Share

Bab 3 : Notes Merah Jambu bagian 1

NOTES MERAH JAMBU

Bagian Satu

            Pagi masih menyemburatkan sisa fajar. Keremangan malam masih berbayang dengan pendaran berbagai lampu jalan. Subuh pun belum lama berselang. Tetapi langkah Menul sudah begitu mantapnya meninggalkan tempat kosnya. Menul harus berpacu dengan waktu agar bisa memastikan kalau notes merah jambunya masih di tempat semula. Atau paling tidak dia masih bisa menemukannya di ruangan Andre. Semalaman Menul memanjatkan doa agar Andre tidak membuka notes itu atau Andre tidak membuangnya begitu tahu isi di dalamnya.

Kalau saja Menul tahu akan sangat menderita sepanjang malamnya, Menul lebih memilih untuk menunggu sampai Andre pulang dan mengambil kembali notes itu. Tetapi ketakutan Menul akan kemarahan Andre saat dia tahu Menul sering keluar masuk ke ruangannya di luar jam kerja telah membuat Menul mengabaikan kekhawatiran pada notes merah jambunya. Menul tidak ingin mendapat masalah karena notes itu. Apalagi kalau sampai di pecat. Makanya, Menul lebih memilih untuk bergegas pulang.

            “Mudah-mudahan saja Pak Andre belum membuka notes itu.”

Menul mencoba menenangkan diri dengan sebuah harapan. Meski dia yakin kalau notes merah jambu itu akan menarik perhatian Andre untuk membuka, mengambil atau membuangnya, tetapi Menul tetap saja menyanjungkan sebuah pengharapan. Menul berharap Andre tidak pernah menyadari akan keberadaan notes itu sehingga notes itu aman dari jamahan tangan Andre. Atau kalau pun dia mengambilnya, Menul berharap Andre akan langsung membuangnya. Menul tidak berharap Andre membukanya atau bahkan membacanya sampai tuntas. Banyak hal dipertaruhkan dalam notes itu. Termasuk perasaan cinta yang mulai bersemi di hati Menul.

            Menul mengayunkan langkahnya lebih panjang, berharap jarak dua kilo yang biasa ditempuhnya akan lebih cepat sampai. Kalau saja Dodo masih tugas di kantor, tentu Menul tidak harus segelisah itu. Dia tinggal telepon atau sms Dodo untuk mengecek keberadaan notesnya. Tapi Dodo sudah off sejak jam sepuluh malam dan diganti dengan satpam shift ketiga.

Menul masih menyalahkan dirinya, kenapa dia tidak langsung mengirim pesan ke Dodo sesaat setelah dia bisa meninggalkan kantor tanpa berpapasan dengan Andre. Tapi sejurus kemudian Menul memakluminya karena ketakutan dan kekhawatiran lebih mendominasinya. Menul tidak mau kehilangan pekerjaan. Apalagi tempat dimana dia kini bekerja adalah tempat ternyaman yang pernah dia rasakan.

            “Menuuul!”

            Menul menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Harun, teman kerja di pantri melambaikan tangan. Menul menghentikan langkahnya, saat Harun mempercepat langkahnya.

            “Mas Harun?” Menul mengernyitkan keningnya. “Ada apa pagi-pagi begini Mas sudah berada di jalan?”

“Lha aku kan memang setiap harinya berangkat jam segini Nul. Tapi ya itu, harus nganter susu kedelai ke warung-warung terlebih dulu.” Menul manggut-manggut. Meski dia sudah tahu usaha sampingan keluarga Harun adalah membuat susu kedelai, tapi dia belum pernah bertemu Harun sepagi itu.

“Kamu sendiri kenapa pagi-pagi gini sudah berangkat kerja? Tumben banget.” Menul tercekat dengan pertanyaan Harun. Tapi Menul berusaha untuk tidak merasa terusik dengan pertanyaan Harun. Dia tidak ingin Harun menyelidik dari ketidakbiasaannya itu.

“Pingin berangkat pagi saja Mas. Biar bisa banyak waktu santainya di kantor.”

“Ah, kebetulan kalau begitu. Aku butuh bantuanmu sebentar.”

“Bantuan apa Mas?”

“Tolong antarkan susu kedelai ini di warung Mbok Ijah dan warungnya Yu Kamsi. Aku sudah ditunggu oleh teman lamaku. Kamu tidak sedang buru-buru kan?”

Menul mengangguk tanda menyanggupi permintaan Harun. Meski sebenarnya dia sedang diburu waktu tapi tidak mungkin menolak permintaan Harun, orang pertama yang menerimanya dengan baik di pantri. Bahkan Harun-lah yang dengan telaten membantu Menul mengenalkan berbagai perabot dan ruangan di tempat kerjanya. Harun pula orang pertama yang tidak terganggu dengan suara bindengnya.

“Makasih ya Nul. Kamu memang selalu bisa diandalkan,” ujar Harun sambil memberikann dua kantong kresek dagangannya.

“Iya Mas. Sama-sama.”

.           Menul mengelus dada, mencoba menghadirkan keikhlasan dengan apa yang akan dijalaninya. Menul selalu percaya bahwa semua sudah ada yang mengaturnya. Kalau dia ikhlas menjalani, maka dia akan mendapat dua-duanya. Mendapat ketenangan sekaligus mendapat nilai baik di hadapan Tuhan. Menul sangat yakin kalau kebaikan sekecil apapun akan selalu menghadirkan kebaikan bagi pelakunya. Entah seketika atau harus tertahan beberapa lama. Tapi dia sangat percaya itu. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya.

