"Sesil. Kenapa dia sampe teriak begitu?" gumamku."Rese banget wanita kecil itu," gerutu pak Anwar nampak kesal."Hei, Sesil. Sini, Nak!" panggil bu Melisa, yang langsung berdiri dari duduknya, ketika melihat Sesil yang mulai berjalan ke arah kami."Kalian nggak tau malu banget," hardik Sesil kepada kami. Pak Anwar melepaskan pegangannya tubuhku yang sudah berdiri tegap."Sil, jaga bicara kamu! Kamu nggak pantes ngomong begitu sama saya," tegas pak Anwar. Sebelum Sesil bersuara lagi, bu Melisa sudah berada di dekat anaknya itu."Bu," lirih Sesil yang langsung memeluk ibunya itu."Pak Anwar, tolong maklumi Sesil, dia masih labil," ujar ibu Melisa."Labil apa? Teriak- teriak dan ngata- ngatain atasannya begitu, apa pantas? Dia ini bukan gadis remaja, tapi sudah wanita dewasa," timpalku dengan sengaja."Diam kamu!" bentak Sesil kepadaku, membuat semua tamu yang ada di restoran, memandang ke arah kami."Sebaiknya kamu diam saja," pinta ibu Melisa dengan geram kepadaku."Dia sudah memperma
"Nggak tau sih kalau hal itu, ibu Melisa juga nggak mau jelasin saat itu. Dia cuma minta pengertian saya, kalau Sesil ini punya trauma gitu." Aku pun lagi- lagi cuma mengangguk."Saya itu sebenarnya tidak mau, kamu berurusan dengan keluarga itu. Saya tidak tahu kebenaran jelasnya seperti apa. Tapi kalau dari cerita yang beredar. Ibu Melisa ini orangnya cukup kejam, Din. Sekeretaris saya dulu itu, pernah menampar wajah Sesil, ketika mereka ribut. Dan besoknya, sekretaris saya itu nggak masuk kerja lagi. Tau nggak seminggu setelahnya, dia ditemukan meninggal dunia," jelas pak Anwar.'Nggak heran dan nggak kaget juga. Aku tahu dia sekejam itu, Pak.' Aku membatin."Saya hanya khawatir sama kamu, Din.""Tenang saja, Pak. Saya punya seribu nyawa," candaku, biar pak Anwar tidak tegang dengan pemikiran takutnya."Hehe, bisa saja kamu, Din."Pak Anwar ikut terkekeh. Kami sampai di gedung halaman kantor dan berjalan masuk ke dalam.Para karyawan ada yang menyapa dan ada juga yang menghampiri.
Aku duduk di depan ruang tunggu. Sementara mas Aditya, sedang di tangani. Sesekali aku melirik jam tangan, serta lingkungan sekitar.Entah rencana busuk apa, yang sedang mas Aditya, serta wanita iblis itu rancang. Yang jelas, aku harus lebih berhati- hati lagi.Aku memainkan ponselku, menscroll media sosial. Aku tersenyum, ketika banyak yang membagikan berita- berita miring tentang keluarga besar papah. Terutama mengenai mental putri mereka, yang mulai dipertanyakan."Haha, pantes saja si ibu Melisa makin gila mengejar nyawaku. Rupanya karena ini," batinku tertawa keras.Ini baru awal sih, aku membuat putri kesayangannya itu malu. Tunggu saja, nanti aku akan membuat putri tercintanya itu, benar- benar gila.Apa aku jahat? Ya, aku sudah terlanjur jahat, dan aku nggak akan pernah berhenti, sekali pun ibu Melisa sudah bertobat.Dia harus merasakan, apa yang sudah aku rasakan.Disaat aku termenung memikirkan wanita jahat itu. Tiba- tiba masuk nomor tidak di kenal, melakukan panggilan ke no
Mobilku melaju, sembari tersenyum jahat, membayangkan mas Aditya. Aku yakin, lelaki brengsek mata duitan itu, akan menyelidiki semua tentang ceritaku tadi.Dia pasti akan mati penasaran, jika tidak memastikan kebenaran dari ceritaku tadi. 3 tahun kami bersama, dia bahkan tidak tahu asal- usulku, yang ternyata adalah anak dari bosnya.Jangankan dia, aku sebagai anak saja tidak tahu. Setelah tahu, nyawaku malah jadi buronan mereka. Sialan memang.Sesampainya di parkiran apartemen, ponselku mendapatkan panggilan dari nomor tidak dikenal.Aku terkekeh, entah siapalagi, yang menghubungiku kali ini.Disaat panggilan telepon aku jawab, suara teriakkan melengking di ponselku. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, karena bass suaranya yang memekkan telinga. [Janda gatal ....] Suara yang cukup aku kenali. Aku terkekeh, wanita gila itu rupanya.[Ah, aku kira mas Aditya yang telepon. Baru aja tadi kami bersama, masa tiba- tiba kangen, eh ternyata kamu yang telepon,] ejekku dengan sengaja, biar m
