Jadi, bukan karena si wanita tidak bisa menjaga dengan baik si prianya?"Pricilla diam. Mendengar Shreya bertanya demikian mengingatkan atas tuduhannya kepad
Pricilla menyerahkan urusan Shreya kepada Cindy karena yang terpenting untuknya saat itu adalah Dio. Satu jam Pricilla menunggu sosok Dio di sana. "Tante, Dio mana, sih?" tanya Pricilla yang mulai kesal. "Tunggu di kamarnya saja. Sekarang Tante mau keluar sebentar. Oh, iya, kamu ke sini sama siapa?"Pricilla tersenyum. "Ada, deh!""Ya, sudah, Tante pergi dulu, ya." Cindy pun pergi. Pricilla yang semula di kamar Cindy, berpindah ke kamar Dio. Tiba di kamar Dio, Pricilla disuguhkan dengan kondisi kasur yang berantakan. Tidak hanya itu, baju milik Dio pun tergeletak di lantai. Pricilla mengembuskan napas kasar. Gadis itu memunguti baju sang kekasih. Namun, ada pemandangan lain yang membuat putri dari Felix itu tercengang, yakni di mana ada baju wanita di sana, tepat di kolong ranjang. "Baju siapa ini?" gumamnya sambil meraih baju itu. Tidak hanya baju, di sana ada celana dalam dan bra. Ceklek!Pintu terbuka. Pricilla pun menoleh. Gadis itu melihat ekspresi Dio yang kaget. Sambil
Pricilla merasa bersyukur karena seiring dengan lampu yang menyala, seseorang berhasil memukul Dio. Gadis itu duduk sambil memeluk lutut sembari terisak. Bug! Bug! "Kurang ajar! Kenapa lu sebejat ini, hah?!"Mata Pricilla membulat sempurna saat melihat siapa yang sedang memukuli Dio. "Kak Jody!"Bukan hanya Jody, tetapi juga Dila datang menghampiri. Pricilla melihat Dila meraih sprei dan menutupi tubuh polosnya. Namun, seketika dunia terasa gelap. Ya, Pricilla jatuh pingsan. "Cilla! Ya, Tuhan, Cilla, bangun, Cil!" Dila menepuk-nepuk pipi Pricilla.Jody yang mendengar teriakan Dila memberikan bogem mentah terakhir yang membuat Dio terkapar. "Mati lu!"Jody berlari menghampiri Dila dan mengangkat tubuh Pricilla. "Ada apa ini?!" tanya Cindy yang baru saja datang. "Ya, Tuhan, Cilla, kenapa?!" lanjutnya saat melihat Pricilla. "Tanyakan saja sama laki-laki tak berguna itu!" jawab Jody ketus, kemudian ia keluar diikuti oleh Dila. Cindy melotot saat melihat Dio tergelak dengan kondis
Shreya menangis. Bukan menangis karena ia terjatuh, tetapi menangis karena Shreya merasa takdir cinta tak lagi memihaknya. Jody membantu Shreya bangun sembari berkata, "Maafin aku, Kak. Tadi, bener-bener emosi!"Shreya menepuk-nepuk lengan Jody pelan sembari tersenyum. Wanita itu mengusap air matanya, lalu menghampiri Felix yang rupanya sedang dipapah oleh seorang sekuriti menuju ruang ICU, sedangkan Jody ke kamar inap Pricilla untuk mengambil ponsel dan kunci motor yang ia simpan di atas meja. "Kakak mau ke mana?" tanya Pricilla yang ternyata sedang duduk bersandar. Jody menghampiri Pricilla. "Oh, ya, gue udah hajar bokap lu sampe babak belur! Untung aja kakak gue datang dan memohon sama gue agar gak pukul bokap lu lagi. Gak ngerti gue sama pikiran Kak Aya, udah disakitin sama bokap lu, tapi dia tetep baik. Gue cabut!" Jody pun pergi. Pricilla hanya mampu menatap kepergian Jody. Bulir bening berhasil menetes di wajah cantiknya. Entah apa yang harus ia katakan nanti kepada Shreya.