Dari gerak- geriknya. Wanita itu nampaknya sangat hati- hati. Terlihat dari cara jalannya yang cukup cepat, dengan sikap yang mencurigakan.Kupikir ibu Melisa akan menuju restoran atau cek in. Namun, dia justru berjalan menuju ke samping hotel.Menemui siapa sih dia?Karena diburu rasa penasaran, aku pun terus melajukan langkah, berharap mendapatkan bukti yang menguntungkan untukku.Dan aku cukup terkejut, ketika melihat orang yang ibu Melisa temui."Kamu melaporkan saya, Kustomi ...."Om Kustomi terkekeh, mendengar lontaran pertanyaan dari ibu Melisa. Wanita itu pun duduk, bersebrangan dengan om Kustomi di taman hotel ini.Aku bersembunyi ke kejauhan, sembari memantau mereka."Ada hubungan apa, kamu dengan wanita sialan itu?" Lanjut ibu Melisa melempar tanya."Untuk apa kamu terus memburunya, Melisa? Bukankah dulu, aku sudah peringatkan kamu, untuk tidak menyakitinya lagi. Aku masih menyimpan bukti, rekaman kejahatan kamu dulu, Melisa. Aku bisa saja, menyerahkan bukti itu ke polisi.
"Ah, kalau begini, lebih baik aku mengirim pesan padanya. Agar dia terkecoh."Aku mengetik pesan, setelah selesai mengganti pakaianku.[Om, aku terus diserang, pake senjata api. Kalau begini, salah- salah aku bisa mati, Om.] Begitulah isi pesan, yang aku kirim untuk om Kustomi.[Aku juga sekarang menuju rumah sakit, Om. Penerus Raharja Group tertembak, gara- gara melindungiku, Om.] Dan tidak butuh waktu lama, 2 pesanku telah dia baca.[Kamu jangan kemana- mana dahulu, berbahaya. Nanti anak buah Om, yang akan jagain kamu.] Aku mengernyit, melihat pesan balasannya.[Om dimana? Kita harus bertemu, Om. Kalau tidak, Dinda akan pergi dari Jakarta ini.] Aku terpaksa mengancamnya, agar dia pergi dari pusat perbelanjaan ini.[Om lagi meeting, Dinda.] Aku terkekeh, mendapat pesan balasannya yang begitu cepat.Pendusta juga om Kustomi ini.[Nggak mau tahu. Kita harus ketemu, Om. Kalau Om nggak mau temui Dinda, Dinda akan tembak ibu Melisa, kemudian kabur ke luar negeri.] Setelah pesanku dia bac
"Sambil nyari tempat baru juga, Om. Sebelum ke rumah sakit."Aku terpaksa berdusta, agar om Kustomi tidak curiga."Mana mobil kamu?"Ya ampun, segala nanyain mobil. "Di pinjam teman aku, Om. Aku sengaja nggak pake mobil, demi keamanan.""Teman kamu yang mana?""Teman kantor, Om. Om kenapa, sih? Kok nanya- nanya begitu?" Aku akhirnya bertanya balik, karena merasa tidak nyaman. Aku sengaja memasang wajah serius, sekaligus menyelidik, agar om Kustomi tidak enak padaku.Akhirnya om Kustomi pun memutuskan untuk mengajakku pergi dari rumah sakit. Karena aku mengaku belum makan, om Kustomi berniat membawaku ke sebuah restoran.Namun sebelum mobil kami sampai menuju restoran, tiba- tiba panggilan telepon masuk ke ponselku. Aku menjawabnya. Ternyata dari ke polisian.Mereka mengatakan, ketiga pelaku mengaku, hanya ingin melakukan perampokan kepadaku.[Tidak mungkin, Pak. Tolong diintrogasi lagi. Pasti ada dalang dibalik kejadian ini. Mereka mengincar nyawa saya, Pak. Kejadian ini sudah dua
"Yasudah kalau nggak mau! Kalian sepertinya memang tidak sayang keluarga," ejekku."Jangan salahin aku, kalau aku benar- benar melenyapkan mereka! Seperti yang kalian lakukan padaku," ujarku sambil tersenyum penuh arti.Sebagai orang yang berani berbuat jahat, tentu mereka sangat paham dari tatapan dan senyumanku ini. Sebab itulah yang sering aku rasakan, ketika berada dibawah ancaman seseorang."Jaanngan, saya mohon." Kini Doni bersuara, sedangkan si Adan diam membisu."Jadi? Mau bersaksi untuk saya? Saya bisa loh, menjamin kalian, agar keluar dari sini. Asalkan, kalian jujur sama saya," kataku pada akhirnya dengan bahasa yang cukup santun.Aku kembali duduk, dan menatap mereka dengan santai."Apa yang kalian takutkan? Untuk sebuah pengakuan, saya mampu melindungi kalian. Tapi sebaliknya, jika kalian melindungi dalang dari kejahatan kalian, maka saya tidak segan- segan, membalas itu pada kalian, bahkan orang- orang yang kalian sayangi."Aku mempertegas ancamanku."Asal kalian tahu, s
