"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.
Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga.
Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi.
"Please, angkat Ren, angkat!" lirihku.
"Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik.
"Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua.
Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku.
Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik.
Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti.
Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku.
Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara.
"Cepat masuk!" titahnya.
Aku sempat meragu, tapi melihat beberapa orang berlari ke arahku, membuatku terpaksa nekad langsung masuk.
"Cepat jalan!" titah lelaki itu pada pengemudi, ketika aku sudah masuk ke dalam.
Aku memasang tatapan siaga pada mereka yang berada di dalam mobil.
"Kami adalah anak buahnya bu Iren, yang memantau rumah Ibu 24 jam. Melihat Ibu berlari keluar, kami langsung siaga untuk membantu Ibu," jelas lelaki yang kini duduk di sampingku, dikursi belakang.
"Alhamdulilah, terimakasih banyak," ucapku lega. Iren benar- benar seperti malaikat pelindung.
Andai saja tidak ada mereka ini, mungkin aku sudah tertangkap lagi. Dan bahkan, aku bisa saja dipenjara.
"Bos, kita mau kemana?" tanya si pengemudi.
"Bu, mau kemana?" tanya lelaki di sampingku ini.
Aku pun bingung mau kemana. Jika ke rumah Iren, pasti mudah akan ditemukan mas Aditya. Ke kampung apalagi, aduh.
Belum sempat aku menjawab, layar ponselku tertera nama Iren memanggil. Dengan cepat aku menjawabnya.
"Dinda, ada apa? Maaf baru lihat, aku baru bangun," ujar Iren dengan suara khas orang baru bangun tidur.
"Ren, aku kabur dari rumah itu," jawabku.
"Hah?" Suara keterkejutan Iren. Disusul tangisan bayi yang ada di dalam gendonganku. Duh, bayi ini pasti haus.
"Suara bayi. Kamu dimana, Din? Kamu kabur bawa bayi?" Iren mencecarku dengan berbagai pertanyaannya.
"Aku dimobil, Ren. Aku sama anak buah kamu, tadi aku dikejar warga, Astri dan juga Ibu mertua, mereka meneriaki aku penculik," jelasku sambil memberikan bayi dalam gendonganku susu.
"Ya ampun! Nekat banget kamu, Din. Ngapain kamu bawa bayi mereka kabur? Nyusahin kamu tau. Dan kamu jadi buronan kalau begini," ujar Iren, mengeluhkan keputusanku.
Aku tidak gegabah, semua sudah aku pikirkan matang- matang sebelumnya. Hanya menunggu hari memantapkan niatku untuk pergi dari rumah itu.
"Wanita itu mengambil impianku, masa depanku, suamiku dan kebahagiaanku. Bahkan dia membuatku hidup menderita. Aku akan membalas mereka, melalui bayi mungil ini," jelasku pada Iren.
"Konyol kamu, Din. Resikonya terlalu besar," jawab Iren.
"Kamu mau bantu aku, atau aku akan mengatasinya sendiri?" tanyaku pada Iren.
"Dinda, kamu itu sahabatku, mana mungkin aku membiarkan kamu menghadapinya sendiri. Ya sudah, mana Bonang? Biar aku bicara sama dia," pinta Iren.
"Siapa yang namanya Bonang?" tanyaku pada mereka yang ada di dalam mobil. Sebab lelaki di dalam mobil ini ada 3 orang.
"Saya," jawab lelaki di sampingku. Aku memberikan ponselku padanya.
"Iren mau ngomong," ujarku. Lelaki itu menyambutnya.
Entah apa yang mereka bicarakan, lelaki itu terus menjawab "Iya, Bu."
Hanya itu, padahal aku sangat penasaran sekali. Setelah nampak selesai, dia mengembalikan ponsel itu padaku lagi.
"Aku tunggu kamu, Din. Aku sudahi dulu, ya." Hanya itu ucapan Iren dan panggilan telepon pun dia matikan begitu saja.
"Apa Iren kecewa dengan keputusanku?" batinku. Namun aku sudah bertekad menghukum mereka, melewati bayi mungil ini.
