Home / Urban / Besar Kema(l)uan dari Kemampuan / Ayah Bukan Pusat Dunia

Share

Ayah Bukan Pusat Dunia

Author: irbatkO
last update Last Updated: 2021-07-07 09:08:16

Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.

“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”

“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”

“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”

“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”

Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”

“Aku bukannya cemburu, tapi teman kamu si Atmi Atmi ini perlu dihajar karena sudah sembarangan bicara. Mana bisa dia mengaku suami kamu di depan orang lain! Terus kamu berharap aku diam saja dan enggak melakukan apa-apa?”

“Sudahlah, Owen. Aku sudah malu sampai harus pulang lebih awal dari sekolah seperti ini dan sekarang kamu malah sibuk bermain peran seperti yang biasa kamu lakukan di depan kamera. Aku enggak butuh drama sekarang.”

“Jadi apa yang kamu butuhkan?” tantangku.

“Pergi saja dulu, terserah mau ke mana. Jangan bawa motornya karena si tukang survei itu pasti mau periksa kondisinya. Enggak lama lagi Atmi akan datang dan bantu aku menandatangani berkasnya. Nanti setelah surveinya selesai, kamu mau apa juga terserah.”

Bukannya memenuhi permintaan Rati, aku malah masuk ke rumah lagi. “Aku suami sahnya. Atmi berengsek itu mengaku jadi suami dari istriku, dan aku tidak bisa terima begitu saja. Bawa saja motornya kalau kau merasa perlu.”

“Owen!”

Lelaki itu tampak berpikir sejenak, lalu akhirnya dia meminta tolong padaku dan Rati. “Kalau sampai saya ketahuan melakukan kesalahan, saya bisa dipecat. Mas dan Mbak juga bisa masuk daftar hitam karena kalian dianggap menipu perusahaan. Tapi saya punya jalan tengahnya, bagaimana kalau... Mas siapa namanya tadi?”

“Owen,” sahutku dan Rati bersamaan.

“Bagaimana kalau Mas Owen tanda tangani saja berkasnya, pura-pura jadi Mas Atmi. Soalnya di berkas jual beli sudah telanjur pakai nama Mas Atmi. Tirukan saja tanda tangannya, enggak sulit, kok. Gimana?”

Jalan keluar itu masih membuatku dongkol. Bagaimana aku bisa terima jadi pria yang mengaku-aku sebagai suami dari istriku sendiri meski hanya di atas kertas?

“Tanda tangani saja,” bujuk Rati.

Aku meliriknya. “Kamu ini pegawai negeri, lho. Bisa-bisanya....”

Ucapanku membungkam Rati. Namun, pada akhirnya aku menarik berkas itu untuk menandatanganinya dengan berat hati. Ketika aku sedang menandatangai berkas, lelaki itu memintaku untuk menunduk sedikit. Katanya, supaya wajahku tidak terlihat jelas dan orang kantor pusat tidak curiga.

“Bisa-bisanya perusahaan sebesar kalian kecolongan dan enggak pakai dokumen surat nikah atau semacamnya, sih,” keluhku.

“Anu, Mas. Untuk beberapa klien yang sudah masuk daftar prioritas, marketing kami biasanya enggak meminta data-data pribadi seperti KTP atau kartu keluarga lagi.”

“Wah, kalau begitu aku mau masuk daftar prioritas. Bisa, kan?”

Lelaki itu tersenyum rikuh, lalu menjawab, “Harus ambil satu unit kendaraan lagi, Mas. dan juga dapat rekomendasi dari paling tidak kepala desa atau lurah setempat.”

“Enggak sesulit yang kubayangkan. Bisa kuurus nanti.”

“Kepala desa sini itu bapaknya Mas Atmi, Mas,” sahut lelaki itu sambil berpamitan. Dia pergi secepat kilat, seolah takut aku akan berubah pikiran.

“Jadi sekarang kamu menantu kepala desa ini?”

Rati memutar bola matanya dan enggan menjawabku. Dia terus mendiamkanku bahkan saat kami makan malam. Xai sampai ikut diam, padahal dia sedang menceritakan pengalamannya di sekolah baru karena kupinta.

“Aku ditawari teman, ikut kursus main gitar sama dia. Enggak perlu bayar katanya. Orangtuanya sudah membayarkan. Dan aku juga enggak perlu beli gitar karena gitar di rumahnya sudah banyak.”

