Share

Ayah Bukan Pusat Dunia

Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.

“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”

“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”

“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”

“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”

Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”

“Aku bukannya cemburu, tapi teman kamu si Atmi Atmi ini perlu dihajar karena sudah sembarangan bicara. Mana bisa dia mengaku suami kamu di depan orang lain! Terus kamu berharap aku diam saja dan enggak melakukan apa-apa?”

“Sudahlah, Owen. Aku sudah malu sampai harus pulang lebih awal dari sekolah seperti ini dan sekarang kamu malah sibuk bermain peran seperti yang biasa kamu lakukan di depan kamera. Aku enggak butuh drama sekarang.”

“Jadi apa yang kamu butuhkan?” tantangku.

“Pergi saja dulu, terserah mau ke mana. Jangan bawa motornya karena si tukang survei itu pasti mau periksa kondisinya. Enggak lama lagi Atmi akan datang dan bantu aku menandatangani berkasnya. Nanti setelah surveinya selesai, kamu mau apa juga terserah.”

Bukannya memenuhi permintaan Rati, aku malah masuk ke rumah lagi. “Aku suami sahnya. Atmi berengsek itu mengaku jadi suami dari istriku, dan aku tidak bisa terima begitu saja. Bawa saja motornya kalau kau merasa perlu.”

“Owen!”

Lelaki itu tampak berpikir sejenak, lalu akhirnya dia meminta tolong padaku dan Rati. “Kalau sampai saya ketahuan melakukan kesalahan, saya bisa dipecat. Mas dan Mbak juga bisa masuk daftar hitam karena kalian dianggap menipu perusahaan. Tapi saya punya jalan tengahnya, bagaimana kalau... Mas siapa namanya tadi?”

“Owen,” sahutku dan Rati bersamaan.

“Bagaimana kalau Mas Owen tanda tangani saja berkasnya, pura-pura jadi Mas Atmi. Soalnya di berkas jual beli sudah telanjur pakai nama Mas Atmi. Tirukan saja tanda tangannya, enggak sulit, kok. Gimana?”

Jalan keluar itu masih membuatku dongkol. Bagaimana aku bisa terima jadi pria yang mengaku-aku sebagai suami dari istriku sendiri meski hanya di atas kertas?

“Tanda tangani saja,” bujuk Rati.

Aku meliriknya. “Kamu ini pegawai negeri, lho. Bisa-bisanya....”

Ucapanku membungkam Rati. Namun, pada akhirnya aku menarik berkas itu untuk menandatanganinya dengan berat hati. Ketika aku sedang menandatangai berkas, lelaki itu memintaku untuk menunduk sedikit. Katanya, supaya wajahku tidak terlihat jelas dan orang kantor pusat tidak curiga.

“Bisa-bisanya perusahaan sebesar kalian kecolongan dan enggak pakai dokumen surat nikah atau semacamnya, sih,” keluhku.

“Anu, Mas. Untuk beberapa klien yang sudah masuk daftar prioritas, marketing kami biasanya enggak meminta data-data pribadi seperti KTP atau kartu keluarga lagi.”

“Wah, kalau begitu aku mau masuk daftar prioritas. Bisa, kan?”

Lelaki itu tersenyum rikuh, lalu menjawab, “Harus ambil satu unit kendaraan lagi, Mas. dan juga dapat rekomendasi dari paling tidak kepala desa atau lurah setempat.”

“Enggak sesulit yang kubayangkan. Bisa kuurus nanti.”

“Kepala desa sini itu bapaknya Mas Atmi, Mas,” sahut lelaki itu sambil berpamitan. Dia pergi secepat kilat, seolah takut aku akan berubah pikiran.

“Jadi sekarang kamu menantu kepala desa ini?”

Rati memutar bola matanya dan enggan menjawabku. Dia terus mendiamkanku bahkan saat kami makan malam. Xai sampai ikut diam, padahal dia sedang menceritakan pengalamannya di sekolah baru karena kupinta.

