Share

CHAPTER 6

Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.

Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.

Mereka sedang berada di apartemen Eiji, karena di hari sabtu dan minggu semua mahasiswa Nakagawa Daigaku diizinkan pulang ke rumah masing-masing, Yuko kerap kali menghabiskan waktu liburan itu dengan menginap di apartemen kekasihnya, seperti semalam.

Terhitung satu bulan berlalu sejak insiden yang menimpa Eiji dan Izumi di kamar asrama Yuko tanpa sepengetahuan gadis itu. Hidup Eiji baik-baik saja sekarang bahkan sudah kembali normal karena pria itu berpikir tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan masalah tersebut. Semuanya selesai begitu saja tanpa menimbulkan masalah yang besar. Meskipun bayangan wajah Izumi masih sering menyusup masuk ke dalam pikirannya tanpa permisi, Eiji sudah bisa mengontrol dirinya dari rasa bersalah pada gadis itu maupun pada Yuko.

Eiji yang merasa tangannya semakin pegal, sedikit menggeserkan tubuh dan sepertinya pergerakan ringannya itu berhasil membuat partner tidurnya terbangun. Yuko membuka kedua mata yang sejak tadi terpejam, gadis itu mengulas senyum ketika tatapannya saling bersinggungan dengan Eiji.

“Selamat pagi, Sayang,” gumam Yuko pelan.

“Hm, pagi juga. Tidurmu nyenyak?”

“Sangat. Aku lelah sekali. Semalam kau ganas sekali, Sayang.” Yuko sedikit menggeser tubuh, kini menjadikan dada Eiji sebagai bantalan. Tatapan gadis itu tertuju pada layar televisi yang rupanya sedang menayangkan seputar gossip tentang selebriti. Yuko mendengkus tatkala mendengar kabar tentang seorang aktor yang tertangkap basah menghamili salah satu fans-nya.

“Ngomong-ngomong soal menghamili, aku dengar istri Ito sedang mengandung ya?”

Eiji mengernyitkan dahi seolah-olah ucapan Yuko itu membuatnya terheran-heran. “Ya. Dari mana kau mengetahui itu?”

“Dari Shuji,” jawab Yuko. “Dia menghubungiku kemarin.”

Eiji mengulas senyum miring sembari menggerakan tangan yang masih terasa pegal karena berjam-jam menopang kepala Yuko yang lumayan berat. “Kau dan Shuji kelihatannya sangat dekat. Kalian sering berkomunikasi di belakangku?”

Mendengar pertanyaan Eiji, Yuko memalingkan tatapan dari layar televisi, dia mendongak menatap lurus pada wajah sang pacar. “Kenapa memangnya? Jangan bilang kau cemburu pada Shuji? Hei, dia itu sahabatmu. Jadi, bagiku dia juga sahabatku.”

Eiji menggelengkan kepala, “Tidak. Siapa yang cemburu? Maksudnya aku senang kau dekat dengan teman-temanku. Terutama Shuji karena dia memang sedang membutuhkan teman untuk menghiburnya.”

“Menghiburnya dari apa?” Yuko tampak tak paham, terlihat dari kedua alisnya yang menyatu.

“Karena dia sedang patah hati. Dia jatuh cinta pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain.”

Seolah-olah ucapan Eiji begitu mengejutkannya, Yuko melebarkan kedua mata. “Benarkah? Memangnya siapa wanita yang dicintai Shuji itu? Dia tidak pernah menceritakannya padaku.”

“Jangankan padamu, padaku dan yang lainnya saja dia tidak pernah bercerita.”

Yuko merespons hanya dengan gumaman disertai anggukan kepala berulang kali.

“Jika membicarakan tentang bayi, bagus sekali jika dia tumbuh di sini.” Eiji berucap demikian sembari mengusap ringan perut Yuko di bagian bawah dengan salah satu tangannya.

Yuko menggelinjang karena merasa geli. “Kenapa? Apa ayahmu masih mendesakmu untuk segera menikah dan memberikan keturunan untuk keluarga Nakagawa?”

Eiji menipiskan bibir, terlihat enggan membicarakan masalah ini, tapi karena Yuko sudah membahasnya terlihat jelas Eiji mencoba menanggapi. “Ya, kira-kira begitu. Mau bagaimana lagi, aku ini satu-satunya anak laki-laki di dalam keluarga. Jadi ya …” Eiji tak melanjutkan ucapan, pria itu hanya mengangkat kedua bahu.