Jika mas Aditya berani melaporkan aku pada Polisi, aku pun sudah menyimpan bukti kejahatan mereka padaku juga, yang terekam jelas di cctv yang Iren berikan.
Aku tidak boleh takut, aku harus membalas semua rasa sakit yang berbulan- bulan aku rasakan.
Bayi mungil ini semangatku. Mereka harus merasakan, betapa hancurnya kehilangan sesuatu yang sangat di sayangi.
Aku akan membesarkan bayi ini dengan cinta dan kasih sayang, sampai dia tidak merasakan kekurangan sedikit pun. Dan kelak jika mas Aditya, juga Astri menemukannya, tidak ada cinta lagi untuk mereka dari anak ini.
Dan aku, tidak akan membiarkan mereka menemukan kami, apapun yang terjadi.
"Kita ke Villa," ujar Bonang pada anak buahnya.
Menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
Aku keluar, mengikuti langkah Bonang memasuki halaman Villa.
"Sudah terlanjur." Terdengar suara Iren sedang berbincang dengan seorang.
"Kamu jangan nekad. Nanti kalau Ayah kamu tahu, bukan cuma kamu yang akan dia marahi, tapi juga aku."
Suara laki-laki?
Iren dengan siapa di Villa ini?"Hei, kalian sudah sampai!" seru Iren yang tiba- tiba keluar dari dalam Villa, sepertinya dia sudah melihat kedatangan kami.
"Ren, kamu sama siapa?" tanyaku, ketika Iren menghampiriku ke depan teras Villa.
Aku penasaran, tetapi sosok laki- laki yang hanya terdengar suaranya tadi tidak kunjung keluar dari dalam Villa.
"Masuk dulu, kasihan bayinya, pasti capek karena menempuh perjalanan panjang. Ayo kita rebahkan dia ke dalam kamar. Aku sudah nyiapin semuanya."
Bukannya menjawab, Iren malah seakan mengalihkan rasa penasaranku.
Saat memasuki Villa, aku memindai ke arah ruang tamu. Namun tidak terlihat siapapun. Tapi saat mulai mau memasuki kamar yang Iren tunjukkan, suara lelaki itu terdengar.
"Jangan melibatkan Iren di dalam masalah konyol seperti ini. Menculik anak orang bukanlah perkara sederhana, urusannya sama hukum!" ujar lelaki itu. Aku pun menoleh ke asal suara.
"Kamu ...."
"Sepupu Iren, Adam." Aku membatin menatapnya. Rasanya sangat terkejut sekali, sekian lama tidak bertemu. Dan kali ini, bisa melihatnya lagi.
Dari dulu, dia memang terkenal dingin. Tapi anehnya, cukup hangat dan ramah padaku saat SMA.
"Kak Adam, udah deh! Jangan marahin Dinda lagi," pinta Iren dengan kesal.
Tiba-tiba saja, lelaki itu menatap dingin padaku kemudian dia mendengkus dan pergi begitu saja.
Aku tidak bisa bersuara apapun, sadar diri ini hanyalah menyusahkan Iren, dan membawa dia ke dalam masalahku.
Wajar, jika kak Adam marah.
"Din, jangan dimasukkan ke hati, ya." Iren mengusap punggungku, dan membawaku kembali masuk ke dalam kamar.
Langkahku gontai, memasuki kamar yang begitu rapi dan wangi.
"Ayo bayi mungil, kamu beristirahat dulu, ya." Iren mengajak bayi Bulan berbicara dan mengambilnya dari gendonganku.
"Ren, maaf ya. Aku jadi melibatkan kamu dalam masalahku."
Iren tersenyum sambil merebahkan bayi mungil Bulan ke atas kasur.
"Sudah nggak apa- apa, kamu sahabat aku. Aku pasti akan selalu bantu kamu, apapun yang terjadi."
"Tapi, aku nggak enak sama, Kak Adam."
"Ah, dia memang begitu, galak. Maklum, jomblo akut, lelaki gila kerja memang begitu, suka tantrum," ujar Iren sambil terkekeh.
"Hah, dia masih jumblo, belum menikah dan belum ada pasangan?"
"Iya. Kata Mamahnya, dia patah sama sama cewek semasa SMA. Jadi, dia tidak mau menikah gitu, dan hanya fokus mengurus perusahaan Ayahnya."
