Share

CHAPTER 5

Eiji menemukan Izumi sedang membereskan tempat tidur begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai membersihkan diri, Eiji berniat pergi sekarang juga karena dia tak tahan berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Izumi. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya setiap kali menatap wajah Izumi karena dia menyadari sudah merenggut sesuatu yang berharga miliknya.

Tanpa mengatakan apa pun, Eiji berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Memeriksa sejenak ponsel itu untuk memastikan tak ada panggilan atau pesan penting yang masuk, dia lantas memasukannya ke dalam saku celana. Masih dengan rasa canggung yang melanda, juga rasa bersalah yang menggelayuti hati, Eiji menatap ke arah Izumi yang masih sibuk melipat selimut tebal milik Yuko.

Eiji berniat untuk berpamitan karena dia ingin pergi sekarang juga. “Izumi ….”

“Tuan Muda Eiji ….”

Baik Eiji maupun Izumi sama sekali tak melanjutkan ucapan, sama-sama terkejut karena mereka bicara bersamaan.

“Kenapa?” tanya Eiji.

“Kau saja duluan.”

Eiji menggeleng tegas, “Kau mau bilang apa? Katakan saja.”

“Tuan Muda Eiji duluan.”

Eiji berdecak, mulai kesal. “Aku ingin berpamitan. Aku harus pulang sekarang. Kau juga pulanglah. Tugasmu menggantikan Yuko di sini sudah selesai, bukan?”

“Tapi sebelum pulang sepertinya kita harus mengganti seprainya dulu. Jangan sampai Nona Yuko melihat bekas darah itu.”

Eiji mengikuti arah yang ditatap Izumi, pada bercak darah yang terlihat jelas membekas pada seprai. Dia sependapat dengan Izumi, mereka memang tidak bisa pergi begitu saja sebelum mengganti seprai tersebut. Jangan sampai mereka meninggalkan jejak apa pun yang akan membuat Yuko mencurigai sesuatu.

“OK. Kau tunggu di sini. Aku akan meminta seprai yang baru pada pengelola asrama.”

Izumi mengangguk patuh, menatap kepergian Eiji dalam diam. Izumi mendudukan diri dengan lesu di atas ranjang begitu pintu ditutup oleh Eiji yang sudah meninggalkan kamar. Gadis itu menghela napas berulang kali, kini rasa sesal mulai menggelayuti hatinya. Dia merasa sangat jahat pada Yuko karena sudah berselingkuh dengan kekasihnya. Padahal Yuko sudah begitu baik padanya, sudah menganggap teman di saat dirinya hanyalah seorang pembantu di rumah keluarga Yuko. Tiba-tiba saja semua kebaikan Yuko terngiang-ngiang di benak Izumi. Kedua matanya yang tak lagi meneteskan air mata itu pun kini kembali berkaca-kaca. Sungguh, andai waktu bisa diputar ulang, dia akan memperbaiki semuanya. Dia akan melakukan perlawanan apa pun agar kejadian semalam bersama Eiji tidak terjadi.

“Nona Yuko maafkan aku,” gumamnya pelan disertai lelehan air mata yang berjatuhan membasahi pipinya yang terlihat pucat.

Izumi bergegas menghapus jejak air mata dengan punggung tangan begitu mendengar suara pintu dibuka seseorang dari luar. Sosok Eiji yang membawa plastik berisi kemasan seprai baru yang masih disegel, baru saja muncul dari balik pintu.

“Ini, ganti seprainya dengan yang ini,” pinta Eiji seraya mengulurkan seprai baru tersebut pada Izumi. Tanpa ragu Izumi menerimanya lantas mengganti seprai bernoda bercak darah itu dengan seprai pemberian Eiji.

Tak sulit bagi Izumi mengganti seprai karena itu sudah menjadi pekerjaannya di rumah sang majikan, dalam waktu singkat kini seprai baru sudah terpasang rapi. Izumi melipat seprai kotor, berencana akan membawanya ke rumah untuk dicuci.

“Buang saja seprai itu.”

Gerakan tangan Izumi yang berniat memasukan seprai kotor ke dalam plastik pemberian Eiji seketika diurungkan.

“Aku rasa urusan kita sudah selesai, bukan?”

“Iya, Tuan Muda,” jawab Izumi, merasa benar-benar canggung.

“OK. Aku pergi dulu. Aku ingatkan sekali lagi jangan membocorkan masalah ini pada siapa pun. Aku percaya kau bisa menjaga mulutmu, Izumi.”

Izumi tersentak, terkejut bukan main karena Eiji berkata demikian, terlebih nada suaranya yang terdengar ketus berhasil membuat relung hati gadis itu kembali terluka. “Iya. Aku mengerti,” sahutnya dengan kepala tertunduk karena tidak berani menatap wajah Eiji.

