Share

Bab 5 : Omelet

                                                                  OMELET

                       

Andre bergegas ke ruang kerjanya. Keinginan untuk menanyakan siapa gerangan yang telah meninggalkan notes merah jambu di meja kerjanya itu, dia urungkan. Tiba-tiba terbersit di pikirannya kalau tidak mungkin pemilik notes itu adalah orang pantri. Bahkan ia mencibir dirinya sendiri, karena muncul pikiran yang tidak masuk akal baginya. Andre tersenyum kecut. Lebih tepatnya menertawakan kebodohannya sendiri.

Benar. Tulisan di dalam notes merah jambu itu terlalu bagus untuk ditulis oleh orang yang tidak berprofesi sebagai penulis. Andre saja merasa tidak akan bisa menulis sebagus itu. Bahkan dia merasa tulisan dalam notes itu seperti ditulis oleh seorang pakar. Tulisannya tidak jauh beda dari buku-buku motivasi yang sudah dia baca. Menyentuh, tapi tidak menggurui. Menanyakan tentang notes itu pada staf pantry sama halnya memberi tahu orang-orang kalau dia telah mendapatkan ide brilian dari sesuatu yang bukan miliknya. Bagaimana jika sampai Reno tahu kalau ide besarnya berasal dari tempat yang selama ini dianggap sebagai tempat tidak favorit di kantornya? Bisa-bisa dia bakal mendapat cibiran. Makanya, Andre sama sekali tidak bertanya pada Menul, satu-satunya orang pantri yang dia temui.

Tas kerja berisi buku itu dilempar Andre ke sofa tamu, begitu dia masuk ke ruang kerjanya. Andre segera mengeluarkan lembaran kertas yang biasa dia gunakan untuk mengolah konsep. Notes merah jambu yang dia keluarkan dari tas bersamaan ketika dia membuka pintu ruang kerjanya langsung dia buka. Andre tidak mau kehilangan momen. Dia harus segera menuangkan ide yang masih menggelanyut indah di pikirannya.

Andre menuliskan berbagai ide yang terlintas di pikirannya. Dia harus mencari nama untuk rubrik yang bakal dia angkat di majalah terbitan perusahannya. Dalam hitungan lima belas menit Andre sudah mendapatkan banyak opsi untuk judul rubriknya itu. Senyum mengembang di bibir lelaki dua puluh enam tahun itu. Kalau saja para gadis pengagum Andre melihat senyum itu, tentu hati mereka akan lumer. Seperti ice cream yang kelamaan berada di ruang terbuka. Senyum Andre begitu sumringah, menggambarkan keceriaan luar biasa. Dan memang, di kantor Andre, banyak para gadis yang mengaguminya. Ada yang terang-terangan, ada pula yang diam-diam. semacam secret admire di SMA. Bahkan dari banyak pengagum Andre itu ada pula yang sudah berumah tangga. Meski, tidak sedikit yang hanya sebatas kagum, tidak lebih. Apalagi sampai berkeinginan bisa dinikahi Andre.

Andre merebahkan tubuhnya di kursi kerja. Dia merasa sudah cukup menuangkan opsi. Kini dia harus memilih satu di antara lima belas pilihan nama. Satu persatu nama itu dia telaah. Setelah benar-benar dia kurang sreg, dicoretnya nama itu. Dua puluh menit Andre dipusingkan dengan pilihan. Dari lima belas nama dia munculkan, kini tinggal tiga opsi. Tapi dari ketiganya itu tidak satu pun yang mampu membuatnya klik. Andre mendesah panjang saat merasa mentok di jalan buntu lagi.

Andre kembali mengambil notes merah jambu itu. Dibukanya lembar demi lembar. Kalau pada awalnya dia jijik dengan puisi pada lembar pertama di notes itu, kini puisi itu menjelma sesuatu yang mampu mengusiknya. Bukan picisan, begitu gumannya. 

Adakah sosok pangeran itu?

            Datang, menerobos malam dengan kuda putihnya

            Hanya ingin menyunggingkan sebuah senyum

            untuk seorang putri yang menunggunya di kastil

            kemudian ia kembali berlalu

            Seolah dia tahu persis, sang putri begitu memujanya

Sepenggal puisi membuat kening Andre mengernyit? Sedang jatuh cintakah pemilik notes merah jambu itu? atau dia justru si pangeran itu? Sebelum Andre melanjutkan membacanya, dia dikejutkan ketukan di pintu ruangannya.

“Tok..tok..tok. Permisi, Pak.”

“Masuk!”

Harun masuk dengan secangkir kopi yang dipesen Andre. Harun mengangguk hormat sebelum dia meletakkan kopi itu. Harun paham betul, jika atasannya itu sedang ingin minum kopi, berarti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Seperti ingin menyemai ide dari kopi tubruk kesukaannya.

“Kopinya, Pak.”

“Terima kasih,” jawab Andre tanpa menoleh ke arah Harun. Perhatiannya sedang dicurahkan pada notes merah jambu yang sedang dibacanya.

“Ada yang bisa saya bantu lagi Pak?” tanya Harun sebelum dia keluar ruangan.

“Tidak. Terima kasih.”

Harun bergegas keluar. Tapi sebelum dia benar-benar keluar, Andre memanggilnya. Harun kembali masuk ruangan.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?”