"Dia itu pemimpin perusahaan loh, mantap kan," lanjut Iren bercerita.
Aku hanya tersenyum mendengar cerita Iren.
"Tapi, apa gunanya jadi pemimpin perusahaan Raharja Corp kalau jomblo akut?" lanjut Iren sambil geleng-geleng kepala.
Kami seketika tertawa.
Hanya saja, di tengah asiknya cerita Iren, tiba-tiba terdengar suara Bonang memanggil.
"Bu Iren, Bu ....!"
Deg!Ada apa ini? Jangan bilang kalau Mas Aditya dan Astri....?Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad
Bab10"Ih kak Adam, bener- bener deh, muncul seenaknya saja. Kakak nguping ya," tuduh Iren, pada lelaki dingin itu.Sayangnya. Pertanyaan Iren bagaikan angin lalu, dia malah fokus menatap dingin ke arahku yang menciut."Kak, please ...." Iren kembali bersuara, ketika melihat suasana tidak nyaman terjadi antara aku dan kak Adam."Aku juga lapar, Ren." Akhirnya lelaki itu bersuara dan mengalihkan tatapan tidak nyamannya padaku.Huh, entah kenapa, aku merasa dia sangat jauh berbeda. Dia lebih dingin dari yang pernah kukenal dulu, apa iya gara- gara status jomblo akut yang dia sandang saat ini? Sehingga dia tidak memiliki kehangatan pada wanita mana pun? Entahlah."Eh lapar. Ngomong dong! Ayo makan bareng, Iren ambilin piring," ujar Iren lagi, sambil beranjak dari duduknya dan mengambilkan piring untuk lelaki es batu itu.Yaa, nama yang cocok untuknya. "Es batu.""Makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan," sindirnya, kepadaku yang hanya sedikit makan."Apalagi berani bawa kabur
Bab11"Berat," lirihnya, membuatku lekas membenarkan posisi berdiri."Maaf," ujarku sambil berdiri kaku. Entah kenapa, mendadak rasanya jadi salah tingkah."Lain kali hati- hati, selalu saja ceroboh," gumamnya lagi sambil berjalan meninggalkanku."Dasar es batu," batinku. Ah, kesal sekali. Kenapa sih kak Adam ini, malah kembali ke pengaturan awal kami dulu bertemu. Selalu bersikap dingin dan berkata seenak jidatnya saja.Ah sudahlah, lebih baik aku buat sarapan dulu, keburu si bayi rewel.Aku pun bergegas menuju dapur dan mulai membuka- buka kulkas, mengambil beberapa bahan dan memasaknya.Disaat asik memasak, terdengar suara tangisan bayi kecil itu dari kamar. "Cepet betul tuh bayi bangun," gumamku sambil mematikan api kompor, mencuci tangan dan bergegas menuju kamar. Namun langkahku langsung terhenti, ketika mau masuk ke kamar. Lelaki es batu itu sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis.Entah kenapa, hatiku menghangat melihatnya. Ditengah perasaan yang campur aduk me
Bab12"Dam, apa ini?" Wanita paru baya yang kak Adam panggil Mamah itu menatap bingung sambil melempar tanya.Aku dan kak Adam merasa kikuk, ditambah Bulan yang susah ditenangkan."Dam, jawab!" pintanya dengan wajah yang mulai kesal."Istri Adam, Mah!" Spontan jawaban kak Adam, membuat aku syok berat. Apa- apaan ini?Mataku membulat, menatap kak Adam, begitu juga dengan Mamahnya."Kamu serius, Dam?" Mamah kak Adam nampak tidak percaya, dengan jawaban konyol lelaki itu. Aku berniat menyela pembicaraan mereka, namun kak Adam dengan gerak cepat, menutup mulutku dengan tangan, sambil tersenyum ke arah Mamahnya."Sayang, kamu tenangin si Dedek dulu," ujarnya lembut, membuat aku semakin kesal.Mamah kak Adam semakin tercengang, mendengar ucapan lelaki itu.Kak Adam menyeretku masuk ke arah kasur, dan dia pun bergegas keluar sambil menutup pintu.Terdengar suara mereka sedang berbicara di depan pintu kamar ini. "Astaga, masalah baru ini mah," batinku.Aku segera mengirim pesan pada Iren, m
