Share

Bab 4 : Notes Merah Jambu bagian 2

NOTES MERAH JAMBU

Bagian Dua

            Andre langsung mengambil beberapa buku dari rak, begitu dia tiba di ruang kerjanya. Dia berpacu dengan waktu. Dia butuh ide untuk bisa memunculkan sesuatu di media yang ditangani perusahaan keluarganya. Dia sudah putuskan untuk muncul di majalah dengan sebuah konsep yang dia sendiri belum tahu seperti apa konsepnya. Bayangannya sudah jelas, tapi dia belum ada gambaran sama sekali. Andre hanya bisa menargetkan itu. Tidak peduli dengan Reno yang sudah lebih dulu berjaya di berbagai media.

Bahkan dia sudah mempunyai acara televisi dengan acara yang mendapat rating cukup tinggi. Bagi Andre, sudah bisa muncul di majalah dua mingguan dengan konsep yang bisa diterima pembaca saja sudah sangat bersukur. Yang penting, target waktu dengan sebuah gebrakan di media yang bakal dipimpinnya bisa dia penuhi.

Andre memilih buku motivasi untuk menggali ide. Keputusannya sudah mulai mengerucut untuk menghadirkan sesuatu di majalah dengan sentuhan motivasi. Dia hanya butuh beberapa lembar tiap dua minggu sekali. Dan Andre pun merasa bakal sanggup untuk melakukan itu.

Andre segera tenggelam dengan satu buku pilihannya. Sepenuh hati dia coba curahkan perhatiannya pada setiap kalimat. Dia butuh inspirasi untuk membuat satu tulisan. Dibacanya buku motivasi lembar demi lembar. Bahkan tidak jarang beberapa kalimat coba dia baca berkali-kali untuk kemudian coba dia cerna. Meski Andre tahu persis apa makna kalimat yang dibacanya, tetapi ide yang diharapkannya sama sekali tidak muncul. Padahal dia sudah menghabiskan hampir dua jam di ruang kerjanya.

Andre kahabisan energi untuk mulai merealisasikan idenya. Suasana kantor yang bising dengan berbagai aktifitas pegawai membuat inspirasi yang dibutuhkan Andre seperti menjauh. Andre merasa jengah. Makanya, dia putuskan untuk pergi ke suatu tempat yang bisa menunjang. Kalau perlu, dia akan mendatangi taman kota. Jam sepuluh pagi tentu taman kota belum akan ramai dengan aktifitas orang-orang yang bisa mendatangainya.

Andre memasukkan beberapa buku ke dalam tas kerjanya. Berharap satu dari buku yang dia bawa akan memberikann ide. Waktu tinggal tiga minggu lagi bagi Andre untuk bisa mempresentasikan konsep yang bakal dia usung di depan para pemegang kebijakan di perusahaannya. Selama waktu itu Andre tidak mau diganggu dengan pekerjaan dan segala tetek bengek hal yang tidak ada hubungannya dengan ide yang dia butuhkan.

Mobil yang membawa Andre sudah meninggalkan kantor. Pak Ilham, sopir pribadi Andre lebih banyak diam karena dia tahu atasannya itu sedang butuh sendiri. Dia baru akan ngomong kalau Andre meminta pendapat atau bertanya padanya. Andre kembali disibukkan dengan pencarian ide.

Diambilnya satu buku dari tas kerjanya. Tapi kemudian dia masukkan kembali buku The Answer karangan John Assaraf dan Murray Smith. Tangannya kembali dia masukkan ke dalam tas kerjanya. Air muka Andre berubah saat tangannya mendapati sebuah buku tipis di dalam tas kerjanya, seperti sedang timbul pertanyaan di benaknya.

Diangkatnya buku tipis itu dari tas kerjanya. Kening Andre langsung mengernyit saat mendapati notes merah jambu. “Kenapa notes ini ada di tas kerjaku?” guman Andre lirih, seolah dia tidak ingin Pak Ilham mendengar desah herannya. “Bukannya sudah aku buang semalam?”

Andre bermaksud mencampakkan notes merah jambu ke lantai mobil. Tetapi entah kenapa dia mengurungkannya. Mungkin karena sedang tidak ingin membuka buku tebal yang dibawanya yang akan menguras pikirannya. Agak ragu Andre membuka kembali notes yang dia yakin hanya berisi puisi dan kata-kata cinta saja. Karena dia sudah pernah membuka halaman pertamanya, maka dia putuskan untuk membuka halaman tengah dari notes itu.

Andre tertegun saat mendapati judul dari tulisan tangan yang tersusun rapi itu. Keningnya mengernyit, tapi bukan kernyitan yang menandakan sebuah tanya, melainkan kernyitan menelisik Omelet. Andre membaca lirih tulisan tangan berkarakter unik di pojok kiri dalam lembar notes merah jambu itu.

Bukan Kerja, Tapi Karya. Andre membaca tulisan di bawah kata Omelet, sama lirihnya. Dia yakin itu judul dari berbagai paragraf dari tulisan yang ada di bawahnya. Kemudian dia membaca satu paragraf di bawahnya.

