Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.
Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.
Kini, hanya keputus
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Tokyo, salah satu kota modern yang tidak pernah tidur karena keramaiannya meski di malam hari sekalipun. Di dalam Tokyo Dome … sebuah stadion bisbol yang berada di Bunkyo, menjadi pusat keramaian malam ini. Dari luar, terlihat lampu yang menyorot terang sangat mampu memanjakan indera penglihatan siapa pun yang menatapnya. Namun, jika masuk ke bangunan menyerupai telur raksasa itu maka akan terlihat kemeriahan yang sesungguhnya. Tribun penonton berkapasitas 55.000, kini tengah dipenuhi oleh orang-orang yang sedang memegang ponsel yang sengaja dibiarkan menyala, mereka mengangkat ponsel tinggi di udara seraya menggoyang-goyangkannya mengikuti irama musik yang sedang mengalun. Semua lampu dimatikan sehingga cahaya dari layar ponsel yang menyala ibarat lampu hias yang sangat indah dipandang mata.Tepat di area tengah, terdapat sebuah panggung berukuran besar. Sebuah panggung di mana berbagai jenis lampu sorot tengah bersinar dengan terang. Berdiri di atas panggung megah it
Gadis yang terlihat berdiri gelisah sehingga salah satu kakinya tiada henti menghentak lantai itu merupakan Nishimura Yuko. Putri bungsu keluarga Nishimura yang merupakan pemilik Nishimura Industries. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang industri alat-alat elektronik, food dan furniture. Tahun ini, Yuko masih menuntut ilmu di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi, Nakagawa Daigaku (Universitas Nakagawa).“Duh, kenapa mereka lama sekali ya? Kita sudah menunggu hampir satu jam di sini.” Terhitung ini kesekian kalinya Yuko menggerutu karena sosok Eiji yang sedang dia tunggu tak kunjung keluar dari pintu yang dia yakini merupakan pintu keluar untuk personil Black Shaddow setelah selesai manggung.Izumi tersenyum maklum karena dia tahu persis Yuko memang tidak sabaran. “Mungkin sebentar lagi, Nona Yuko.”Yuko menghela napas panjang, “Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Menyebalkan.”“Yuko!&
Di sore hari yang terlihat mendung, Yuko bergegas turun dari mobil yang dia kendarai begitu memarkirkannya cukup jauh dari tempat yang dia tuju. Bukan tanpa alasan dia memarkirkannya cukup jauh, melainkan karena tempat parkir kafe yang dia tuju sudah penuh oleh kendaraan pengunjung lain.Yuko berlari menghampiri bangunan terdiri dari dua lantai itu karena menyadari dirinya sudah terlambat. Teman-temannya semasa masih duduk di senior high school, pasti sudah menunggunya di dalam dengan tidak sabar. Dia memang sudah membuat janji dengan teman-teman dekatnya untuk bertemu di salah satu kafe yang berada di kawasan Meguro, Tokyo. Factory & Labo Kanno Coffee nama kafe tersebut. Sebuah kafe yang biasa digunakan para mahasiswa seperti Yuko untuk mengerjakan tugas atau mengobrol dengan nyaman karena nuansa di dalam kafe memang sangat mendukung.Begitu menginjak halaman depan kafe, Yuko sudah disuguhkan beberapa lantai yang didesain layaknya sebuah laboratorium. Bah
Seperti yang diperintahkan Yuko padanya sebelum pergi, Izumi sejak tadi hanya meringkuk di tempat tidur. Dengan sengaja menutupi sekujur tubuh dengan selimut tebal, hanya sedikit kepalanya yang dia sisakan agar saat pemeriksaan berlangsung terlihat dirinya seperti Yuko yang sedang tertidur.Izumi bisa bernapas lega sekarang karena pemeriksaan itu baru selesai satu jam yang lalu. Izumi yang sedang berpura-pura tidur, bisa mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Siluet bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu bisa dilihat Izumi meskipun dengan ekor mata, itu memang Ibu Asrama yang melakukan patroli seperti yang dikatakan Yuko. Tidak lama wanita paruh baya itu berdiri karena dia bergegas pergi setelah memastikan sang pemilik kamar sudah berbaring di ranjang tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Izumi yang sedang berbaring alih-alih Yuko sebagai sang pemilik kamar.“Syukurlah semuanya berjalan lancar.”Izumi berniat memejamkan ma
Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Keg