Home / Romansa / Better Without You / Chapter 5 - Pengkhianatan

Share

Chapter 5 - Pengkhianatan

Author: Putri Wahyuni
last update Last Updated: 2022-02-15 21:09:30

Setelah aku memberitahu Papa dan mengetahui keputusannya yang tidak menyetujui hubunganku dengan Rafael, rasanya aku kehilangan harap. Namun tetap saja aku tidak boleh untuk menyerah.

Bagaimana pun juga, aku dan Rafael sudah berjanji untuk bersama ke jenjang yang lebih serius. Aku tidak mungkin bisa mengecewakannya yang memang sudah punya harapan itu.

Namun, semenjak aku membuka diri kepada Aqsa, aku salah melangkah dan mengkhianati Rafael. Aku memilih untuk mendekatkan diri lagi dengan Aqsa. Seseorang yang aku kenal sebelum Rafael dan seseorang yang mungkin sering rutin bertanya mengenai kegiatanku sehari-hari. Berbeda dengan Rafael yang memang akhir-akhir ini tak selalu sempat untuk bertanya sesering itu.

Aqsa adalah kakak seniorku, kampusnya berada bersebelahan dengan kampusku. Aku kenal dengannya dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler yang seringkali bertanding dengan kampusnya.

Aku tau resiko pekerjaan Rafael sebagai pengacara memang tak mudah untuk mendapatkan banyak waktu. Mengerjakan kasus saja rasanya pikirannya sudah mulai pecah. Aku memahaminya dan tak ingin pula mengganggu waktunya. Salahnya aku, aku malah memanfaatkan itu dan memilih untuk mengkhianatinya dengan Aqsa.

Aku duduk di sebuah taman yang berada di kampusku sembari membaca materi untuk presentasi nanti "Laila, kamu lagi sibuk?" Ucap Aqsa tiba-tiba menghampiri dan mengejutkanku

"Astaga kamu ngagetin aku banget. Nggak sih kenapa?"

"Aku mau ngomong sama kamu." Ucap Aqsa serius

"Ya udah ngomong aja, mau ngomong apa? sepuluh menit lagi aku masuk kelas nih mau presentasi." Jelasku

"Kamu mau gak jadi pacar aku?" Pinta Aqsa terus terang.

"Hahahaha. Kenapa kamu pengen jadi pacar aku?" Tanyaku sembari tertawa terbahak-bahak

"Ya karna selama kita chattingan, aku ngerasa nyaman aja ngobrol sama kamu."

"Tapi kamu tau kan aku udah pacaran sama Rafael." Aku mengingatkannya

"Iya aku tau. Tapi, kamu sama dia gak bakal lama. Bahkan kamu sendiri gak yakin dengan dia, La. Hubungan kalian itu susah untuk di pertahanin. Pertama, kamu dan Rafael beda agama. Kedua, Papa kamu gak setuju. Dan ketiga, dia jarang punya waktu untuk kamu." Jelas Aqsa.

Aku memang sering menceritakan Rafael kepadanya. Dia memang sudah ku jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Namun aku masih tidak menyangka saja bahwa sikapku bisa membuatnya nyaman selama ini.

"Iyaaa. Tapi kamu gak tau kan aku sama dia tuh lagi berjuang, aku rasa kalo aku sama dia sama-sama berjuang, gak akan ada yang namanya berpisah. Dan, dia jarang punya waktu untuk aku karna kerjaannya. Kita masih kuliah jadi kita gak tau kan dunia kerja itu gimana." Aku mengomentarinya.

"Iya aku tau. Tapi sesibuk sibuknya orang yang kerja. Dia pasti akan prioritaskan orang yang dia sayang." Jawab Aqsa sembari tertawa sinis.

"Dia prioritas-in aku kok. Awal-awal juga kaya gitu. Tapi sekarang ya dia dapet beberapa klien jadi memang agak sibuk." Aku berusaha membela Rafael.

"Oke-oke. Just put him aside. Sekarang fokus antara aku dan kamu. Gimana? Kamu mau jadi pacar aku? Mungkin aku bisa buat kamu lebih nyaman dari dia. Ya memang aku belum kerja, tapi beberapa bulan lagi kan aku lulus." Ucap Aqsa dengan yakin

"Oke. Aku terima kamu." Jawabku santai

"Serius, La?" Tanya Aqsa tidak yakin

"Iyaaa."

"Finally. Thanks yaaaaa. I love you, La. Aku bakal buktiin ke kamu kalo Rafael bukan yang terbaik."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku tipe orang yang tidak bisa mengatakan ‘I love you’ dengan gampangnya kepada orang yang memang belum kucintai.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku dan sudah menunjukkan tepat pukul dua siang "Oh iya, udah jam dua nih. Aku masuk dulu ya. Kamu gak balik ke kampus kamu?"

"Okee. Good luck presentasinya, La. Ini aku mau balik. See you soon!!"

"Okee. See you. Hati-hati."

"Yailah, kampus cuma di samping doang pake hati-hati." Ucap Aqsa mengolok

"Ya kali aja kan ntar kamu sampe depan tiba-tiba kesandung. Udah ah aku udah telat. Bye."

***

Aku menjalin hubungan bersama Aqsa hanya sampai dua minggu saja. Selama dua minggu itu aku selalu di hantui dengan perasaan bersalah apalagi jika aku bertemu dengan Rafael.

Aku tak sanggup untuk mengkhianatinya sedikit pun. Aku harusnya sudah menerima Rafael apapun itu profesinya yang membuat Rafael tak bisa menghubungiku setiap saat. Harusnya aku menerima itu. Setelah dua minggu itu, aku memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan Aqsa

Aku tengah melamun di kelas dan tidak memperhatikan dosen sedikit pun "Woi, ngelamun mulu lo. Lo kenapa sih?" Dina mengejutkanku dari lamunan.

