OMELET
Andre bergegas ke ruang kerjanya. Keinginan untuk menanyakan siapa gerangan yang telah meninggalkan notes merah jambu di meja kerjanya itu, dia urungkan. Tiba-tiba terbersit di pikirannya kalau tidak mungkin pemilik notes itu adalah orang pantri. Bahkan ia mencibir dirinya sendiri, karena muncul pikiran yang tidak masuk akal baginya. Andre tersenyum kecut. Lebih tepatnya menertawakan kebodohannya sendiri.
Benar. Tulisan di dalam notes merah jambu itu terlalu bagus untuk ditulis oleh orang yang tidak berprofesi sebagai penulis. Andre saja merasa tidak akan bisa menulis sebagus itu. Bahkan dia merasa tulisan dalam notes itu seperti ditulis oleh seorang pakar. Tulisannya tidak jauh beda dari buku-buku motivasi yang sudah dia baca. Menyentuh, tapi tidak menggurui. Menanyakan tentang notes itu pada staf pantry sama halnya memberi tahu orang-orang kalau dia telah mendapatkan ide brilian dari sesuatu yang bukan miliknya. Bagaimana jika sampai Reno tahu kalau ide besarnya berasal dari tempat yang selama ini dianggap sebagai tempat tidak favorit di kantornya? Bisa-bisa dia bakal mendapat cibiran. Makanya, Andre sama sekali tidak bertanya pada Menul, satu-satunya orang pantri yang dia temui.
Tas kerja berisi buku itu dilempar Andre ke sofa tamu, begitu dia masuk ke ruang kerjanya. Andre segera mengeluarkan lembaran kertas yang biasa dia gunakan untuk mengolah konsep. Notes merah jambu yang dia keluarkan dari tas bersamaan ketika dia membuka pintu ruang kerjanya langsung dia buka. Andre tidak mau kehilangan momen. Dia harus segera menuangkan ide yang masih menggelanyut indah di pikirannya.
Andre menuliskan berbagai ide yang terlintas di pikirannya. Dia harus mencari nama untuk rubrik yang bakal dia angkat di majalah terbitan perusahannya. Dalam hitungan lima belas menit Andre sudah mendapatkan banyak opsi untuk judul rubriknya itu. Senyum mengembang di bibir lelaki dua puluh enam tahun itu. Kalau saja para gadis pengagum Andre melihat senyum itu, tentu hati mereka akan lumer. Seperti ice cream yang kelamaan berada di ruang terbuka. Senyum Andre begitu sumringah, menggambarkan keceriaan luar biasa. Dan memang, di kantor Andre, banyak para gadis yang mengaguminya. Ada yang terang-terangan, ada pula yang diam-diam. semacam secret admire di SMA. Bahkan dari banyak pengagum Andre itu ada pula yang sudah berumah tangga. Meski, tidak sedikit yang hanya sebatas kagum, tidak lebih. Apalagi sampai berkeinginan bisa dinikahi Andre.
Andre merebahkan tubuhnya di kursi kerja. Dia merasa sudah cukup menuangkan opsi. Kini dia harus memilih satu di antara lima belas pilihan nama. Satu persatu nama itu dia telaah. Setelah benar-benar dia kurang sreg, dicoretnya nama itu. Dua puluh menit Andre dipusingkan dengan pilihan. Dari lima belas nama dia munculkan, kini tinggal tiga opsi. Tapi dari ketiganya itu tidak satu pun yang mampu membuatnya klik. Andre mendesah panjang saat merasa mentok di jalan buntu lagi.
Andre kembali mengambil notes merah jambu itu. Dibukanya lembar demi lembar. Kalau pada awalnya dia jijik dengan puisi pada lembar pertama di notes itu, kini puisi itu menjelma sesuatu yang mampu mengusiknya. Bukan picisan, begitu gumannya.
Adakah sosok pangeran itu?
Datang, menerobos malam dengan kuda putihnya
Hanya ingin menyunggingkan sebuah senyum
untuk seorang putri yang menunggunya di kastil
kemudian ia kembali berlalu
Seolah dia tahu persis, sang putri begitu memujanya
Sepenggal puisi membuat kening Andre mengernyit? Sedang jatuh cintakah pemilik notes merah jambu itu? atau dia justru si pangeran itu? Sebelum Andre melanjutkan membacanya, dia dikejutkan ketukan di pintu ruangannya.
“Tok..tok..tok. Permisi, Pak.”
“Masuk!”