Eiji pun melenggang pergi menuju pintu. Namun, sesaat sebelum membuka pintu, dia kembali menoleh ke belakang … menatap sosok Izumi yang masih berdiri mematung di tempat.

“Izumi, sekali lagi aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja.”

Izumi mengulas senyum, dia sama sekali tidak menyalahkan Eiji atas kejadian ini karena dia tahu dirinya yang paling bersalah di sini. Dia yang dalam kondisi sadar seharusnya mampu menghentikan kesalahan ini agar tidak terjadi, tapi perasaan cinta yang Izumi rasakan pada pria itu telah membuatnya buta dan lupa diri. Sekarang tidak ada orang yang pantas disalahkan selain dirinya.

“Tidak apa-apa. Ini bukan salah Tuan Muda. Seperti yang kau katakan, ini hanya sebuah kesalahan bodoh yang harus dilupakan.”

“Terima kasih atas pengertiannya. Selamat tinggal.”

Eiji benar-benar melangkah pergi setelah itu, meninggalkan sosok Izumi seorang diri yang kembali meneteskan air mata karena meratapi kebodohannya semalam.

***

Semua pasang mata tengah fokus menatap layar besar di depan yang menampilkan adegan pertarungan yang begitu epik antara dua orang samurai. Gerakan mereka begitu gesit, saling mengayunkan senjata yang menjadi ciri khas dari Negara Jepang tersebut. Semua orang menahan napas tatkala salah satu adegan dalam film itu memperlihatkan sesuatu yang membuat ngilu. Seperti leher salah satu samurai yang tertebas.

Jika semua penonton di dalam bioskop tengah merasakan ketegangan film yang sedang diputar, tidak demikian dengan seorang pria yang terlihat tidak fokus menonton. Terlihat dari sorot matanya yang kosong seolah-olah sedang ada beban berat yang dipikirkannya. Pria itu adalah Eiji.

Seperti kebanyakan pasangan kekasih, di malam minggu seperti saat ini, Eiji menemani Yuko menonton film di bioskop. Gadis itu yang memintanya karena ingin menonton film bertema samurai yang perdana ditayangkan malam ini.

Yuko dan penonton lain tampak menikmati film itu, terhanyut dalam setiap adegan para pemain film yang begitu handal dan menghayati peran masing-masing. Eiji sama sekali tak merasa antusias padahal film bergenre action seperti itu sebenarnya tipe film favoritnya. Bukan tanpa alasan dia menjadi banyak melamun, tidak lain karena tak bisa berhenti memikirkan kejadian yang menimpa dirinya dan Izumi. Walau dua hari telah berlalu semenjak kejadian itu, tetap saja sulit bagi Eiji menepis semua rasa bersalahnya baik pada Izumi, terlebih pada Yuko. Bertemu dan menghabiskan waktu dengan Yuko seperti sekarang justru membuat hati Eiji tak nyaman. Dia merasa begitu berdosa karena sudah mengkhianati sang pacar.

Dua jam berlalu dengan cepat, film pun selesai diputar. Eiji dan Yuko sudah keluar dari studio bioskop dan kini mereka tengah duduk santai di sebuah kafe. Salah satu kafe yang berada di dalam Mall yang mereka datangi untuk menonton di bioskop. Secangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap putih sudah terhidang di meja, begitu pun beberapa camilan ringan sebagai pelengkap untuk pasangan kekasih itu bersantai.

“Tadi itu filmnya bagus dan seru ya. Sesuai ekspetasi. Sama sekali tidak mengecewakan. Aku tidak menyesal menunggu lama untuk penayangan film ini,” ucap Yuko memecah keheningan di antara mereka karena sejak memasuki kafe, Eiji tak mengeluarkan suara barang sepatah kata pun.

Yuko mengernyitkan dahi karena dia tak mendengar Eiji menyahutinya, terlebih karena dia menyadari pria itu sedang melamun. Yuko berdecak seraya tangannya sedikit menggebrak meja. Sebuah tindakan spontan yang sukses membuat Eiji tersentak kaget dan tersadar dari lamunan panjang.

“Kau melamun?”

Eiji menggelengkan kepala, “Tidak. Siapa bilang aku melamun?” Eiji yang salah tingkah karena tertangkap basah sedang melamun itu pun memperbaiki letak topinya yang sedikit miring. Demi agar dirinya tak dikenali sebagai Eiji sang vokalis Black Shaddow yang sedang naik daun, Eiji sengaja melakukan penyamaran. Dia mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan kerah tinggi sehingga leher dan rambutnya tertutupi. Mengenakan topi yang senada dengan warna jaketnya, dia juga mengenakan kacamata hitam untuk menyamarkan wajah agar tak terlalu jelas bisa dilihat orang lain. Acara kencannya dengan Yuko akan berantakan jika sampai ada fans yang menyadari dirinya adalah sang vokalis band terkenal yang sedang digilai kaum hawa.