“Aku jadi merasa bersalah padamu, Eiji. Maaf ya karena aku belum bisa menikah denganmu sampai kuliahku lulus. Tapi aku janji, tahun ini setelah aku lulus kuliah kita akan langsung menikah. Aku sudah mengatakan ini juga pada Paman Kazuto, aku pikir dia sudah mengerti dan tidak mendesakmu lagi untuk cepat-cepat menikah.” Raut wajah Yuko menyiratkan rasa bersalah, penyebab Eiji belum mengabulkan permintaan ayahnya untuk segera menikah dan memberikan keturunan untuk keluarga Nakagawa karena dia yang selalu menolak setiap kali Eiji melamarnya. Kuliahnya yang tinggal satu tahun lagi menjadi alasan Yuko tak ingin cepat-cepat menikah. Bagi gadis itu menyelesaikan pendidikannya merupakan prioritas utama.

“Iya, tidak masalah. Kurasa ayah juga sudah memahaminya walau terkadang dia masih sering membahas tentang bayi di depanku. Aku malas jika ayah sudah membahas itu makanya bagus sekali jika di dalam rahimmu ada calon bayiku yang tumbuh.”

Yuko terkekeh kecil, “Untuk saat ini, itu mustahil. Aku tidak mungkin mengandung, Sayang.”

Merasa heran dengan perkataan Yuko, selain itu Eiji baru menyadari sudah sering bercinta dengan Yuko tapi gadis itu tak pernah menunjukan tanda-tanda mengandung anaknya, dia mulai terheran-heran. “Kenapa kau bisa seyakin itu? Lagi pula, aku heran kita sudah sering melakukannya tapi kau tidak kunjung mengandung.”

Senyuman lebar yang terulas di bibir Yuko benar-benar mengundang kebingungan dan tanda tanya besar di benak Eiji. “Kau ingin tahu alasannya?” Sehingga saat Yuko bertanya demikian, tanpa ragu Eiji mengangguk, “Ya. Aku ingin tahu,” sahutnya.

Yuko menjauhkan diri tanpa kata, dia meraih tas yang diletakan di nakas samping kiri. Yuko lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan menyerahkannya pada Eiji. Eiji semakin kebingungan saat sebuah pil berukuran cukup besar kini berada dalam genggaman tangannya. “Apa ini?” tanya pria itu.

“Pil pencegah kehamilan. Aku selalu meminumnya setiap kali kita bercinta, jadi mustahil aku akan mengandung.”

Tatapan Eiji tertuju sepenuhnya pada pil di telapak tangan. Jadi, obat itukah yang membuat Yuko tak kunjung mengandung anaknya?

“Aku tidak ingin mengandung di luar nikah. Aku tidak ingin seperti teman di kampusku.”

Tatapan Eiji berpaling, kini dia menatap Yuko yang kembali membaringkan diri di sampingnya dan menjadikan dada bidangnya sebagai bantalan lagi. “Memangnya ada temanmu yang mengandung di luar nikah?”

Yuko mengangguk-anggukan kepala, “Ya. Aku kasihan padanya. Dia itu gadis polos dan pendiam. Aku pernah bertemu dengan pacarnya, sekilas juga aku sudah bisa menebak pria itu berandalan. Tapi temanku itu sangat mencintainya. Dia bercerita padaku, mereka pernah melakukannya. Padahal hanya sekali tapi kasihan sekali temanku karena dia dinyatakan mengandung belum lama ini.”

Kedua mata Eiji melebar sempurna, “Temanmu itu hanya sekali melakukan hubungan intim dengan pacarnya?” tanyanya, memastikan telinganya tak salah mendengar.

“Ya. Hanya sekali. Karena pacarnya itu tidak bisa dihubungi lagi setelah merenggut mahkota berharga milik temanku karena itu aku bilang kasihan sekali temanku itu.”

“Memangnya bisa ya langsung hamil hanya dengan sekali melakukannya?”