Kutatap Xai dengan curiga. “Baik amat teman kamu? Cewek, ya?”

Xai diam saja dan menolak menjelaskan apa pun. Dia malah berpaling ke Rati untuk meminta izinnya. “Boleh, Buk?”

Rati mengangguk saja. “Selama kamu enggak lupa tugas utamamu. Belajar.”

Xai bersorak pelan, lalu kembali makan. Dia tidak meminta izin padaku sama sekali? Apa maksudnya itu? Kutatap Xai dan Rati bergantian. Sekuat tenaga aku menekan amarah, menyembunyikan kekesalan yang kurasakan. Namun, aku gagal. Aku tidak tahan lagi. Sekalian saja kusampaikan pada mereka saat ini juga. “Mulai besok aku akan mengantar jemput Xai. Tapi aku enggak langsung pulang. Aku akan berolahraga di pusat kebugaran di kota sebelah. Begitu selesai, aku akan pulang tepat waktu sekolah bubar dan menjemput Xai.”

“Memangnya kamu punya uang?” Rati menyadari pertanyaannya yang salah, lalu langsung mengatupkan bibirnya sendiri.

“Aku punya uang dan punya waktu luang yang terlalu banyak. Daripada aku diam di rumah dan pusing memikirkan kejutan apa lagi yang akan aku terima, mending aku olahraga saja. Kemarin jadi pembantu, hari ini jadi duda, besok mungkin aku akan jadi kecoa,” sindirku.

Rati mengesah. “Sudahlah, Owen. Jangan dibahas lagi.”

“Nah, lihat. Kau bahkan tidak merasa bersalah sama sekali.”

“Maafkan aku,” ucap Rati setengah hati. Sama sekali tidak ada sesal di matanya. “Kalau kamu punya waktu luang terlalu banyak, kenapa tidak cari kerja sekalian?”

“Bagiku kerja itu hanya di depan kamera. Akting. Bermain peran. Aku tidak pernah mengenal pekerjaan selain itu, dan aku tidak akan pernah melakukan apa pun selain itu,” ikrarku pada diri sendiri.

Rati menatapku dengan ekspresi bosan. “Dulu kamu bisa jadi artis juga karena ketemu Pak Rajesh waktu kerja jadi pramusaji.”

“Jadi maksudmu aku harus jadi pramusaji di umurku yang sekarang? Setelah sepuluh tahun aku berjuang menjual wajah dan aktingku di depan kamera, aku harus balik lagi melayani orang?”

Rati tiba-tiba membanting sendoknya di atas meja. Membuat aku dan dan Xai terkejut setengah mati. “Lakukan apa saja sesukamu!”

Rati bangkit, membawa piringnya yang masih penuh ke wadah sampah. Dilemparnya piring beserta seluruh isinya ke dalam wadah itu, lalu langkahnya berderap menjauh. Kudengar pintu kamar dibanting lalu dikunci dari dalam.

Xai yang awalnya diam saja, kemudian menggelengkan kepalanya sembari terus menatapku. “Kasihan Ibuk, Yah. Badannya sudah kurus, jadi makin kurus karena mikirin Ayah. Dan sejak kita pindah ke sini Ayah terus cari masalah sama Ibuk. Apa enggak capek?”

“Jadi kamu mau menyalahkan Ayah sekarang? Kamu enggak tahu rasanya seperti apa berada di posisi Ayah, Xavier.”

“Aku enggak mau tahu, Yah. Sama seperti Ayah yang enggak pernah mau tahu perasaan orang lain. Ayah selalu mementingkan diri sendiri. Memikirkan kesenangan Ayah sendiri. Dunia ini terlalu luas dan Ayah berpikir bahwa Ayahlah pusatnya? Benar-benar lelucon,” cecar Xai. Sebelum pergi, dia lalu melanjutkan, “Dan namaku Xai. Kupikir kita sudah sepakat soal itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Dimulai dari Nol

    “Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Menata Hidup yang Baru

    Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Gone Not Around Any Longer

    Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Masalah Baru

    Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Terkulai tapi Tak Layu

    Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi

  • Besar Kema(l)uan dari Kemampuan   Membuat Kenangan yang Tak Telupakan Bersama Roya

    Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status