“Aku perhatikan sejak tadi kau melamun terus. Kau pikir aku tidak menyadarinya? Di dalam bioskop juga kau tidak fokus menonton film, kan?”

Eiji melebarkan mata, terkejut karena Yuko ternyata menyadarinya. “Siapa bilang? Aku tidak …”

“Sudahlah, jangan mengelak. Kau pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku? Kita sudah lama bersama, aku sudah tahu semua hal tentangmu, Eiji. Kau menyembunyikan sesuatu dariku, kan?”

Eiji tak tahu harus dengan cara apa menyembunyikan kegugupan yang sedang dia rasakan, kedua mata Yuko yang memicing tajam terlihat jelas gadis itu sedang mencurigai sesuatu. Apa sikapnya terlalu jelas terlihat bahwa dia merasa bersalah pada Yuko sehingga gadis itu menyadarinya?

“Kenapa diam? Benar kau menyembunyikan sesuatu dariku, Eiji? Sikapmu aneh seharian ini.”

“Dibanding aku, bukankah kau yang menyembunyikan sesuatu?”

Kali ini Yuko yang terbelalak kaget karena sorot mata Eiji yang sejak tadi kentara sedang melamun, kini menatapnya serius. Yuko meneguk ludah, tiba-tiba merasakan kegugupan. “Apa maksudnya? Kau ini bicara apa? Kenapa jadi balik bertanya padahal tadi aku yang sedang bertanya padamu?”

Eiji mendengkus, “Aku ingin bertanya padamu sekarang, dua malam yang lalu kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi? Kau pergi ke mana?”

Dalam hitungan detik, Eiji berhasil membalikkan keadaan. Beruntung dia mengingat kejadian di mana Yuko berkumpul dengan teman-temannya tanpa memberitahunya. Pembahasan ini sengaja dia utarakan sekarang hanya agar Yuko berhenti membicarakan masalah tadi. Ini tidak lain merupakan cara Eiji mengalihkan topik pembicaraan.

“I-Itu, aku …” Yuko menggulirkan bola mata, kentara gadis itu kebingungan untuk menjelaskan.

“Kau pikir aku juga tidak tahu apa pun tentangmu? Aku juga tahu dan bisa merasakan kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Jadi, bisa jelaskan alasanmu mengabaikan telepon dan pesan dariku dua malam yang lalu?”

Yuko pikir Eiji tak akan mempermasalahkan hal ini karena dua hari telah berlalu sejak kejadian itu dan sejauh ini Eiji tidak pernah membahasnya.

“Mana jawabanmu? Aku sedang menunggu, Yuko.”

Yuko menghela napas panjang, sepertinya dia memang harus mengakui segalanya atau Eiji tidak akan berhenti merongrongnya dengan pertanyaan. Yuko lantas mulai bercerita tentang dirinya yang menyusup keluar dari asrama dua malam yang lalu karena mengikuti acara pesta untuk merayakan ulang tahun salah satu sahabatnya.

“Oh, begitu. Terus kenapa kau tidak mengatakannya padaku sejak awal? Kau takut aku akan melarangmu?”

Yuko menggulirkan mata dengan gelisah, berusaha memalingkan tatapan ke arah lain asal tidak menatap wajah Eiji yang terlihat menatapnya tajam, penuh intimidasi. “Itu acara khusus untuk wanita, pria tidak boleh ikut. Jadi ….”

“Jadi, kau tidak memberitahuku karena takut aku akan meminta ikut?” Eiji menggelengkan kepala, “Padahal jika kau menjelaskan semuanya padaku, aku juga pasti akan mengerti. Kau tahu Yuko, akibat dari perbuatanmu yang merahasiakan hal itu dariku. Aku ….” Eiji nyaris mengatakan karena tindakan Yuko itu membuatnya mengalami kejadian yang sangat mengerikan dengan Izumi. Sebuah kesalahan fatal yang membuat hidup Eiji tak tenang lagi karena selalu dihantui rasa bersalah baik pada Yuko maupun pada Izumi yang kesuciannya dia renggut malam itu. Hingga detik ini Eiji masih menganggap semua kejadian itu bisa terjadi juga karena kesalahan Yuko yang tak memberitahunya. Seandainya dia tahu Yuko tidak ada di asrama, dia tidak mungkin menyusup ke sana dan sampai tidur bersama dengan Izumi.