Mendengar pertanyaan Eiji itu, Yuko seketika tertawa, merasa sang pacar begitu polos sehingga hal seperti itu saja membuatnya terkejut. “Tentu saja bisa, Sayang. Sangat bisa. Apalagi jika pasangan itu melakukannya tanpa pengaman atau tanpa mengkonsumsi obat pencegah kehamilan. Banyak pasangan yang langsung berhasil mendapatkan hasil di percobaan pertama. Ya, meskipun banyak pula yang kesulitan untuk memiliki anak walau mereka sudah rutin melakukan hubungan intim. Dengan kata lain ada campur tangan Tuhan di baliknya, bukan?”

Eiji tak mengatakan apa pun, tanpa sepengetahuan Yuko, di balik selimut salah satu tangan Eiji sedang terkepal erat entah karena alasan apa.

“Oh, ya. Eiji, hari ini apa rencanamu? Aku akan pulang ke rumah karena Ibu memintaku pulang. Mungkin ingin memberiku oleh-oleh karena dia baru pulang dari Korea kemarin. Kau mau ikut denganku? Orang tuaku pasti senang karena sudah satu bulan lebih kau tidak pernah main lagi ke rumah.”

Karena tak mendengar Eiji kunjung menyahutinya, Yuko mengangkat kepala dan menatap lurus wajah pria itu, “Eiji.”

“Aku tidak bisa. Hari ini ada pertemuan dengan manager untuk membicarakan rencana tour perdana kami ke luar negeri. Aku dan teman-temanku juga harus latihan.”

Yuko memekik kaget mendengarnya, tampak tak suka. “Hah? Kalian jadi melakukan tour ke luar negeri bulan ini?”

“Tentu saja.”

Yuko berdecak, secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. “Artinya kita akan jarang bertemu, kan?”

“Andai saja kau sudah menjadi istriku, aku pasti akan mengajakmu ke mana pun kami melakukan tour.”

Yuko memeletkan lidah, dia tak akan terpancing karena tahu Eiji sedang kembali membujuknya untuk cepat-cepat menikah dengannya. “Hanya perlu bersabar satu tahun lagi. Aku tidak masalah. Lagi pula, sepertinya cukup seru menjalani hubungan jarak jauh beberapa bulan selama kau melakukan tour ke luar negeri. Aku tidak keberatan asalkan setiap hari kita masih bisa berkomunikasi. Oh, iya. Satu lagi. Selama kau tidak lupa membelikanku oleh-oleh dari semua negara yang kau datangi, aku tidak keberatan kita berjauhan.”

Eiji menggeram tertahan mendengar Yuko begitu santai menanggapi mereka yang kemungkinan besar akan jarang bertemu setelah ini.

“Jam berapa kau pergi?”

“Sekitar jam sembilan,” jawab Eiji.”

Detik itu juga Yuko menatap ke arah jam yang terpasang kokoh di dinding, hembusan napas lega terdengar setelah itu. “Masih ada tiga jam lagi sebelum kau pergi. Kita masih memiliki waktu untuk kembali tidur. Ayo, tidur lagi, Sayang. Aku masih mengantuk.”

Eiji mengulas senyum tipis, dia merangkul tubuh Yuko dalam dekapan hangatnya, “Ya, Sayang. Tidurlah.”

Yang terjadi setelah itu adalah Yuko yang terlelap nyaman dalam dekapan Eiji. Berbanding terbalik dengan Eiji yang tetap terjaga karena percakapannya dengan Yuko tadi seketika membuatnya teringat pada Izumi. Berharap tak akan terjadi sesuatu yang buruk pada Izumi. Pikirannya yang tak bisa lepas sedikitpun dari sosok Izumi membuat Eiji tak mampu lagi memejamkan mata dan hanya kecemasan yang dia rasakan saat ini.

***

Dilihat dari sudut mana pun ruangan dapur itu terlihat luas dan bersih, dengan dilengkapi berbagai peralatan untuk memasak. Izumi terlihat sedang sibuk sendirian di sana, tengah memperlihatkan keahlian tangannya memegang pisau tajam nan tipis untuk membuat fillet ikan segar. Ikan tuna yang dipilih karena sepertinya gadis itu berencana membuat sashimi yang menjadi makanan favorit majikannya.