Bab13Malam itu, mamah kak Adam pun akhirnya berpamitan pulang. "Tentang bayi itu, apa yang Kakak katakan sama Tante tadi?" tanyaku, sebelum kami masuk ke dalam rumah."Aku bilang dia anak teman aku, yang lagi dititipin, karena Ibunya lagi sakit dan dijagain sama Ayahnya.""Kakak bohongin orang tua loh.""Memangnya kamu mau aku jujur, kalau kamu penculik bayi?" ujarnya, membuatku sedikit kesal, meskipun ada benarnya juga.Akhirnya, kami pun masuk ke dalam Villa, dan tidur di kamar masing- masing.Malamku menjadi gelisah, tidurku pun menjadi susah karena terus kepikiran kedua orang tuaku, yang saat ini berada ditangan mas Aditya. Semoga mereka baik- baik saja.Berkali- kali kulirik ponsel, pesan singkatku, tidak kunjung Iren baca. Nomor ponselnya juga tidak aktif- aktif, entah kemana ini orang.Ah, Iren!! Kemana sih. Hingga pagi menjelang, tepat jam 5 subuh, aku baru mulai terlelap. "Dinda, Dinda ...." Aku terkejut, ketika mendengar bunyi ketukan pintu yang cukup keras itu.Bahkan b
Bab14"Aku akan ikut menghadiri pertemuan itu," lanjutnya. Iren melepaskan pelukannya dan menatap ke kak Adam."Kakak yakin?""Ya." >
Bab15"Kamu ingat- ingat lagi masa- masa indah kita, sayang," ucapan mas Aditya kembali terdengar. Aku menatap wajah yang memohon itu kepadaku."Aku maafin kamu, Mas," lirihku, membuat hembusan napas Iren terdengar keras.Mas Aditya tersenyum lega."Tapi tidak untuk kembali ke rumah ini," lanjutku sambil melepaskan diri dari gendongan yang melilit tubuh.Senyum di wajah mas Aditya memudar."Kamu nggak sayang sama anak ini?" tanya mas Aditya, ketika melihatku menatap hampa pada gadis kecil di gendonganku ini."Aku sayang, tapi aku nggak berhak apa- apa tentang bayi ini. Jadi, aku kembalikan dia pada kalian, setelah kedua orang tuaku nanti datang.""Ya Allah, Din. Lihat aku, Din. Aku ini masih sah suami kamu, apa iya kamu nggak mau lagi dengerin aku?"Cih! Lagaknya. Mas Aditya ini memang orang yang paling pandai mengolah kata dan mempermainkan perasaan orang lain. Tapi aku, tidak akan tertipu untuk yang kedua kalinya lagi.Aku terkekeh, membuat mas Aditya menatap heran kepadaku."Kenap
"Kenapa kamu begitu ingin bercerai?" tanya mas Aditya dengan tatapan kesal."Buset, nggak sadar diri," timpal Iren sambil menggelengkan kepalanya."Dalam rumah tangga, itu wajar ada kekurangan, pertengkaran dan sebagainya. Selama ini, kita sudah bisa melewatinya dengan baik. Kamu mengenal aku bukan sehari dua hari, jika ada yang tidak kamu sukai dari aku, kita bisa perbaiki, bukan berpisah," lirih mas Aditya berdrama, benar- benar memuakkan."Pak Burhan sebaiknya pergi saja, kami tidak akan bercerai," lanjut mas Aditya. Pak Burhan masih terdiam tak langsung bereaksi."Kita tetap akan bercerai, Mas!" tegasku, sambil menarik napas berkali- kali."Mas janji akan berubah, apa itu kurang?" balasnya dengan wajah yang jelas sekali menahan kesal.Cih! Manusia manifulatif seperti ini, tidak akan pernah bisa berubah."Aku akan tuntut harta gono- gini sama kamu, Mas! Aku tidak lagi lemah, aku akan ambil semua yang menjadi hak aku di rumah ini," jelasku. Membuat Astri mengernyit."Harta gono- gin