Harun kembali bertanya pada Andre saat mendapati Andre seperti dalam kebimbangan. Sebenarnya Andre ingin menuntaskan penasarannya tentang siapa pemilik notes merah jambu itu. Dia ingin bertanya pada Harun. Tapi kembali dia urungkan niatnya.

“Tidak jadi. Silahkan kembali kerja!” jawab Andre.

“Atau Bapak berkenan mencoba omelet yang dibuat oleh anak pantri, Pak?”

“Omelet?”

Andre tercekat mendengar kata omelet yang diucapkan oleh Harun. Bukan karena omeletnya, tetapi kata itu ada di dalam notes merah jambunya. Jangan-jangan Harun ini pemilik notesnya, begitu pikir Andre.

“Sebentar!”

Andre kemudian mengambil notes merah jambu itu. Namun dia tidak menanyakan apakah Harun pemiliknya. Dia hanya akan mengetes reaksi Harun saat mendapati notes itu berada di tangannya. Kalau notes itu milik Harun, tentu dia akan bereaksi.

Mendapati Harun sama sekali tidak menampakkan ekspresi yang dia harapkan, Andre kembali meletakkan notes itu di meja kerjanya.

“Apa kamu bilang tadi? Omelet?”

“Iya Pak. Kebetulan ada anak pantri yang suka sekali membuat omelet.”

“Memang kamu tahu apa itu omelet?” tanya Andre.

“Kudapan dari telur, Pak. Kata yang membuatnya, omelet itu bisa mendongkrak semangat kerja lagi. Bisa juga membantu memunculkan ide. Dan sepertinya itu memang benar, karena setelah makan omelet itu, anak-anak pantri bisa bersemangat lagi kerjanya.”

“Begitu ya?” sergah Andre dengan kening berkerut. Bukan karena penasaran dengan omeletnya, tetapi dia sedang mendapatkan ide.

“Gimana Pak? Apa Bapak menginginkannya?”

“Boleh. Aku tunggu ya!”

Harun bergegas pergi. Andre pun segera kembali pada kertas kerjanya, lalu menuliskan kata omelet. Entah kenapa, setelah kata itu dia tuliskan di deretan opsinya, kata itu seperti sangat kuat menarik perhatiannya. Omelet.

Bingo. Senyum langsung mengembang di bibir Andre. Dia sudah yakin dengan pilihannya. Dicoretnya tiga opsi sebelumnya, kemudian dia memantapkan diri untuk menamai rubrik yang bakal dia presentasikan dengan nama omelet.

Andre membuka kembali notes merah jambu itu. Dia mencari lembar yang tertulis kata omelet. Kebetulan sebagian besar isi tulisan dalam notes itu berjudul omelet, jadi Andre tidak kesusahan untuk menemukannya. Tapi kali ini Andre tidak sedang ingin membaca tulisan, melainkan dia butuh ide untuk menyajikan kata omelet itu dalam font yang unik.

Berkali-kali Andre mencermati setiap tulisan omelet di notes itu. Hampir sama. Andre sendiri tidak percaya bahwa tulisan tangan bisa semirip itu antara satu tulisan dengan tulisan yang lain. Tapi dia mendapatinya sendiri. Semakin lama font yang ditulis tangan itu dia amati, Andre semakin yakin untuk menggunakannya.

Andre menghidupkan mesin scanner. Dia sudah mantap untuk memakai jenis tulisan “omelet” itu dalam judul rubriknya. Andre kembali tersenyum. Kali ini dia sangat yakin presentasinya akan berjalan lancar.

“Tok..tok…tok.”

“Masuk!”

Andre berteriak kecil. Lebih tepatnya seperti reaksi orang yang pemain idolanya bisa menyarangkan bola ke gawag lawan. Andre segera mempersilahkan Harun untuk masuk.

“Ini omeletnya Pak.”

“Terima kasih,” Andre mengangguk. Harun tersenyum. “O ya. Nama kamu Harun kan?”

“Iya Pak.”

“Ini ada sedikit uang untuk kamu sebagai rasa terima kasihku.”

“Terima kasih untuk apa Pak?” tanya Harun penasaran. Mendapati atasannya sesumringah itu saja sudah hal yang menyenangkan buat Harun. Apalagi sampai diberi uang. Meski tidak pelit, namun baru kali ini Andre memberikan uang secara langsung.

“Yah terima kasih untuk apa saja. Pokoknya hari ini aku sedang senang. Jadi terima saja. Kalau sudah, silakan kembali bekerja!”

“Iya Pak. Terima kasih banyak,” jawab Harun sambil menerima uang dari Andre.

Andre memperhatikan omelet yang tersaji di mejanya. Meski hanya dari pantri, tapi omelet itu cukup menggugah selera Andre. Dicicipinya omelet itu agak ragu. Namun begitu omelet itu masuk ke mulutnya, Andre merasakan lezatnya. Tidak butuh waktu lama, omelet itu tidak lagi tersisa.

Entah kenapa, omelet yang sesederhana itu terasa begitu nikmat di lidah Andre. Bisa jadi karena Andre sedang memuncahkan sejuta harapan pada omelet yang ia temukan di notes merah jambu itu. Ia sangat berharap, orang yang membikin omelet yang ia nikmati itu sama dengan pemilik notes merah jambu

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status