Harun masuk dengan secangkir kopi yang dipesen Andre. Harun mengangguk hormat sebelum dia meletakkan kopi itu. Harun paham betul, jika atasannya itu sedang ingin minum kopi, berarti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Seperti ingin menyemai ide dari kopi tubruk kesukaannya.
“Kopinya, Pak.”
“Terima kasih,” jawab Andre tanpa menoleh ke arah Harun. Perhatiannya sedang dicurahkan pada notes merah jambu yang sedang dibacanya.
“Ada yang bisa saya bantu lagi Pak?” tanya Harun sebelum dia keluar ruangan.
“Tidak. Terima kasih.”
Harun bergegas keluar. Tapi sebelum dia benar-benar keluar, Andre memanggilnya. Harun kembali masuk ruangan.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?”
Harun kembali bertanya pada Andre saat mendapati Andre seperti dalam kebimbangan. Sebenarnya Andre ingin menuntaskan penasarannya tentang siapa pemilik notes merah jambu itu. Dia ingin bertanya pada Harun. Tapi kembali dia urungkan niatnya.
“Tidak jadi. Silahkan kembali kerja!” jawab Andre.
“Atau Bapak berkenan mencoba omelet yang dibuat oleh anak pantri, Pak?”
“Omelet?”
Andre tercekat mendengar kata omelet yang diucapkan oleh Harun. Bukan karena omeletnya, tetapi kata itu ada di dalam notes merah jambunya. Jangan-jangan Harun ini pemilik notesnya, begitu pikir Andre.
“Sebentar!”
Andre kemudian mengambil notes merah jambu itu. Namun dia tidak menanyakan apakah Harun pemiliknya. Dia hanya akan mengetes reaksi Harun saat mendapati notes itu berada di tangannya. Kalau notes itu milik Harun, tentu dia akan bereaksi.
Mendapati Harun sama sekali tidak menampakkan ekspresi yang dia harapkan, Andre kembali meletakkan notes itu di meja kerjanya.
“Apa kamu bilang tadi? Omelet?”
“Iya Pak. Kebetulan ada anak pantri yang suka sekali membuat omelet.”
“Memang kamu tahu apa itu omelet?” tanya Andre.
“Kudapan dari telur, Pak. Kata yang membuatnya, omelet itu bisa mendongkrak semangat kerja lagi. Bisa juga membantu memunculkan ide. Dan sepertinya itu memang benar, karena setelah makan omelet itu, anak-anak pantri bisa bersemangat lagi kerjanya.”
“Begitu ya?” sergah Andre dengan kening berkerut. Bukan karena penasaran dengan omeletnya, tetapi dia sedang mendapatkan ide.
“Gimana Pak? Apa Bapak menginginkannya?”
“Boleh. Aku tunggu ya!”
Harun bergegas pergi. Andre pun segera kembali pada kertas kerjanya, lalu menuliskan kata omelet. Entah kenapa, setelah kata itu dia tuliskan di deretan opsinya, kata itu seperti sangat kuat menarik perhatiannya. Omelet.
Bingo. Senyum langsung mengembang di bibir Andre. Dia sudah yakin dengan pilihannya. Dicoretnya tiga opsi sebelumnya, kemudian dia memantapkan diri untuk menamai rubrik yang bakal dia presentasikan dengan nama omelet.
Andre membuka kembali notes merah jambu itu. Dia mencari lembar yang tertulis kata omelet. Kebetulan sebagian besar isi tulisan dalam notes itu berjudul omelet, jadi Andre tidak kesusahan untuk menemukannya. Tapi kali ini Andre tidak sedang ingin membaca tulisan, melainkan dia butuh ide untuk menyajikan kata omelet itu dalam font yang unik.
Berkali-kali Andre mencermati setiap tulisan omelet di notes itu. Hampir sama. Andre sendiri tidak percaya bahwa tulisan tangan bisa semirip itu antara satu tulisan dengan tulisan yang lain. Tapi dia mendapatinya sendiri. Semakin lama font yang ditulis tangan itu dia amati, Andre semakin yakin untuk menggunakannya.
Andre menghidupkan mesin scanner. Dia sudah mantap untuk memakai jenis tulisan “omelet” itu dalam judul rubriknya. Andre kembali tersenyum. Kali ini dia sangat yakin presentasinya akan berjalan lancar.
“Tok..tok…tok.”
“Masuk!”
Andre berteriak kecil. Lebih tepatnya seperti reaksi orang yang pemain idolanya bisa menyarangkan bola ke gawag lawan. Andre segera mempersilahkan Harun untuk masuk.
“Ini omeletnya Pak.”
“Terima kasih,” Andre mengangguk. Harun tersenyum. “O ya. Nama kamu Harun kan?”