Dear, Manusia.

Kamu bekerja sebagai apa?. Kamu berkerja ya? Tunggu! Kalau kamu masih berpikiran bahwa apa yang kamu lakukan setiap harinya itu adalah sebuah kerja, berarti kamu telah memposisikan dirimu sebagai pekerja. Alangkah ironisnya, karena kamu telah menistakan dirimu sendiri.

Apapun profesimu, kamu adalah manusia, makhluk mulia yang tidak berhak menistakan dirimu serendah itu.  Maka, angkatlah dirimu setinggi yang kamu bisa. Apa yang kamu lakukan itu adalah karya. Bahkan meski kamu hanya seorang pembatu rumah tangga, kamu tetap harus “mendogma” dirimu bahwa kamu sedang berkarya. Jadi kamu pantas untuk mendapatkan penghargaan dari karyamu itu.

Kening Andre makin berkerut. Satu paragraf dalam tulisan itu telah menyita pikirannya. Kalimatnya sederhana. Yang diangkat pun sangat sederhana. Tapi entah kenapa Andre seperti merasakan energi positif mengalir dalam dirinya setelah dia membaca paragraf itu. Andre pun terpancing untuk meneruskan membaca paragraf berikutnya.

Andre membuka lembar-lembar berikutnya. Semakin dia dalami apa yang tertulis di lembar notes itu dia pikirannya semakin cerah. Bahkan seketika itu juga dia mendapatkan ide dari konsep yang bakal dipresentasikan di depan pemegang kebijakan.

“Balik Pak Ilham. Kita ke kantor,” pinta Andre. Tanpa banyak kata, Pak Ilham meminggirkan mobilnya untuk kemudian mengambil jalur untuk kembali ke kantor Andre.

 ###

Menul masih gelisah. Pikirannya masih dipenuhi dengan notes merah jambunya. Tetapi dia mencoba untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya kepada teman kerjanya karena dia tidak mau temannya mengetahui tentang notes merah jambunya. Menul masih berharap kalau Dodo bakal memberikan kabar baik yang diharapkannya. Menul hanya harus menunggu beberapa saat lagi untuk mengontak Dodo, kalau dia sudah yakin Dodo sudah bangun dari tidurnya.

            Namun selama menunggu waktu untuk bisa mengontak Dodo, perhatian Menul dipusatkan pada notes merah jambunya. Dia masih terus mencari. Dia berharap, bakal menemukan notesnya itu di suatu tempat. Di toilet barang kali. Di meja salah satu pegawai kantor barang kali. Atau bahkan mungkin di tumpukan sampah. Menul selalu memusatkan perhatian, sehingga hampir semua penjuru kantor itu tak lepas dari perhatiannya.

            “Sudah jam sepuluh. Aku harus mengontak Mas Dodo.” Menul segera mengeluarkan handphone dari sakunya. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kepastian akan kegelisahannya. Dicarinya nama Mas Dodo di menu kontak pada hp yang dipegangnya, kemudian ditekannya.

            “Ayolah. Diangkat Mas!” Menul merajuk pada dirinya sendiri.

            “Ada apa Nul?” suara Dodo melempar sapa.

            “Begini Mas,” sergah Menul dengan kelegaan luar biasa, "Barangkali saat semalam Mas meninggalkan ruangan Pak Andre, Mas Dodo melihat sesuatu yang tidak biasa di meja Pak Andre?”

            Menul masih belum mau menyebutkan notesnya. Dia berharap Dodo-lah yang akan mengatakan bahwa dia telah menemukan notes merah jambunya. Menul yakin kalau Dodo tahu bahwa notes itu miliknya, karena bukan hanya sekali dua kali Dodo melihat Menul sibuk dengan notes itu.

            “Sesuatu yang tidak biasa gimana Nul?”

            “Mungkin Mas melihat apa gitu yang Mas yakin itu bukan milik Pak Andre.”

            “Maksudnya apa ini Nul. Melihat sesuatu yang bukan milik Pak Andre di meja kerja Pak Andre? Aku kok masih tidak paha.”

            “Begini Mas. Setelah saya meninggalkan ruangan Pak Andre semalam, apa Mas mendapati sesuatu di meja Pak Andre?”

            “Wah, aku tidak sempat memperhatikann meja Pak Andre Nul. Begitu barang itu aku turunkan, aku juga langsung meninggalkan ruangan Pak Andre. Memangnya ada apa to Nul?”

            “Tidak ada apa-apa Mas,” jawab Menul dengan nada kecewa yang coba dia sembunyikan. Harapannya tiba-tiba sirna. “ Ya sudah kalau begitu. Maaf sudah mengganggu.”

            Menul segera menutup kontaknya. Harapan yang semula begitu besar dia sematkan pada Dodo, sirna seketika. Menul mulai gelisah lagi. Namun kegelisahan Menul tiba-tiba berganti shock saat dia mendapati sosok Andre yang masuk ke pantri. Menul gagap seketika. Bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya panas dingin. Keringat dingin pun datang tidak diundang. Wajahnya ikut menebal, pertanda aliran darah tidak lancer mengalir ke wajahnya.

