Setelah aku memberitahu Papa dan mengetahui keputusannya yang tidak menyetujui hubunganku dengan Rafael, rasanya aku kehilangan harap. Namun tetap saja aku tidak boleh untuk menyerah.
Bagaimana pun juga, aku dan Rafael sudah berjanji untuk bersama ke jenjang yang lebih serius. Aku tidak mungkin bisa mengecewakannya yang memang sudah punya harapan itu.
Namun, semenjak aku membuka diri kepada Aqsa, aku salah melangkah dan mengkhianati Rafael. Aku memilih untuk mendekatkan diri lagi dengan Aqsa. Seseorang yang aku kenal sebelum Rafael dan seseorang yang mungkin sering rutin bertanya mengenai kegiatanku sehari-hari. Berbeda dengan Rafael yang memang akhir-akhir ini tak selalu sempat untuk bertanya sesering itu.
Aqsa adalah kakak seniorku, kampusnya berada bersebelahan dengan kampusku. Aku kenal dengannya dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler yang seringkali bertanding dengan kampusnya.
Aku tau resiko pekerjaan Rafael sebagai pengacara memang tak mudah untuk mendapatkan banyak waktu. Mengerjakan kasus saja rasanya pikirannya sudah mulai pecah. Aku memahaminya dan tak ingin pula mengganggu waktunya. Salahnya aku, aku malah memanfaatkan itu dan memilih untuk mengkhianatinya dengan Aqsa.
Aku duduk di sebuah taman yang berada di kampusku sembari membaca materi untuk presentasi nanti "Laila, kamu lagi sibuk?" Ucap Aqsa tiba-tiba menghampiri dan mengejutkanku
"Astaga kamu ngagetin aku banget. Nggak sih kenapa?"
"Aku mau ngomong sama kamu." Ucap Aqsa serius
"Ya udah ngomong aja, mau ngomong apa? sepuluh menit lagi aku masuk kelas nih mau presentasi." Jelasku
"Kamu mau gak jadi pacar aku?" Pinta Aqsa terus terang.
"Hahahaha. Kenapa kamu pengen jadi pacar aku?" Tanyaku sembari tertawa terbahak-bahak
"Ya karna selama kita chattingan, aku ngerasa nyaman aja ngobrol sama kamu."
"Tapi kamu tau kan aku udah pacaran sama Rafael." Aku mengingatkannya
"Iya aku tau. Tapi, kamu sama dia gak bakal lama. Bahkan kamu sendiri gak yakin dengan dia, La. Hubungan kalian itu susah untuk di pertahanin. Pertama, kamu dan Rafael beda agama. Kedua, Papa kamu gak setuju. Dan ketiga, dia jarang punya waktu untuk kamu." Jelas Aqsa.
Aku memang sering menceritakan Rafael kepadanya. Dia memang sudah ku jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Namun aku masih tidak menyangka saja bahwa sikapku bisa membuatnya nyaman selama ini.
"Iyaaa. Tapi kamu gak tau kan aku sama dia tuh lagi berjuang, aku rasa kalo aku sama dia sama-sama berjuang, gak akan ada yang namanya berpisah. Dan, dia jarang punya waktu untuk aku karna kerjaannya. Kita masih kuliah jadi kita gak tau kan dunia kerja itu gimana." Aku mengomentarinya.
"Iya aku tau. Tapi sesibuk sibuknya orang yang kerja. Dia pasti akan prioritaskan orang yang dia sayang." Jawab Aqsa sembari tertawa sinis.
"Dia prioritas-in aku kok. Awal-awal juga kaya gitu. Tapi sekarang ya dia dapet beberapa klien jadi memang agak sibuk." Aku berusaha membela Rafael.
"Oke-oke. Just put him aside. Sekarang fokus antara aku dan kamu. Gimana? Kamu mau jadi pacar aku? Mungkin aku bisa buat kamu lebih nyaman dari dia. Ya memang aku belum kerja, tapi beberapa bulan lagi kan aku lulus." Ucap Aqsa dengan yakin
"Oke. Aku terima kamu." Jawabku santai
"Serius, La?" Tanya Aqsa tidak yakin
"Iyaaa."