“Iya Pak.”
“Ini ada sedikit uang untuk kamu sebagai rasa terima kasihku.”
“Terima kasih untuk apa Pak?” tanya Harun penasaran. Mendapati atasannya sesumringah itu saja sudah hal yang menyenangkan buat Harun. Apalagi sampai diberi uang. Meski tidak pelit, namun baru kali ini Andre memberikan uang secara langsung.
“Yah terima kasih untuk apa saja. Pokoknya hari ini aku sedang senang. Jadi terima saja. Kalau sudah, silakan kembali bekerja!”
“Iya Pak. Terima kasih banyak,” jawab Harun sambil menerima uang dari Andre.
Andre memperhatikan omelet yang tersaji di mejanya. Meski hanya dari pantri, tapi omelet itu cukup menggugah selera Andre. Dicicipinya omelet itu agak ragu. Namun begitu omelet itu masuk ke mulutnya, Andre merasakan lezatnya. Tidak butuh waktu lama, omelet itu tidak lagi tersisa.
Entah kenapa, omelet yang sesederhana itu terasa begitu nikmat di lidah Andre. Bisa jadi karena Andre sedang memuncahkan sejuta harapan pada omelet yang ia temukan di notes merah jambu itu. Ia sangat berharap, orang yang membikin omelet yang ia nikmati itu sama dengan pemilik notes merah jambu
Hilang SemangatMenul kehilangan semangat. Notes merah jambunya benar-benar tidak ada kabar. Seperti raib ditelan bumi. Hampir seluruh ruangan kantor tidak lepas dari selidik Menul, tetapi dia tidak mendapati notesnya. Harapannya mulai pupus. Apalagi hari sudah menjelang petang. Beberapa menit lagi jam kantor akan berakhir. Bukan tentang notesnya, tapi isi di dalamnya. Berhari-hari ia merangkai kata demi kata. Ide dan berbagai ungkapan perasaan ada di dalamnya. Dan itu yang sulit untuk dituangkan kembali, karena feel-nya tentu beda, jik a ditulis ulang.Menul mulai pasrah jika notes itu harus direlakan. Tidak mungkin ada yang merawatnya, Apalagi sampai menyimpannya. Kalau dibakar, barang kali. Atau dilempar di tempat sampah. Meski sangat berharga baginya, tetapi bagi orang lain, notes itu hanya seonggok buku kumal yang tiada arti. Beruntung dia tidak menuliskan nama di notes itu. Jadi meski ditemukan atau dibaca orang lain, dia t
Persaingan"Hallo calon CEO. Apa sudah dapat ide untuk presentasi?”Reno nyelonong ke ruang kerja Andre. Andre kaget, lalu buru-buru menutup laptopnya. Reno menggodanya dengan menyentuh laptop Andre. Tentu saja Reno tidak benar-benar ingin melihatnya karena Reno yakin Andre belum mendapatkan konsep untuk presentasi. Bahkan Reno yakin Andre sama sekali belum memulai membuat konsep. Andre menepis tangan Reno, kuat.Bagi Reno, Andre hanyalah kotak kosong yang dimunculkan agar pengangkatannya sebagai CEO kelak tidak berkesan hanya ditunjuk perusahaan, namun lewat persaingan.Saat medapati calon pesaingnya adalah Andre, Reno merasa di atas angin. Bukan hanya ia, namun teman-teman dekat Reno pun sudah ada
MENCARI PEMILIK NOTESHari sudah menjelang siang. Hampir jam sepuluh. Tetapi Andre masih berada di kamarnya. Sudah dua hari ini Andre sengaja tidak ke kantor karena disibukkan dengan desain konsep yang bakal dia presentasikan. Meski batas akhir presentasi masih seminggu lagi, tapi Andre memilih untuk melakukan presentasi secepatnya. Dia sudah tidak sabar ingin segera membuktikan pada orang-orang, terutama pada Reno kalau ia bukanlah kotak kosong. Ia juga mampu melakukan sesuatu.Konsep yang bakal diusung Andre sudah hampir jadi. Sampling satu halaman penuh dengan tajuk omelet sudah didesain sedemikian rupa. Tentu saja dilengkapi dengan satu topik yang disajikan dalam bahasa sederhana dengan nuansa shoft-b