###

Anto memeriksa ruangan Andre. Sebagai satpam yang kebagian shift terakhir dia harus memastikan kalau ruangan kerja atasannya itu harus terbebas dari barang yang tidak seharusnya ada di ruangan Andre. Meski Andre terbilang ceroboh dan selengekan, tetapi dia termasuk orang yang paling risih kalau melihat sampah berserakan. Terlebih di dalam ruangannya.

Padahal kalau dipikir-pikir, bakal ada orang pantri yang akan membereskannya. Tapi Anto lebih memilih mencari aman karena Andre sering kali datang ke kantor dengan tidak terduga. Terlebih Dodo selalu menekankan agar Anto tidak boleh lupa menjadwalkan aktifitas itu sebelum pulang. Makanya, Anto harus memastikan ruangan Andre “beres” kalau dia tidak ingin mendapat penilain jelek dari atasannya itu.

“Habis borong buku kayaknya Pak Andre ini,” guman Anto sambil memunguti plastik bekas pembungkus buku. Dengan cekatan beberapa sampah plastik dan kertas sudah masuk ke keranjang sampah.

Sejurus kemudian pandangan Anto tertuju pada kardus. Diambilnya kardus bekas wadah untuk membawa buku itu. Ada suatu terjatuh dari kardus saat Anto mengambilnya. Anto bergegas mengambilnya. Dibukanya notes merah jambu itu. Baru di lembar pertama Anto buru-buru menutupnya lagi. Dia tidak mau mengetahui lebih banyak isi notesnya.

“Ini tidak mungkin dibuang oleh Pak Andre. Pasti ini terjatuh saat Pak Andre meletakkan kardus.” Anto menjawab sendiri pertanyaan yang berkelebat di pikirannya. Demi amannya, Anto lalu menaruh notes merah jambu itu di tas kerja Andre yang ada di atas meja kerja.

Anto berpikir, kalau dia taruh di meja, salah-salah ada orang pantri yang akan mengintip isinya. Tentu akan tidak baik jadinya. Iya kalau hanya tulisan biasa. Kalau ada rahasia di dalamnya, tentu itu hanya akan jadi makanan empuk bagi orang-orang yang tidak suka pada atasannya itu. Anto bergegas keluar dari ruangan Andre dengan keranjang sampah di tangan kanan dan kardus di tangan kiri. Setelah meletakkan bawaannya di tempat yang seharusnya, Anto segera menuju ke pos jaga.

            Baru saja Anto sampai di pos jaga dan bersiap pulang, Menul tergopoh-gopoh memasuki pintu gerbang. Dia berhenti sejenak. Tetapi sejurus kemudian dia ayunkan langkahnya. Dia ragu untuk menanyakan perihal notes merah jambu pada Anto. Iya kalau Anto melihatnya, kalau tidak, tentu hanya akan menambah daftar orang-orang yang bakal tahu notes merah jambunya. Terlebih perhatian Anto sedang tertuju pada acara berita di televisi. Makanya, Menul merasa lebih baik segera memeriksa ruangan Andre.

            “Wah, ternyata Pak Andre baru saja memborong buku.” Menul berkomentar lirih begitu dia mendapati rak buku itu sudah dipenuhi dengan berbagai buku tebal. Pandangannya kemudian ditebar ke semua isi rak itu, berharap notes merah jambunya terselip di antara deretan buku itu.

            “Ya tidak mungkin to Nul. Mana pantas dan mana mungkin buku jelek itu akan disandingkan dengan buku-buku bagus itu. Dibakar, baru mungkin.” Menul mengomentari dirinya saat menyadari notes yang dia cari tidak ada di deretan buku Andre. Menul mendesah panjang. Pandanganya ditebar ke seluruh ruangan, berharap notesnya masih di ruangan itu. Tapi meski sudah dia jelajahi isi ruangan itu tidak didapati juga notesnya.

            Pandangan Menul tertuju pada tas kerja Andre. Menul tersenyum kecil. Harapan besar dia sematkan di tas kerja itu. Perlahan tangannya meraih tas itu. Tetapi sejurus kemudian Menul mengurungkan niatnya.

            “Tidak mungkin Nul. Tas itu terlalu berharga untuk sebuah notes yang sama sekali tidak ada nilainya,” Menul berbicara pada dirinya sendiri. “Yang ada malah nanti aku yang disalahkan kalau ada apa-apa dengan tas itu." Menul bergegas meninggalkan ruangan setelah yakin kalau yang dicarinya tidak ada. Dia segera menuju keranjang sampah. Mengobrak-abriknya. Tapi tidak menemukannya.

            “Apa mungkin Pak Andre membawanya pulang ya? Ah, tidak mungkin. Itu sampah buat Pak Andre. Atau Mas Dodo yang merawatnya? Dia kan tahu kalau notes merah jambu itu milikku?”

            Senyum mengembang di bibir Menul. Meski tidak terlihat manis, tapi di hati Menul sedang tersemat sebuah pengharapan besar. Harapan bahwa notes itu sedang di tangan Dodo membuat Menul merasa sedikit nyaman. Tapi meski begitu Menul tidak segera menelpon Dodo. Dia yakin Dodo masih tidur. Menul tidak ingin mengganggu tidur Dodo hanya untuk sesuatu yang buat Dodo pasti hanya masalah sepele.

            Menul harus segera bersiap. Waktu sudah makin siang. Sebentar lagi para pegawai sudah akan berdatangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status