"Finally. Thanks yaaaaa. I love you, La. Aku bakal buktiin ke kamu kalo Rafael bukan yang terbaik."
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku tipe orang yang tidak bisa mengatakan ‘I love you’ dengan gampangnya kepada orang yang memang belum kucintai.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku dan sudah menunjukkan tepat pukul dua siang "Oh iya, udah jam dua nih. Aku masuk dulu ya. Kamu gak balik ke kampus kamu?"
"Okee. Good luck presentasinya, La. Ini aku mau balik. See you soon!!"
"Okee. See you. Hati-hati."
"Yailah, kampus cuma di samping doang pake hati-hati." Ucap Aqsa mengolok
"Ya kali aja kan ntar kamu sampe depan tiba-tiba kesandung. Udah ah aku udah telat. Bye."
***
Aku menjalin hubungan bersama Aqsa hanya sampai dua minggu saja. Selama dua minggu itu aku selalu di hantui dengan perasaan bersalah apalagi jika aku bertemu dengan Rafael.
Aku tak sanggup untuk mengkhianatinya sedikit pun. Aku harusnya sudah menerima Rafael apapun itu profesinya yang membuat Rafael tak bisa menghubungiku setiap saat. Harusnya aku menerima itu. Setelah dua minggu itu, aku memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan Aqsa
Aku tengah melamun di kelas dan tidak memperhatikan dosen sedikit pun "Woi, ngelamun mulu lo. Lo kenapa sih?" Dina mengejutkanku dari lamunan.
"Ngagetin banget sih, lo." Aku menghela napas "Gue selingkuhin Rafael selama dua minggu ini sama Aqsa. Dan, gue ngerasa bersalah banget sama Rafael. Gue mau mutusin hubungan gue sama Aqsa tapi gue bingung ngomong ke dia gimana. Soalnya dia memang gak ada salah apa-apa sih. Salah banget gue nerima dia." Ucapku frustrasi.
"Oh Aqsa. iya gue tau." Ucap Dina singkat
"Lah lo tau darimana?" Tanyaku membelalakkan mata.
"Ya kita semua udah tau. Aqsa kan ngasi tau ke temen-temennya di kampus kalo dia pacaran sama lo. Sebenarnya tuh dia pengen nunjukin aja ke temen-temennya kalo dia bisa dapetin cewe di kampus kita. You know? Kind of--- taruhan gitu." Ucap Dina tertawa sinis.
"Ya lagian lu jangan polos-polos banget kali, La. Mana ada sih orang mau di jadiin selingkuhan." Sambung Aurora
"Ya ada lah. Kalo gak mah gak ada yang namanya pelakor." Ucap April menyambung
"Ya itu beda kali nyet!" Seru Dina
"Ooh jadi tujuan dia itu. Yaudah gue emang udah bener mutusin dia." Aku memegang kepalaku dan tampak kesal dengan diriku sendiri "Haaa rasanya aku mau nangis udah mengkhianati orang sebaik Rafael." Ucapku kesal.
"Udah gak papa itu mah. Ya biasa itu karna memang kita belum terbiasa pacaran sama orang yang udah kerja. Jadi kadang suka cari pelampiasan." Jawab April.
Setelah perkuliahanku selesai, aku menunggu Aqsa di salah satu coffee shop kampus untuk memutuskan hubungan dengannya.
"Laila, sorry ya lama. Kamu udah lama disini?" Ucap Aqsa panik
"Oh nggak kok santai aja." Jawabku singkat.
"Kamu udah pesen?"
"Udah nih." Aku menunjukkan es kopi susu yang ada di hadapanku
"Toast-nya enak loh disini. Aku pesenin ya."
Aku menggenggam tangan Aqsa untuk menghentikannya menuju ke kasir "Gak usah. Aku udah kenyang banget.”
