Share

Mendadak Cerai

“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.

“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.

“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”

“Jangan!”

Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan itu terdapat sebuah nanas rekaan berukuran besar yang letaknya terlalu miring. Aku menarik tuas gas agar melaju lebih cepat. Lewat kaca spion kulirik apakah nanas besar itu jatuh atau masih di tempatnya. Membuat cemas saja.

Aku terus maju sampai mendapati sebuah patung kuda yang berbaris, lalu berbelok ke kanan karena jalan itu tampak ramai daripada jalan yang lain. Perjalananku terpaksa berhenti sejenak ketika aku melihat mesin ATM yang berbaris di sisi kiri jalan. Aku tidak bawa uang tunai—lupa minta pada Rati tadi—dan bensin motor baruku nyaris habis.

Setelah mengambil uang, aku baru menyadari sesuatu. Ada sebuah pusat kebugaran di atas kafe yang bersisian langsung dengan barisan mesin ATM. Memang benar dugaanku kemarin. Kota ini sudah cukup maju untuk disebut sebagai kota kecil. Dengan barisan gedung dan ruko bertingkat di sepanjang jalan saja aku bisa salah mengira bahwa aku masih berada di pinggiran Jakarta, sekarang aku malah melihat sebuah pusat kebugaran dengan peralatan yang terbilang lengkap.

Kota kecil ini memang jauh berbeda dengan kampung tempat kami tinggal sekarang yang juga tempat sekolah Rati bekerja. Kampung itu berada di kabupaten yang terpisah dengan kota kecil ini. Dan kabupaten itu masih terbilang baru sehingga pembangunan masih belum merata.

Aku masih heran dibuatnya. Bagaimana bisa hanya dengan kurang dari setengah jam perjalanan, aku bisa berada di dua daerah yang begitu bertolak belakang. Memang, jika mengingat pengalamanku di Jakarta, antara gedung perkantoran dan perumahan elit kadang hanya dipisahkan oleh tembok batako tipis dengan pemukiman warga biasa. Namun, yang satu ini perbedaannya terasa cukup jauh.

Kalau aku ingat-ingat lagi, lima belas tahun pertama hidupku kuhabiskan di kota kecil, yang bahkan lebih kecil daripada kota ini, jauh ke utara pulau Sumatera. Aku merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah SMA di sana. Namun, baru beberapa bulan sekolah, aku bertemu Rati yang menempati kamar indekos di sebelahku. Karena rupanya kami sama-sama berasal dari kampung halaman yang sama, aku dan Rati langsung jadi dekat. Terlalu dekat sampai kami punya anak di umur lima belas dan sembilan belas tahun.

Kehadiran Xai yang tidak terduga menjadi awal dari banyak hal tidak terduga lainnya. Aku terpaksa berhenti sekolah karena orangtuaku yang kecewa tidak mau membiayai hidupku lagi. Mereka bahkan memutuskan untuk berhenti menganggapku sebagai anak. Aku harus mencari uang untuk bertahan hidup hanya dengan bermodal ijazah SMP.

Satu-satunya tempat yang mau menerima aku bekerja saat itu adalah sebuah tempat karaoke. Di sana, aku menjadi pramusaji yang mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh para tamu. Aku tidak ingat berapa lama persisnya, tetapi masa kerjaku di sana berakhir setelah aku bertemu dengan Pak Rajesh. Lelaki paruh baya keturunan India itu sedang bertemu calon bintang yang akan dikenalkan padanya. Begitu aku masuk ke bilik karaoke tempat mereka melakukan rapat, Pak Rajesh memintaku diam di tempat dan menyandingkan aku bersisian dengan si calon bintang.

“Besok kalian berdua datang ke tempatku, tidak perlu casting. Akan langsung aku orbitkan kalian berdua,” putusnya saat itu.

Tentu saja, hidupku tidak akan berjalan semulus itu. Ketika aku datang ke lokasi yang dipinta oleh Pak Rajesh, beliau sendiri yang langsung menemuiku untuk meminta maaf. Dia bilang, calon lawan mainku kemarin menolak dan meminta lawan main yang selevel dengannya. Namun, Pak Rajesh berjanji tetap akan memakaiku meski hanya dengan peran kecil.

Aku jadi bertanya-tanya. Setelah hampir seminggu aku menghilang dari produksi, kenapa Pak Rajesh belum menghubungiku. Apa dia sudah tahu aku pindah ke sini lalu marah padaku? Salahku juga karena tidak sempat berpamitan dengannya secara layak, padahal dia sudah berjasa banyak dalam hidupku.

Karena penasaran, aku nekat naik ke atas pusat kebugaran itu lewat pintu kecil di sudut bangunan. Di sana, aku disambut oleh seorang cewek berambut lurus sebahu. Matanya tidak berkedip memandangiku bahkan setelah aku berdiri di hadapannya, dipisahkan oleh sebuah meja resepsionis yang tinggi.

“Mau gabung jadi anggota, Kak? Eh, Om? Eh, Mas?” Cewek itu tergagap saat menanyaiku.

“Abang saja, kau boleh panggil aku Abang,” ucapku dengan nada bercanda. “Berapa biayanya?”

Cewek itu lantas menunjukkan formulir yang memuat pilihan paket keanggotaan di bagian atasnya. “Kalau Abang gabung sekarang juga, aku bisa kasih diskon orang dalam,” bisiknya.

Aku amati wajahnya, mencoba mencari tahu apakah dia sedang berusaha menjebakku atau memang serius. Tak ada jejak keisengan di wajahnya, maka aku pun mengangguk, menerima tawarannya untuk mengambil diskon orang dalam yang dia maksud.

“Silakan isi formulirnya,” ucapnya kemudian.

Setelah selesai mengisi lalu membayar, aku pun mengucapkan terima kasih padanya.

“Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya jadi bisa lihat wajah tampan Abang setiap hari,” katanya dengan ekspresi serius yang sama.

Aku hendak menanggapinya, tetapi niatku itu bisa kulakukan besok-besok. Toh, aku sudah jadi anggota di pusat kebugaran ini dan bebas datang lagi kapan saja. Selama menuruni tangga, aku membulatkan tekadku pada satu hal. Aku harus kembali ke Jakarta dalam kondisi yang lebih prima dan menjual. Belakangan ini pemeran utama harus terlihat bugar karena yang seperti itu lebih disukai oleh penonton.

Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan tamu yang duduk di ruang depan. Kenapa tiba-tiba banyak sekali pria asing yang datang ke rumah selama aku tidak ada? Apa memang biasanya seperti ini?

Lelaki itu berdiri untuk menyalamiku. “Saya bagian survei dari perusahaan sepeda motor yang kemarin dibeli oleh Mbak Rati,” jelasnya sambil memperlihatkan tanda pengenal yang tergantung di lehernya.

“Ada perlu apa? Saya pikir istri saya beli kontan kemarin.”

“Istri?”          

“Mantan istri!” sahut Rati dari dapur. Dia datang dengan tergopoh-gopoh, membawa nampan berisi air minum untuk tamunya ini. “Dia pernah menikah sama saya, tapi kami sudah berpisah.”

“Mantan istri? Sudah berpisah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status