“Aku ditawari teman, ikut kursus main gitar sama dia. Enggak perlu bayar katanya. Orangtuanya sudah membayarkan. Dan aku juga enggak perlu beli gitar karena gitar di rumahnya sudah banyak.”

Kutatap Xai dengan curiga. “Baik amat teman kamu? Cewek, ya?”

Xai diam saja dan menolak menjelaskan apa pun. Dia malah berpaling ke Rati untuk meminta izinnya. “Boleh, Buk?”

Rati mengangguk saja. “Selama kamu enggak lupa tugas utamamu. Belajar.”

Xai bersorak pelan, lalu kembali makan. Dia tidak meminta izin padaku sama sekali? Apa maksudnya itu? Kutatap Xai dan Rati bergantian. Sekuat tenaga aku menekan amarah, menyembunyikan kekesalan yang kurasakan. Namun, aku gagal. Aku tidak tahan lagi. Sekalian saja kusampaikan pada mereka saat ini juga. “Mulai besok aku akan mengantar jemput Xai. Tapi aku enggak langsung pulang. Aku akan berolahraga di pusat kebugaran di kota sebelah. Begitu selesai, aku akan pulang tepat waktu sekolah bubar dan menjemput Xai.”

“Memangnya kamu punya uang?” Rati menyadari pertanyaannya yang salah, lalu langsung mengatupkan bibirnya sendiri.

“Aku punya uang dan punya waktu luang yang terlalu banyak. Daripada aku diam di rumah dan pusing memikirkan kejutan apa lagi yang akan aku terima, mending aku olahraga saja. Kemarin jadi pembantu, hari ini jadi duda, besok mungkin aku akan jadi kecoa,” sindirku.

Rati mengesah. “Sudahlah, Owen. Jangan dibahas lagi.”

“Nah, lihat. Kau bahkan tidak merasa bersalah sama sekali.”

“Maafkan aku,” ucap Rati setengah hati. Sama sekali tidak ada sesal di matanya. “Kalau kamu punya waktu luang terlalu banyak, kenapa tidak cari kerja sekalian?”

“Bagiku kerja itu hanya di depan kamera. Akting. Bermain peran. Aku tidak pernah mengenal pekerjaan selain itu, dan aku tidak akan pernah melakukan apa pun selain itu,” ikrarku pada diri sendiri.

Rati menatapku dengan ekspresi bosan. “Dulu kamu bisa jadi artis juga karena ketemu Pak Rajesh waktu kerja jadi pramusaji.”

“Jadi maksudmu aku harus jadi pramusaji di umurku yang sekarang? Setelah sepuluh tahun aku berjuang menjual wajah dan aktingku di depan kamera, aku harus balik lagi melayani orang?”

Rati tiba-tiba membanting sendoknya di atas meja. Membuat aku dan dan Xai terkejut setengah mati. “Lakukan apa saja sesukamu!”

Rati bangkit, membawa piringnya yang masih penuh ke wadah sampah. Dilemparnya piring beserta seluruh isinya ke dalam wadah itu, lalu langkahnya berderap menjauh. Kudengar pintu kamar dibanting lalu dikunci dari dalam.

Xai yang awalnya diam saja, kemudian menggelengkan kepalanya sembari terus menatapku. “Kasihan Ibuk, Yah. Badannya sudah kurus, jadi makin kurus karena mikirin Ayah. Dan sejak kita pindah ke sini Ayah terus cari masalah sama Ibuk. Apa enggak capek?”

“Jadi kamu mau menyalahkan Ayah sekarang? Kamu enggak tahu rasanya seperti apa berada di posisi Ayah, Xavier.”

“Aku enggak mau tahu, Yah. Sama seperti Ayah yang enggak pernah mau tahu perasaan orang lain. Ayah selalu mementingkan diri sendiri. Memikirkan kesenangan Ayah sendiri. Dunia ini terlalu luas dan Ayah berpikir bahwa Ayahlah pusatnya? Benar-benar lelucon,” cecar Xai. Sebelum pergi, dia lalu melanjutkan, “Dan namaku Xai. Kupikir kita sudah sepakat soal itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status