Video obrolan ibu Melisa dan om Kustomi pun terlihat dilayar besar itu. Meskipun videonya tidak sepanjang durasi awal, tapi point- point penting yang ada di dalamnya dapat semua.Pengakuan tentang fitnah ibu Melisa pada mendiang ibuku pun terdengar jelas. Wajah pak Hanung mulai mengeras, dan ibu Melisa menjadi semakin panik."Wanita ini pasti yang melakukannya, dia pasti ingin memfitnahku! Ini editan, semua tidak benar. Papah percaya padaku, kan!!" teriak ibu Melisa padaku, dan memelas pada pak Hanung yang diam membeku tanpa melakukan tindakan apapun.Justin nampak panik dan berlari ke belakang panggung. Kini kami menjadi pusat perhatian, aku hanya tersenyum melihat kekacauan acara mereka."Bagaimana ini pak Hanung? Apakah bisa di jelaskan! Benarkah ini anak anda?" tanya seseorang yang berdiri dibelakangku.Entah siapa lelaki ini. Perawakannya berisi, layaknya bos besar."Kustomi, mana Kustomi," lanjut lelaki itu berteriak."Disana! Dia disana!!" Seseorang menyahut dari belakang samb
Aku masih terdiam, melihat tingkah lelaki yang biasanya sok ini."Gara- gara kamu, keluarga kami menjadi rusak dalam hitungan detik," lirih Justin, yang kini menatap nyalang ke arahku."Itu harga yang pantas untuk kalian, manusia- manusia kejam. Ibumu pembunuh, dan kamu hanya lelaki sialan, yang memaksa sahabatku, agar mau menikah denganmu! Benar- benar lelaki menjijikan," makiku tak kalah pedas."Kalau tidak karena pengaruh keluargamu! Iren mana mungkin, mau menikah dengan lelaki angkuh macam kau ini," lanjutku dengan suara keras.Matanya memerah, menahan amarahnya."Cukup Dinda! Tidak usah dilanjutkan!" pinta pak Hanung."Nggak usah ngatur saya, Pak. Seharusnya anda tahu, bagaimana watak anak dan istri tercinta anda ini. Bagaimana bisa, seorang Hanung Atmaja yang terhormat, memiliki istri seorang pembunuh kejam. Bahkan, merebut warisan saham saya! Itu bukan hak anda, Tuan. Apakah harta yang Tuhan titipkan itu kurang? Sehingga warisan saham anak sendiri anda ambil. Kalian para tamu s
"Pak Anwar," lirihku. "Kamu hebat, kamu wanita kuat. Izinkan saya untuk melindungi kamu, Dinda." "Pak Anwar terimakasih, tapi Dinda akan pulang sama saya!" Kini mas Aditya menyahut dan mendekat ke arah kami.Aduh, situasi macam apa ini? Masih di dalam room begini, apa mereka nggak malu. Bahkan, sudah banyak pasang mata, yang kini terarah ke arah kami."Saya atasan Dinda, saya berhak menjaga keselamatan Dinda," kata pak Anwar, yang tidak senang dengan ucapan mas Aditya."Pak Anwar, mas Aditya. Biarkan saya pulang sendiri, oke." Kini aku berusaha menengahi mereka."Nggak bisa. Mas takut kamu kenapa- kenapa, Din. Tolong, mas khawatir sama kamu," jawab mas Aditya."Pak Aditya, bukannya anda ini sudah punya istri? Dan istrinya sempat ngamuk sama Dinda kan sebelumnya. Ini pak Aditya gimana sih? Sudah punya istri, malah gangguin mantan istri," protes pak Anwar, membuatku ingin sekali tertawa."Kami berencana rujuk, Pak. Jadi tolong, jangan ganggu calon istri saya ini," kata mas Aditya deng
Di rapat para pemegang saham, pak Hanung memperkenalkan aku secara resmi sebagai anaknya. Dan kemungkinan besar, aku juga sebagai penerusnya. Begitulah yang dia ucapkan. Akan tetapi, ada yang tidak terima begitu saja, banyak dari mereka yang meragukan kemampuanku.*****Sebelum pulang, pak Hanung memintaku masuk ke ruangannya. Ada om Kustomi dan pengacara mendiang Abba dan Umma juga."Saham perusahaan yang akan diwariskan kepada Dinda, akan sah Dinda terima, ketika dia sudah menikah," jelas pengacara Abba."Dan itu, sudah menjadi ketentuan yang sah," lanjutnya."Sebelum Dinda menikah lagi, sebaiknya kamu melanjutkan pendidikan dulu, Din." Kini pak Hanung menimpali."Saya mungkin bukan ayah yang baik. Harta, tahta juga tidak saya bawa mati. Kamu anak kandung saya satu- satunya. Saya berharap, kamu bisa menggantikan saya kelak. Maafkan semua kesalahan saya, Din." Pak Hanung menatap penuh sesal kepadaku.Raut wajahnya menggambarkan perasaan yang cukup dalam. Dan sorot matanya, ada ketu