Aqsa memberikan senyum kepadaku dan dia pun bergegas duduk "Oh iya kamu mau ngomong apa?"
"Aku gak bisa lanjutin hubungan kita." Ucapku dengan singkat, padat, dan jelas
"Lah kenapa? Bukannya kita baik-baik aja?" Aqsa menatapku dengan tatapan serius dan juga terlihat sangat kesal "Oh-- Rafael masih buat kamu nyaman?" Dia tertawa sinis "Ya wajar dong. Kita baru pacaran selama dua minggu, La. Jadi aku butuh waktu. Sementara kamu udah pacaran selama lima bulan kan sama Rafael?"
"Bukan itu masalahnya." Aku menghela napas
"Terus?" Tatap Aqsa sinis
Aku menceritakan rumor tujuan Aqsa untuk memiliki hubungan denganku hanya sebatas ingin berpacaran dengan orang-orang di kampusku saja "Astaga, La. Gak kaya gitu. Oke di awal aku memang punya niat kaya gitu. Tapi sekarang nggak, La. Sama sekali nggak. Justru aku sayang banget sama kamu. Please percaya aku." Ucap Aqsa memohon dengan tatapan nanar
"I can't. Aku gak mau salah ambil keputusan. Aku juga udah salah banget khianatin Rafael. Aku merasa bersalah banget dengan dia, Aqsa. Aku minta maaf ya aku gak bisa."
Aku pun memegang tangan Aqsa dan menjelaskan kembali perasaanku "Kita masih bisa temenan kaya dulu, Aqsa. Dan kamu harus inget, kita mungkin memang pernah ngerasa untuk pengen pacaran sama anak kampus lain. Tapi, itu hanya sekedar menunjukkan ke orang-orang aja kan? Belum tentu kita memang nyaman ngejalaninya. Jadi jangan kaya gitu lagi ya. Aku rasa kamu lebih paham akan hal itu.” Ucapku sembari memberikan senyum
"Iya aku tau, La. Tapi aku ngomong jujur sama kamu. Awalnya mungkin memang iya. Tapi aku udah nyaman sama kamu dan aku memang bener-bener sayang sama kamu."
"Iya aku tau. Memang niat awal itu bisa merubah semuanya. Kaya dulu aku niat awalnya pacaran sama Rafael cuma karna aku kesepian, tapi sekarang aku udah benar-benar sayang sama dia. Aku tau posisi kamu sekarang gimana." Tidak sadar aku pun meneteskan air mata saat menyebutkan nama Rafael
"Tapi-- aku memang gak bisa ngelanjutin hubungan kita. Aku minta maaf ya, Aqsa."
Aqsa menatapku dengan tatapan kecewa dan bergegas berdiri dari duduknya "It's okay. Aku pergi dulu ya, La. Aku butuh waktu." Jelas Aqsa dan langsung pergi meninggalkanku tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab.
