Tidak terasa Aku dan Rafael sudah menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih selama tiga bulan. Menurutku sudah sangat wajar jika aku memberitahu hubungan ini kepada orangtuaku.
Hari ini adalah waktu yang biasanya aku gunakan untuk kembali ke rumah. Ya, hari Sabtu. Aku memang memilih untuk tinggal di apartemen karena jarak rumah yang sangat jauh dari Universitasku.
Saat tiba di rumah, aku pun memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Papa. Aku menghampiri Papa yang tengah duduk di ruang TV yang terlihat tengah asik memainkan ponselnya.
"Laila, Papa gak bisa lihat kamu memiliki hubungan dengan orang yang jelas-jelas berbeda dengan kita." Ucap Papa tegas.
"Tapi, Pa. Laila udah sayang dengan Rafael. Baru Rafael lelaki yang benar-benar memperlakukan Laila seakan cuma Laila wanita yang ada di dunia ini." Aku berkomentar
"Itu cuma sesaat, La. Cowo tuh egois. Papa yakin dia awal-awal aja begitu dengan kamu. Papa gak mau tau, kamu harus mutusin hubungan dengan Rafael. Dan, dalam bulan ini kamu harus putusin dia." Ucap Papa tegas dan langsung bergegas keluar dari rumah.
Mendengar keputusan Papa, aku menangis tersedu dan bertanya-tanya. Mengapa saat ada seseorang yang begitu menyayangiku dengan tulus harus ada penghalang seperti ini. Dan mengapa disaat orang yang datang kepadaku hanya untuk singgah sebentar justru tidak ada penghalang sama sekali.
Mengapa aku dan Rafael harus berbeda? Apa salahnya jika Aku dan Rafael berbeda keyakinan. Justru kami memiliki pemikiran yang sejalan dan saling mengerti satu sama lain. Aku bingung aku harus memutuskan apa untuk saat ini.
Aku bergegas ke kamar dan menelpon Rafael untuk mengatakan keputusan Papa.
"La, aku udah bilang kan. Ini tuh belum waktunya untuk ngomong tentang hubungan kita ke orangtua. Sekarang jadinya malah kaya gini ini kan, La?" -Rafael
"Mau gimana lagi dan mau ngomong kapan lagi, Raf? Aku ngejalani hubungan kita selama tiga bulan ini rasanya gak nyaman kalo terus terusan backstreet. Mau sampe kapan?" -Laila
"Iyaa aku tau. Tapi sekarang nyata nya apa? Papa kamu begini kan ke aku? Malah Papa kamu nyuru kamu buat putusin aku" -Rafael
"Iyaaa bagus, Raf. Setidaknya aku berani buat keputusan untuk ngomong sekarang dan aku tau keputusan papa. A—” -Laila
"Setelah kamu tau keputusan Papa kamu? Kamu bakal apa?" -Rafael
"Ya aku bakal tau kedepannya bakal gimana untuk mempertahankan hubungan kita. Gak kaya kamu yang katanya mau berjuang tapi sampai detik ini kamu gak ngomong ke orangtua kamu, padahal kamu sendiri yang dari awal ngomong kamu bakal perjuangin hubungan kita." -Laila
"La, kamu ngertiin aku dong! Mama aku lagi sakit. Aku gak bisa ngomong tentang hubungan ini sekarang. Kan kamu tau itu, La." -Rafael
***
Malam itu, aku bertengkar hebat dengan Rafael dan aku tidak membalas pesannya selama dua hari sampai Rafael mencari dan menanyakanku kepada teman dan sepupuku.
Mungkin aku memang egois dan terbawa suasana malam itu dan aku pun memutuskan untuk membalas pesan dan menelponnya.
"Raf. Maaf ya aku marah-marah dua hari yang lalu, mungkin aku kebawa suasana dan aku minta maaf juga aku baru ngehubungi kamu soalnya aku butuh waktu" -Laila
"iyaaa. Gapapa, sayanggg, aku tau kok kamu kesel dan marah. Aku juga minta maaf kalo sampai detik ini aku belum melangkah untuk perjuangin hubungan ini." -Rafael
"Udah kamu ga perlu minta maaf, mungkin bener kata kamu. Aku nya aja yang terlalu buru-buru.'' -Laila
Aku dan Rafael pun memutuskan menunggu sekitar beberapa bulan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orangtua kami.
Karena sudah lama tidak bertemu dan terjadi perdebatan kecil antara kami, Rafael pun seketika mengajakku untuk pergi menemaninya menyelesaikan pekerjaannya di salah satu coffee shop langganan kami berdua.