"Ngagetin banget sih, lo." Aku menghela napas "Gue selingkuhin Rafael selama dua minggu ini sama Aqsa. Dan, gue ngerasa bersalah banget sama Rafael. Gue mau mutusin hubungan gue sama Aqsa tapi gue bingung ngomong ke dia gimana. Soalnya dia memang gak ada salah apa-apa sih. Salah banget gue nerima dia." Ucapku frustrasi.

"Oh Aqsa. iya gue tau." Ucap Dina singkat

"Lah lo tau darimana?" Tanyaku membelalakkan mata.

"Ya kita semua udah tau. Aqsa kan ngasi tau ke temen-temennya di kampus kalo dia pacaran sama lo. Sebenarnya tuh dia pengen nunjukin aja ke temen-temennya kalo dia bisa dapetin cewe di kampus kita. You know? Kind of--- taruhan gitu." Ucap Dina tertawa sinis.

"Ya lagian lu jangan polos-polos banget kali, La. Mana ada sih orang mau di jadiin selingkuhan." Sambung Aurora

"Ya ada lah. Kalo gak mah gak ada yang namanya pelakor." Ucap April menyambung

"Ya itu beda kali nyet!" Seru Dina

"Ooh jadi tujuan dia itu. Yaudah gue emang udah bener mutusin dia." Aku memegang kepalaku dan tampak kesal dengan diriku sendiri "Haaa rasanya aku mau nangis udah mengkhianati orang sebaik Rafael." Ucapku kesal.

"Udah gak papa itu mah. Ya biasa itu karna memang kita belum terbiasa pacaran sama orang yang udah kerja. Jadi kadang suka cari pelampiasan." Jawab April.

Setelah perkuliahanku selesai, aku menunggu Aqsa di salah satu coffee shop kampus untuk memutuskan hubungan dengannya.

"Laila, sorry ya lama. Kamu udah lama disini?" Ucap Aqsa panik

"Oh nggak kok santai aja." Jawabku singkat.

"Kamu udah pesen?"

"Udah nih." Aku menunjukkan es kopi susu yang ada di hadapanku

"Toast-nya enak loh disini. Aku pesenin ya."

Aku menggenggam tangan Aqsa untuk menghentikannya menuju ke kasir "Gak usah. Aku udah kenyang banget.”

Aqsa memberikan senyum kepadaku dan dia pun bergegas duduk "Oh iya kamu mau ngomong apa?"

"Aku gak bisa lanjutin hubungan kita." Ucapku dengan singkat, padat, dan jelas

"Lah kenapa? Bukannya kita baik-baik aja?" Aqsa menatapku dengan tatapan serius dan juga terlihat sangat kesal "Oh-- Rafael masih buat kamu nyaman?" Dia tertawa sinis "Ya wajar dong. Kita baru pacaran selama dua minggu, La. Jadi aku butuh waktu. Sementara kamu udah pacaran selama lima bulan kan sama Rafael?"

"Bukan itu masalahnya." Aku menghela napas

"Terus?" Tatap Aqsa sinis

Aku menceritakan rumor tujuan Aqsa untuk memiliki hubungan denganku hanya sebatas ingin berpacaran dengan orang-orang di kampusku saja "Astaga, La. Gak kaya gitu. Oke di awal aku memang punya niat kaya gitu. Tapi sekarang nggak, La. Sama sekali nggak. Justru aku sayang banget sama kamu. Please percaya aku." Ucap Aqsa memohon dengan tatapan nanar

"I can't. Aku gak mau salah ambil keputusan. Aku juga udah salah banget khianatin Rafael.  Aku merasa bersalah banget dengan dia, Aqsa. Aku minta maaf ya aku gak bisa."

Aku pun memegang tangan Aqsa dan menjelaskan kembali perasaanku "Kita masih bisa temenan kaya dulu, Aqsa. Dan kamu harus inget, kita mungkin memang pernah ngerasa untuk pengen pacaran sama anak kampus lain. Tapi, itu hanya sekedar menunjukkan ke orang-orang aja kan? Belum tentu kita memang nyaman ngejalaninya. Jadi jangan kaya gitu lagi ya. Aku rasa kamu lebih paham akan hal itu.” Ucapku sembari memberikan senyum

"Iya aku tau, La. Tapi aku ngomong jujur sama kamu. Awalnya mungkin memang iya. Tapi aku udah nyaman sama kamu dan aku memang bener-bener sayang sama kamu."

"Iya aku tau. Memang niat awal itu bisa merubah semuanya. Kaya dulu aku niat awalnya pacaran sama Rafael cuma karna aku kesepian, tapi sekarang aku udah benar-benar sayang sama dia. Aku tau posisi kamu sekarang gimana." Tidak sadar aku pun meneteskan air mata saat menyebutkan nama Rafael

"Tapi-- aku memang gak bisa ngelanjutin hubungan kita. Aku minta maaf ya, Aqsa."

Aqsa menatapku dengan tatapan kecewa dan bergegas berdiri dari duduknya "It's okay. Aku pergi dulu ya, La. Aku butuh waktu." Jelas Aqsa dan langsung pergi meninggalkanku tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Better Without You   Extra Part III

    Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin

  • Better Without You   Extra Part II

    “Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.

  • Better Without You   Extra Part I

    Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.

  • Better Without You   Chapter 49 - Better Without You

    Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.

  • Better Without You   Chapter 48 - Katarsis

    Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m

  • Better Without You   Chapter 47 - Laki-laki yang Tepat

    Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status