Di malam yang kiranya tampak sendu itu, aku menatap Rafael dengan tatapan dusta. Seorang perempuan yang dia cintai ternyata mampu menyembunyikan pengkhianatan.Rasanya aku menjadi wanita pengecut jika tidak memberitahunya bahwa aku pernah menduakan Rafael. Walaupun aku sudah memutuskan hubungan dengan Aqsa, tetap saja hati ini tak tega menyembunyikan pengkhianatan itu.Aku yang sedang duduk di hadapannya semakin merasa bersalah. Tak sanggup sedikit pun menatap wajahnya karna kesalahanku. Tapi apa pun keputusan Rafael, aku tetap harus memberitahunya dan bertanggung jawab atas kesalahanku."Rafael--""Iya, sayang?" Ucap Rafael yang hanya fokus di layar laptopnya tanpa menatapku"Aku mau nanya deh." Tanyaku ragu"Nanya apa nih? Aku sambil kerja gapapa ya?""Iya tapi kamu dengerin ya.""Iya. Aku bisa multitasking kok." Jawabnya sombong sembari tertawa."Hmm--" Aku masih berpikir dari mana harus memulai percakapan ini "Jadi,
"Gue kesel banget sama pacar gue!!! Pengen banget bisa punya pacar kaya Rafael." Ucap Dina kesal. Aku dan teman-temanku yang baru saja pulang dari kampus dan duduk di ruang tamu apartemen, terkejut mendengar Dina mengatakan hal itu setelah dia sibuk menatap layar ponselnya. Aku tak tahu apa yang terjadi antara Dina dengan pacarnya. Tapi yang pasti dia memang sedang tidak baik-baik saja dengan air matanya yang sudah mulai menetes begitu saja. "Lo kenapa sih? Kok nangis?" Aku mencoba memberanikan diri untuk sekedar menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun jauh dari lubuk hatiku aku merasa tak punya hak menanyakan privasinya. Sementara temanku yang lain hanya mengulang pertanyaanku "Iya, kenapa sih?" "Gue udah pacaran sama Dodi selama enam tahun, guys. Dari SMA. Tapi kelakuan dia gak pernah berubah sampe sekarang." Jawab Dina kecewa "Kelakuan dia kenapa emang?" Tanya April memastikan. Dina menghela napas dan seakan menahan tangis
Tak terasa sudah delapan bulan aku bersama Rafael, aku semakin khawatir dengan sikapnya beberapa bulan yang lalu karena tiba-tiba gugup ketika aku memegang ponselnya.Aku benar-benar penasaran dengan tingkahnya seperti itu. Apakah dia selingkuh? Semenjak kejadian itu, otakku terus bertanya-tanya mengenai sikapnya. Bahkan aku berpikir Rafael akan balas dendam karena aku pernah mengkhianatinya.Aku sudah sangat lelah berharap dan menerka-nerka. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk menghilangkan pikiran negatifku kepada Rafael. Aku mencoba memahami hal tersebut dan berharap suatu saat dia bisa lebih terbuka denganku.Waktu itu, aku mencoba untuk tidak meninggalkan Rafael. Aku tetap berjuang demi hubungan kami. Mungkin memang waktu yang masih belum memungkinkan untuk Rafael terbuka dengan semua privasinya. Aku tidak ingin gegabah mengambil keputusan seperti keputusanku yang salah telah mengkhianatinya dulu.(WazzApp Notification - Aurora)
Hari itu, hari yang telah aku nantikan. Menantikan momen bahagia yang akan aku berikan kepada Rafael. Aku menghampiri apartemennya dengan membawa gift dan kue tart coklat dengan tulisan Happy Birthday di atasnya.Aku sengaja menitipkan barang-barang itu di lobi apartemen Rafael agar surprise yang akan aku berikan kepadanya berhasil sesuai dengan rencanaku.tok... tok... tok...Rafael membuka pintu apartemen dan tampaknya dia baru saja bangun dari tidurnya "Hai sayang. Masih jam delapan. Kok tiba-tiba kesini pagi-pagi banget? Ayo masuk" UcapnyaAku pun melangkahkan kaki untuk memasuki apartemennya "Aku suntuk aja di apartemen. Lagian hari ini kan minggu, jadi aku mikirnya kamu emang lagi di apartemen jadi aku gak bilang deh. Kamu mandi gih, aku mau nonton netflix bareng nih. Ntar kita cari sarapan dulu.""Iya bawel. Ini aku mau mandi." Ucap Rafael sembari mencubit pipiku.Saat Rafael tengah berada di kamar