Di depan tivi yang baru saja aku setting, aku terdiam memantau sekitar apartemenku.Terlihat seorang lelaki misterius, mulai memantau disekitar. Bener- bener nggak sabaran banget keluarga pak Hanung ini, pengen banget aku mati rupanya.Aku tetap duduk santai, mengamati gerak- geriknya. Nampaknya orang itu hanya mengamati sekitar, kemudian pergi. Mungkin saja, dia hanya mengenali lingkungan apartemen ini, sembari mengenali tingkat keamanannya.Andai saja dia berani mencoba membuka pintu apartemenku, bisa- bisa dia mengantarkan nyawanya saja. Karena aku, sudah memasang sentruman tegangan tinggi disana. Haha, sayangnya umurnya panjang masih mungkin.******Seperti biasa, pagi ini aku bersiap- siap, untuk berangkat ke kantor. Hari ini, aku akan memulai pembalasan kepada mereka. Enak saja mereka terus yang beraksi, sedangkan aku mode kalem. Mereka bakal menginjak- injakku terus kalau begini.Aku melajukan mobil, membelah jalanan kota, menuju kantor. Sesampainya di kantor, aku masih duduk
Aku pun melaporkan perbuatan Sesil ke kantor polisi, dengan membawa hasil visum, dan juga bukti cctv yang memperlihatkan betapa brutalnya Sesil.Berita tentang penganiayaan Sesil kepadaku langsung menjadi trending topik di media sosial. Aku sengaja menyuruh orang untuk memviralkannya dengan judul- judul memalukan.Dan hari itu juga, Sesil dibawa pihak yang berwajib, dan lagi- lagi aku meminta seseorang merekam sebuah video penangkapan Sesil di kantor kerjaku.Semua berjalan sesuai harapan. Aku memilih pulang, dibandingkan melanjutkan kerjaanku. Rasanya aku butuh ketenangan. Kuabaikan panggilan telepon pak Anwar yang terus- menerus masuk.Tanpa kuduga, disaat aku sampai ke apartemen, om Kustomi berdiri di depan pintu, menatap datar ke arahku.Aku pun menyapanya, dia hanya diam. Aku membuka pintu dan mempersilahkannya masuk.________Aku menjelaskan semua yang terjadi hari ini. Tanpa kuduga, om Kustomi langsung marah.Brak .... Om Kustomi menggebrak meja tamu dengan emosi, tatapannya
Disaat pikiran sedang kalut, tiba- tiba panggilan telepon dari mas Aditya masuk. Aku menatap sesaat, kemudian menjawabnya.[Ya, Mas.][Ehem. Din, lagi ngapain? Mas ganggu kamu nggak ya?] tanya mas Aditya.[Aku lagi rebahan saja, Mas. Aku bingung, rumah, dan kebun peninggalan Abba terbakar habis. Kini, keunganku menjadi tipis,] jawabku dengan suara lesu.Meskipun om Kustomi memberikan aku biaya hidup selama ini. Tapi aku juga tahu, kalau dia mengelola kebun dan ternak Abba di Kalimantan. Dan ongkos yang biasa aku terima, adalah hasil bagi rata kami.[Kok bisa, jadi sekarang gimana kondisinya disana?][Nggak tau, Mas.] [Padahal aku rencananya mau jual kebun dan tanahnya. Buat ngelawan Papahku di Pengadilan. Dia membawa surat wasiat saham dari Abba katanya] aku terpaksa menjelaskan semua ini ke mas Aditya.Aku terpaksa menggunakan mas Aditya, untuk melawan papah. [Sudah kuduga. Aku mendengar kabar, kamu laporin Sesil ke kantor polisi. Untuk apa, Din? Percuma, pak Hanung dan ibu Melisa
Tiba- tiba, rasa panas mengenai lenganku. Aku memekik pelan, merasakan sakit. "Sialan," umpat ibu Melisa, yang langsung masuk ke dalam mobilnya. Aku memegang lenganku dan menoleh ke arah belakang.Aku cukup terkejut, ketika melihat kak Adam, sedang berkelahi dengan lelaki yang ditangannya masih memegang senjata api.Aku berlari ke arah mereka, dan ikut menyerang lelaki itu. Meskipun lenganku yang kiri sakit dan terluka. Tapi aku masih mampu menggunakan 1 tangan kananku, juga dua kakiku untuk menghajar lelaki si penembak itu.Aku dan kak Adam berusaha menangkapnya. Namun ketika aku berhasil merebut senjata apinya, dia melemparkan kami bubuk cabe, membuat aku dan kak Adam seketika menjauh darinya.Lelaki kurang ajar itu pun berhasil kabur. "Kamu nggak apa- apa?" tanya kak Adam, menatap khawatir ke arahku."Alhamdulilah cuma luka, Kak. Aku masih hidup," jawabku sambil terkekeh."Dasar!!" ujarnya sambil menjitak kepalaku."Aww, sakit." Aku memekik."Ayo, kita ke rumah sakit," katanya sa