PERTEMUAN PERTAMAMenul sedang santai di pantri. Meski waktunya istirahat siang, tapi Menul lebih senang mengisinya dengan membaca. Kali ini dia membaca koran terbitan hari sebelumnya. Bagi Menul, koran terbitan kemarin atau seminggu lalu sama saja. Dia belum membacanya. Berbeda dengan teman-temannya di pantri yang lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya dengan tiduran atau kongkow-kongkow bersama teman-temannya sambil nyari makan siang, Menul lebih suka berdiam diri di pantri. Menul tidak harus keluar kantor atau ke kantin untuk membeli makan, karena dia sudah membawa bekal.Biasanya Menul akan membaca ulang hasil tulisan di notesnya, di sela-sela jam istirahat siangnya. Tapi kali ini dia sedang tidak ingin. Notes yang baru sehari dia beli belum banyak tulisan di dalamn
SALAH ORANGDini tergopoh masuk pantri. Raut bingung, tergambar jelas di wajahnya. Tentu saja Dini bingung karena apa yang diharapkan sangat jauh dari yang ditemuinya. Segera ia mengambil gelas, kemudian menuang air putih, seolah tidak mempedulikan Menul dan Harun yang ikut penasaran.“Gimana, Din?” tanya Harun setelah Dini menghabiskan dua gelas air putih.“Embohlah. Pusing aku,” jawab Dini, sambil mengambil tempat duduk. Ia setengah menghempaskan tubuhnya ke kursi. Ada raut kesat di wajahnya.“Pusing gimana?” tanya Menul.“Ya bingung saja. Tadinya aku berharap benar apa yang dikatakan Mas Harun kalau Pak Andre bakal memintaku untuk membuatkannya omelet khusus. Eh, begitu tiba di ruangannya, aku hanya disuruh menulis namaku di kertas kosong.”“Yang bener Din?” sahut Harun.“Lha buat apa juga aku bohong Mas. Mas sendiri tadi juga bingung k
GANTI STRATEGIAndre termenung di ruang kerjanya. Setelah mendapati kenyataan bahwa pembuat omelet itu bukanlah pemilik notes merah jambu itu, Andre harus membuat rencana baru. Andre tetap pada pendiriannya bahwa sebelum dia mempresentasikan konsep yang telah selesai dibuatnya, dia harus sudah menemukan pemilik notes itu. Andre tidak mau mendapati masalah jika konsep itu diterima dewan direksi kemudian ada yang mengeklaim tulisan itu.“Aku harus segera menemukannya. Apapun caranya.”Kalimat itu yang terus terngiang dalam pikiran Andre. Dia merasa masih ada waktu untuk berbuat sesuatu sebelum hari H. Tentu hal yang bodoh jika ada waktu untuk melakukan sesuatu, namun lebih memilih diam saja. Apalagi berusaha memasabodohkannya.“Kalau perlu seisi kantor ini harus aku cocokkan tulisannya.”Tiba-tiba seuntai kalimat meluncur di pikirannya. Andre terperanjat sendiri. Iya, dia harus mengumpulkan conto
EKSEKUSIImam dengan cekatan melakukan tugas yang diberikan Andre. Meski ada beberapa karyawan yang bertanya-tanya tentang tujuan kuisioner itu. Maklum, hal seperti itu sangat jarang dilakukan oleh perusahaan. Atau bahkan itu kali pertama. Makanya tidak heran jika ada mempertanyakan. Tapi Imam bisa menanganinya dengan baik. Selebihnya tidak banyak pertanyaan. Bahkan cenderung cuek. Seperti yang diinstruksikan Andre bahwa semua karyawan harus mengisi kuisioner itu, maka kuisioner itu pun mampir ke pantri. Semua orang pantri juga mengisinya. Termasuk Menul.Tidak lebih dari dua jam, kuisioner itu sudah terkumpul. Maklum, Imam mengultimatum bahwa para karyawan belum boleh pulan
BELUM JUGA KETEMUAndre sangat bersemangat untuk segera mengetahui pemilik notes itu. Makanya, begitu sampai di kamarnya, dia langsung mengeluarkan sampling tulisan karyawan di perusahaannya untuk dicocokkan dengan bentuk tulisan di notes merah jambu itu. Dia sudah tidak sabar. Bayangan bakal bisa segera menuntaskan penasarannya selama ini tergambar jelas di pelupuk matanya.Tidak banyak hal yang bisa membuat Andre sebergairah itu dalam melakukan sesuatu. Apalagi ia tipikal moody, yang melakukan apa-apa tergantung mood. Jika sedang naik, maka ia bisa berjam-jam melakukan. Bahkan berhari-hari. Seperti jika ia sedang muncul pingin mancing maka ia bisa berhari-hari pulang balik ke kolam pemancingan. Bahkan bisa menjelajah sungai. Namun, jika sedang tidak