Setelah memberi Rafael beberapa birthday gift, aku dan Rafael memutuskan untuk dinner di sebuah rooftop yang berada di Jakarta Selatan. Ya, rooftop diatas gedung pencakar langit memang selalu menjadi tempat favoritku bersamanya. Aku dan Rafael memilih untuk pergi ke salah satu rooftop bernuansa casual. Ya, aku dan Rafael ingin mengunjungi rooftop yang belum pernah kami kunjungi, sebuah rooftop yang tidak terlalu ramai dengan menyuguhkan ornamen kayu yang tampak elegan. Saat sampai di rooftop, aku memilih untuk duduk di sofa yang terletak di pinggir-pinggir ruang yang langsung menghadap kearah pemandangan Kota Jakarta dengan gemerlap lampu yang berada di seluruh gedung-gedung tinggi yang mengelilingi rooftop ini. "Orang yang punya bisnis ini pasti income-nya gede banget, ya." Ucap Rafael saat aku masih menikmati suasana rooftop dengan matahari yang mulai tenggelam. "Kamu selalu aja lihat income kemanapun." Ucapku dengan tertawa kecil. "Iya dong. Kita harus wajib melek dengan dunia
Beberapa hari setelah ulang tahun Rafael. Aku merasa hubungan kami tidak akan memiliki titik terang. Ya, hubungan kami memang tidak di ketahui oleh orangtua. Namun, mengapa teman-teman Rafael pun tidak ada yang mengetahui kecuali Faris?Aku bukan menduga. Namun aku bisa melihat dari respon teman-teman Rafael yang sepertinya tidak tahu jika saat ini Rafael sedang menjalin hubungan denganku. Hal itu terlihat jelas dari komentar yang mereka berikan saat Rafael mengunggah foto di Anstagram.Ya, tepatnyapostinganitu diunggah Rafael saat Rafael ingin pergi keluar kota beberapa hari yang lalu.“Wah! Rafael ulang tahun. Happy birthday! Jangan lama-lama jomblo.”“Semoga lo bisa cepet dapet pacar ya, Bro.”Aku mencoba untuk menanyakan hal itu kepada Rafael. Apakah dia serius menjalani hubungan denganku? Apakah aku hanya selirnya? Mengapa sampai saat ini hubungan kami berdua seperti dihalan
Aku sedang berada di suatu ruangan auditorium kampusku, memoles wajah layaknya suku indian atau orang-orang mengenalnya dengan sebutan ‘Native American in The United States’. "Laila." Sutradaraku memanggil dan aku pun menoleh ke belakang. "Iya, Mas?" Tanyaku "Ini script kamu ya. Pelajari. Lawan main kamu Brian." Aku mengikuti ekstrakurikuler theater di kampus. Hari ini aku mengikuti casting dan mencoba berperan untuk memainkan tokoh utama bersama Brian, juniorku. Aku dan Brian berperan sebagai sepasang kekasih. Cerita yang kami perankan pun menceritakan perkelahian yang terjadi di antara kedua kerajaan sampai Brian seolah terbunuh di depanku. Berdasarkan script yang sudah kami pahami. Aku menghampiri Brian, menyandarkan kepalanya di pangkuanku dan seolah-olah menangis karena sang kekasih hati pergi meninggalkanku begitu saja. Aku pun dituntut untuk mengusap kepala Brian dengan lembut.
Sebelum aku tampil di acara theater waktu itu, Rafael berjanji akan menemaniku membeli perlengkapan untuk acara theater nanti. Aku pun menunggunya di kampus setelah latihan selesai di ruangan auditorium. Ya, aku menunggu Rafael selama hampir satu jam. Benar-benar membosankan dan sedikit demi sedikit rasa kantuk pun mulai menghampiriku.WazzApp Notification (Rafael)"Sayang, maaf aku gak bisa temenin kamu." -Rafael"Lah kenapa?" -Laila"Aku baru banget kelar meeting." -Rafael"Yaudah gapapa aku tungguin." -Laila"Tapi tiba-tiba Mbak Tika ngajakin aku nonton. Aku gak enak nolaknya." -Rafael"Ya bilang aja kamu pergi sama temen. Kenapa sih harus banget nurutin dia, udah kaya tante-tante kesepian aja deh." -Laila"Jangan gitu, sayang. Dia kakak aku." -Rafael"Yaudah deh kalo gitu." -LailaAku selalu bertanya-tanya mengap