            Andre menatap sejenak wajah Menul, kemudian menebar pandangan ke ruang pantri. Sejurus kemudian Andre kembali keluar dari pantri tanpa menghiraukan Menul yang masik shock. Bahkan kesan kalau Andre tidak menyadari keberadaan Menul di pantri terlihat jelas.

            Dada Menul bergemuruh hebat. Hampir saja dia kehilangan keseimbangan kalau dia tidak buru-buru mengambil tempat duduk. Begitu Menul duduk, dia mencoba meluruhkan gemetarnya. Menul mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air hangat. Diminumnya segera segelas air hangat berharap kehangatan akan bisa memacu aliran darah di tubuhnya. Menul menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Seumur-umur, baru kali itu dia shock sehebat itu.

            “Sudah selesai kerjamu Nul?” tanya Harun yang begitu masuk ke pantri langsung menyeruput kopi yang sudah dibuatnya. Bahkan sudah hampir dingin.

            Menul sedikit tersentak kaget. “Oh, maafkan aku kalau membuatmu kaget,” sergah Harun.

Menul belum bisa menanggapi kalimat Harun. Dadanya yang sejak tadi masih bergemuruh, tambah terpacu saat Harun menyapanya. Kalau saja bisa digambarkan, mungkin wajah Menul kini sedang berwarna pelangi.

            “Nul? Kamu sakit?” Harun heran melihat kondisi Menul yang masih gemetar. Bahkan dia bisa dengan jelas melihat bibir sumbing Menul pucat pasi. Menul masih belum bisa menjawab pertanyaan Harun. Dia kembali menyeruput air hangatnya sambil menghela nafas panjang.

            “Kalau sakit, jangan dipaksakan Nul!”

            “Tidak Mas. Saya tidak apa-apa.”

            Menul hanya menjawab singkat, untuk kemudian masuk ke kamar kecil. Harun melongo dengan segurat penasaran tergambar jelas di wajahnya.

            “Apa Pak Andre tahu yang aku bicarakan dengan Mas Dodo ya?”

            Menul menutup wajahnya. Dia masih mencoba meredam gelisahnya. Dia khawatir kalau Andre mendengar sebagian atau bahkan semua pembicaraan itu.

            “Tapi sepertinya tidak. Kalau Pak Andre tahu, tentu dia akan bertanya saat aku menyebut namanya.” Menul mencoba menenangkan diri.

            “Iya. Aku yakin Pak Andre tidak mendengar apa yang aku bicarakan. Bahkan dia seperti tidak peduli dengan keberadaanku, karena dia hanya melihat sekilas ke pantri terus pergi. Itu berarti dia sama sekali tidak terusik dengan apa yang baru saja aku katakan. Ah, mudah-mudahan saja begitu.”

            Menul mencoba tersenyum untuk menghadirkan rasa nyaman di pikirannya. Menul hanya shock saja karena ketika dia membicarakan sesuatu yang ada hubungannya dengan Andre, tiba-tiba sosok itu hadir. Terang saja Menul kaget. Alasan kekagetan Menul yang lain adalah kemunculan Andre ke pantri.

Selama hampir satu tahun bekerja sebagai office girl, tidak sekali pun Menul mendapati Andre menyambangi pantri. Boro-boro ke pantri, pesen sesuatu saja tidak pernah. Tidak seperti pegawai yang lain yang minta dibuatkan kopi-lah. Disuruh mengambilkan gelas-lah. Dan banyak lagi. Itulah kali pertama Menul bisa sedekat itu dengan Andre.

            Menul keluar kamar kecil dengan wajah yang mulai berseri. Rasa shock itu sudah sirna di diri Menul. Bahkan, pandangan tajam Andre-lah yang kini membekas di benaknya. Pandangan yang dingin dan tanpa ekspresi  mengguratkan rasa tersendiri di hati Menul.

            “Kalau kamu sakit, mending kamu pulang Nul.” Harun masih belum tenang. Menul memang bukan siapa-siapanya. Tapi perhatian dia ke Menul akhir-akhir ini mulai terasa lain. Meski secara fisik Menul terdapat kekurangan, tetapi ada kekuatan besar yang memancar dalam diri Menul yang membuat Harun seperti tersedot perasaannya.

“Tidak apa-apa kok Mas. Hanya lapar saja. Saya makan dulu ya kalau begitu.” Menul segera mengambil bekal makanannya, kemudian mengambil satu iris tahu bacem. Menul menyodorkan sisa tahu bacemnya ke Harun.

“Tidak Nul, terima kasih. Aku masih kenyang.” Harun kemudian keluar dari pantri karena dia harus meneruskan pekerjaannya. Sepeninggal Harun, Menul mengembalikan sisa tahu bacem yang baru setengahnya dia makan ke wadahnya. Senyum mulai mengembang lagi. Tapi kali ini senyum yang beraroma cinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status