“Aku minta maaf. Biasanya kan kau selalu memaksa untuk ikut apalagi jika tahu aku menghadiri acara pesta. Kau juga pasti melarangku jika tahu acaranya diadakan di sebuah bar malam.” Yuko mengulurkan tangan kanan untuk menyentuh tangan Eiji yang tergeletak di atas meja, tapi Eiji menolaknya. Pria itu menarik kedua tangannya dan hal itu membuat Yuko ketakutan bukan main. Dia takut Eiji marah.

“Eiji, maafkan aku. Aku menyesal sudah merahasiakan hal ini darimu. Aku janji mulai sekarang tidak akan merahasiakan apa pun lagi darimu. Ya, jangan marah.” Untuk menegaskan bahwa dia serius meminta maaf, Yuko menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Eiji, masa karena hal seperti ini kau marah padaku? Kau tidak mau memaafkan aku?”

“Kau tidak tahu saja akibat perbuatanmu itu sangat fatal untukku.”

Yuko mengerjapkan mata, sama sekali tidak memahami maksud ucapan Eiji yang menurutnya sangat aneh. “Memangnya apa yang terjadi padamu malam itu?” tanyanya, meminta penjelasan.

Yuko semakin merasa heran karena Eiji terlihat frustrasi di depannya, sampai pria itu melepas topi yang dia kenakan dan berulangkali menyugar rambutnya ke belakang.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu malam itu, Eiji?” Yuko kembali bertanya karena Eiji yang tak kunjung memberikan jawaban.

“Aku kesal karena kau tidak bisa dihubungi. Jadi, aku terlalu banyak minum dan mabuk berat.” Hanya sampai di sana yang diceritakan oleh Eiji karena mustahil dia menceritakan kejadian yang menimpanya setelah itu bersama Izumi. Walau dia merasa bersalah menyembunyikan masalah ini pada Yuko, Eiji melakukan ini semata-mata karena dia tidak ingin melukai perasaan Yuko. Gadis itu, sudah bisa dia tebak akan sangat terluka jika mengetahui perselingkuhannya dengan Izumi.

“Aku minta maaf. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya. Aku mohon.”

“Sudahlah, lupakan saja,” balas Eiji. “Lalu bagaimana kabar Izumi sekarang?”

Bukan hanya Yuko yang terheran-heran karena Eiji tiba-tiba membahas tentang Izumi. Eiji sendiri menggeram dalam hati karena pertanyaan itu spontan keluar dari mulutnya tanpa dia sadari.

“Maksudku, kau bilang tadi dia menggantikanmu di asrama, bukan? Apa semuanya berjalan sesuai rencana?” Dengan cepat Eiji meralat pertanyaan karena kebetulan Yuko memang menceritakan pula tentang dirinya yang meminta Izumi bersandiwara menggantikannya di asrama malam itu.

“Ya, semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Sandiwara Izumi juga tidak diketahui Ibu Asrama. Kami sangat beruntung.”

“Kau sudah bertemu dengan Izumi semenjak kejadian itu?” Ada alasan Eiji menanyakan ini, selain karena dia ingin mengetahui kabar Izumi setelah insiden yang menimpa mereka, dia juga ingin memastikan gadis itu menepati kesepakatan untuk tidak menceritakan masalah mereka pada orang lain, terutama pada Yuko.

“Sudah. Aku kemarin bertemu dengan dia karena aku pulang ke rumah. Kenapa? Tumben kau menanyakan tentang Izumi?”

Eiji memasangkan kembali topi di kepalanya tanpa Yuko sadari dia juga baru saja mengembuskan napas lega karena sepertinya Izumi baik-baik saja dan ucapannya bisa dipercaya.

“Tidak ada. Aku hanya heran kau tidak mengajaknya menonton bersama kita. Biasanya kan kau selalu mengajak pembantumu itu.”

“Huh, berapa kali sudah kukatakan, dia bukan hanya sekadar pembantu untukku. Lagi pula, aku hanya mengajaknya jika menonton konsermu atau jika sedang ada acara yang kau dan teman-temanmu adakan. Aku butuh teman karena itu mengajaknya. Jika kita sedang kencan berdua seperti ini, mana mungkin aku mengajaknya. Aku juga tidak mau momen romantis antara kita berdua terganggu oleh orang lain,” kata Yuko sembari mengedipkan sebelah mata. Yuko tertawa riang setelah itu, keceriaannya kembali karena lega Eiji sudah memaafkan kesalahannya.

Sedangkan bagi Eiji, dia berharap bisa selamanya selalu bersama dengan Yuko seperti ini, melihat senyuman dan keceriaan gadis itu selalu membuatnya nyaman. Ya, Eiji hanya bisa berharap semoga kisahnya dengan Yuko tak akan mendapat rintangan apa pun. Dia ingin secepatnya melupakan bayangan wajah Izumi yang entah kenapa selalu terlintas di kepalanya semenjak kejadian yang menimpa mereka malam itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status