Awalnya, tak ada kesalahan karena Izumi yang memang sudah ahli dalam hal memasak atau memfillet ikan. Namun, hal tak terduga terjadi ketika Izumi merasa pandangannya tiba-tiba buram dan kepalanya sedikit pusing menyebabkan pisau di tangannya tergelincir dari ikan dan mengenai jarinya. Izumi meringis karena merasakan perih pada jari telunjuknya yang teriris bilah pisau yang tajam. Darah segar berbau anyir menetes keluar dari luka itu, Izumi bergegas mencucinya di wastafel.

“Izumi, Ibu …”

Endoo Kazumi tak melanjutkan ucapannya begitu melihat sang putri sedang membersihkan jarinya yang berdarah dengan air mengalir dari keran wastafel. Wanita paruh baya itu bergegas menghampiri. “Tanganmu kenapa, Izumi?”

“Terkena pisau, Bu. Tapi hanya luka kecil.”

“Luka kecil apa? Darahnya keluar terus itu.”

Kazumi bergegas mengambil kotak P3K yang diletakan di salah satu laci di dalam dapur. Setelah itu, membantu Izumi membersihkan luka dengan alkohol dan meneteskan obat sebelum memasangkan plester pada luka itu.

“Kenapa tanganmu bisa terkena pisau? Biasanya kau tidak pernah melakukan kesalahan seperti ini.”

“Kepalaku tiba-tiba pusing tadi, Bu. Tubuhku juga sedikit lemas,” jawab Izumi seraya menggaruk belakang kepala yang sebenarnya tak terasa gatal.

“Ibu perhatikan wajahmu juga pucat. Kau sedang datang bulan ya? Biasanya kau terlihat pucat dan lemas begini karena sedang datang bulan. Darah yang keluar banyak di hari pertama, kan?”

Karena Izumi sama sekali tak menanggapi pertanyaannya, Kazumi mengibaskan tangan di depan wajah sang putri yang terlihat sedang melamun. “Kenapa jadi melamun? Ibu sedang bertanya padamu, Izumi?”

Izumi menggelengkan kepala, “Maaf, Bu. Aku mau melanjutkan memfillet ikan.”

“Tidak perlu. Biar Ibu saja yang melanjutkan. Kau lebih baik pergi ke mini market sebentar. Kecap asin dan beberapa sayuran habis, jadi tolong Izumi belikan sebentar ya.” Dengan terburu-buru Kazumi merogoh saku celemek yang dia kenakan lalu menyerahkan secarik kertas pada Izumi. “Ini, daftar sayuran yang harus kau beli. Jangan lama ya belanjanya, kita butuh cepat karena Nona Yuko sebentar lagi pasti datang. Nyonya berpesan ingin menyiapkan sashimi kesukaan Nona Yuko saat mereka makan siang bersama.”

Izumi hanya merespons dengan senyum, menerima secarik kertas yang diulurkan ibunya tanpa ragu, setelah mengambil dompet, gadis itu pun melenggang pergi untuk melaksanakan perintah sang ibu yang menyuruhnya berbelanja.

Izumi mengendarai sepeda menuju mini market yang berada di ujung komplek perumahan elit tersebut. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Izumi sehingga dia kini tiba di mini market.

Dengan cekatan Izumi mengambil berbagai sayuran yang diminta ibunya sehingga keranjang belanjaannya kini telah penuh. Awalnya ingin langsung pergi menuju meja kasir, tapi saat dirinya tiba di rak khusus obat-obatan, Izumi seketika menghentikan langkah. Terutama ketika dia melihat sebuah alat untuk mengetes kehamilan tertata rapi di rak tersebut.

Izumi meneguk ludah, tangannya yang gemetaran mengambil salah satu testpack. Entah kenapa dia merasa membutuhkannya karena ucapan ibunya tadi menyadarkannya akan sesuatu.

Izumi baru menyadari dirinya belum datang bulan padahal masanya sudah terlewati sekitar dua minggu yang lalu. Sekarang dia mengkhawatirkan sesuatu. Ya, sesuatu yang tak dia harapkan tapi tetap harus dia pastikan. Setelah menepis keraguan dalam hati berulang kali, Izumi akhirnya membeli salah satu testpack. Ya, dia harus memastikannya dan berharap semoga firasat buruk yang sedang dia rasakan sama sekali tidak terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status