(WazzApp Notification - Rafael)
"Aku jemput kamu di kampus ya, La." -Rafael
"Kamu duluan aja. Aku masih kelas dua jam lagi, nih." -Laila
"Gapapa. Ntar kejebak macet juga bakal nyampe telat. Jangan main handphone lagi kamu. See ya" -Rafael
Aku menunggu Rafael di cafeteria kampus selama satu jam. Lalu, aku pun langsung bergegas ke parkiran.
Aku membuka pintu mobil Rafael dan seketika Rafael memberikanku bouquet bunga yang bertuliskan ''Forgive Me, Baby" dan memberikanku sebuah gelang.
Aku membelalakkan mata dengan mulut yang menganga "Raf, apa ini?" Tanyaku
Rafael pun memberikan senyum kepadaku "ini bentuk perminta maafku untuk kamu, La" jawab Rafael sementara aku masih terpaku di pintu mobilnya.
Aku menghela napas mendengar jawaban Rafael "Tapi, Raf. Kamu gak perlu ngelakuin semua ini. Hal ini bukan salah kamu sepenuh nya, Raf.” Ucapku menjelaskan
"Iya, La. Aku cuma mau kamu gak sedih. Aku rasa pemberian aku bisa buat kamu seneng lagi." Ucap Rafael dan langsung meraih tanganku "Mau sampe kapan kamu berdiri di situ?" Tanya Rafael dengan mengangkat alisnya. Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil dan mengambil bouquet bunga itu.
"Ntar habis nemenin aku kerja kita makan yuk?” Ucap Rafael sembari menyetir
“Yuk! Tapi dimana? Ada saran gak?” Tanyaku bingung
“Kamu mau ke restaurant India gak? aku kemarin nyobain makan di restaurant India dan makananya lumayan enak. Kamu kan sering banget tuh pengen cobain makanan khas India.”
"Wah! boleh tuh." Jawabku bersemangat
***
Aku merasa jenuh dengan beberapa tugas yang sudah aku kerjakan untuk laporan ujian nanti. Aku seakan tidak bisa lagi berpikir. Akhirnya, aku mengajak teman-temanku pergi untuk meluapkan penat ke salah satu café untuk menikmati live music bersama.
"Guys. Kalian lihat hp gue gak?" Tanyaku yang tengah bersusah payah mencari ponselku.
"Hp lo ketinggalan di mobil." Jawab April dengan yakin.
Aku pun langsung pergi ke parkiran mobil untuk mengambil ponsel. Seketika, ada seorang lelaki menghampiriku saat aku masih bersusah payah mencari ponselku di dalam mobil "Permisi, Mbak. Aku boleh nanya, nggak?" Tanya lelaki itu dengan ragu
"Iyaaa. Boleh. Mau nanya apa, Mas?" Tanyaku sembari membalikkan tubuhku.
"Kalo mau ke Rooftop ini lewat mana, ya?" Tanya lelaki tersebut sembari menatapku "Laila?" Ucapnya terkejut
"Aqsa!!! Kamu ngapain disini? Ya ampun kita udah lama banget gak nongkrong bareng gak, sih?" Tanyaku terkejut sembari membelalakkan mata kearah Aqsa.
"Ya mau chill aja nih biasa. Iyaa bener banget, semenjak kamu punya pacar, kamu asik sendiri." Sindirnya.
"Haha gak gitu juga yee. Oh iya tadi kamu nanya rooftop buat live music kan? Kamu langsung ke lift dan naik ke lt 12P."
“Yep. Okay, Thank you, La. Aku duluan ya." Jawab Aqsa dan aku pun mengangguk. Aku mengambil ponsel yang tertinggal di dalam mobil dan langsung bergegas kembali ke café. Ketika aku masuk kedalam lift, aku bertemu lagi dengan Aqsa didalam lift itu.
"Hai, kamu mau ke rooftop juga?" Tanya Aqsa memastikan kepadaku
"Iyaaa. Aku sama temen-temenku lagi nongkrong di rooftop itu juga."
"Oh. Join bisa kali?" Pinta Aqsa memohon
"Boleh-boleh. Lagian kamu juga udah kenal kan sama temenku" Jawabku
"Iyaaa. Kenal banget malah, La.” Jawabnya sembari terkekeh
Setelah pertemuan itu, aku berbincang dengan Aqsa selama satu bulan tanpa sepengetahuan Rafael. Terkadang aku hanya ingin menceritakan kegiatanku sehari-hari bersama Aqsa.
Mungkin karena Aqsa berstatus mahasiswa sama sepertiku jadi dia lebih paham tentang masalah perkuliahan dan pastinya masih punya banyak waktu senggang untuk mengobrol. Berbeda dengan Rafael.
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos