Share

CHAPTER 8

Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.

Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.

“Sayang, aku turun sebentar ya?”

Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”

Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika aku membelikannya.”

Eiji baru mengetahui hal ini bahwa Izumi menyukai takoyaki. Pria itu menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan. “Jangan keluar dari mobil. Sebentar lagi lampunya berubah hijau. Kau ingin aku tinggal?”

Yuko mendengkus keras, “Huh, kau ini tidak sabaran sekali. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap akan membelikan takoyaki untuk Izumi.”

Setelah mengatakan itu, Yuko memang tidak turun dari mobil melainkan membuka kaca di sampingnya dan berteriak memanggil pemilik kedai. Dia memesan satu porsi takoyaki tanpa turun dari mobil. Eiji hanya menggelengkan kepala melihat tingkahlaku sang pacar yang terkadang memang senekat itu.

“Lihat, aku berhasil membeli takoyaki sebelum lampu merah berubah menjadi hujau, kan? Aku sudah bilang ….” Yuko memekik kaget tanpa mampu melanjutkan ucapannya karena Eiji yang tiba-tiba melajukan mobil dengan kecepatan tinggi tanpa aba-aba begitu lampu merah berganti menjadi hijau. Beruntung seatbelt yang dikenakan Yuko melindunginya dari insiden dirinya yang bisa saja terjengkang ke belakang karena cara menyetir Eiji yang ugal-ugalan.

“Pelan-pelan menyetir mobilnya. Bisa, kan?”

“Tidak bisa. Aku sedang buru-buru. Ini karena kau lama di kamar mandi tadi. Lihat, aku terlambat sekarang. Aku pasti kena omelan teman-temanku di studio.”

“Aku tidak peduli. Yang penting aku mendapatkan takoyaki ini. Izumi pasti suka.” Yuko tertawa, tak merasa bersalah sedikitpun walau perbuatannya membuat Eiji memang terlambat menghadiri pertemuan.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 20 menit, mobil kembali berhenti melaju. Alasannya karena mereka sudah tiba di depan rumah Yuko. Ya, meskipun dia sudah tahu akan terlambat mengikuti pertemuan, Eiji tetap memenuhi kewajibannya untuk mengantarkan sang pacar dengan selamat sampai di rumahnya.

“Kau mau mampir ke dalam dulu?” tanya Yuko, tetap bertanya meskipun dia sudah tahu Eiji akan memberikan jawaban seperti apa.

Bola mata Eiji berotasi, terhitung ini sudah ketiga kalinya Yuko bertanya demikian padanya. “Kau tidak bosan bertanya terus seperti itu padaku?”

“Kau ini sudah lama tidak main ke rumah. Kau tidak rindu pada orang tuaku?”

Eiji tertegun, sebenarnya ada alasan selama satu bulan ini dia tak pernah mampir lagi ke rumah Yuko. Selain karena jadwalnya yang memang padat akhir-akhir ini, dia juga enggan main ke rumah Yuko karena tak ingin bertatap muka dengannya. Izumi tentu saja orang yang dia maksud, yang sedang mati-matian Eiji hindari.

“Aku sedang buru-buru. Tolong sampaikan salamku pada orang tuamu.”

Menyadari tak ada gunanya dia membujuk Eiji karena hasilnya akan tetap nihil, Yuko pun memilih menyerah. Dia mendaratkan ciuman ringan di sudut bibir Eiji sebelum membuka pintu dan turun dari mobil mewah tersebut. “Baiklah, hati-hati di jalan. Nanti malam jangan lupa telepon aku.”

Eiji menanggapi hanya dengan mengangkat ibu jari, lantas dia kembali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi meninggalkan komplek perumahan Yuko.

Yuko berjalan memasuki pintu gerbang rumahnya setelah memastikan mobil Eiji tak terlihat lagi. Hal pertama yang dia lakukan begitu masuk ke dalam rumah adalah mencari sosok Izumi. Gadis itu berjalan cepat menuju dapur karena berpikir Izumi mungkin sedang berada di sana.

“Izumi!”

Namun, tebakan Yuko salah karena yang dia temukan di dapur adalah Kazumi, alih-alih Izumi yang dia cari.

“Nona Yuko sudah datang rupanya.”

Yuko tersenyum lebar, dia menghampiri Kazumi dan memeluknya sebentar, tak peduli meski tubuh wanita paruh baya itu menguarkan aroma tak sedap karena terlalu banyak berkeringat sehabis terlalu lama berdiri di depan kompor yang panas karena sedang memasak.

“Izumi mana, Bi?” tanya Yuko, bola matanya bergulir ke sekeliling dapur untuk mencari keberadaan Izumi.

“Tadi katanya ke kamar mandi sebentar. Mungkin di kamar mandi dekat ruang makan.”

“Oh, OK. Aku ke sana dulu kalau begitu.”

Dengan langkah ceria karena pada dasarnya Yuko memang memiliki kepribadian yang periang, gadis itu pergi menuju ruang makan. Benar saja, dia menemukan pintu kamar mandi dalam kondisi tertutup. Yuko menghampirinya dan mengetuk pintu itu tanpa ragu untuk memastikan benarkah Izumi berada di dalam.

“Izumi! Apa kau sedang di dalam?!”

“Iya, aku sedang di dalam!” Izumi balas berteriak.

“Oh, OK. Kalau sudah selesai, cepat keluar ya. Aku membelikan sesuatu untukmu. Aku yakin kau pasti suka. Aku tunggu di meja makan!”

Setelah berkata demikian, Yuko kembali ke ruang makan. Dia menemukan Kazumi sedang menata beberapa piring di atas meja makan.

“Biar aku bantu, Bi.” Yuko bermaksud menawarkan bantuan, tapi dengan tegas Kazumi menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan.

“Tidak perlu. Nona Yuko duduk saja. Pasti Nona lelah, kan?”

Yuko mengerucutkan bibir, jengkel karena setiap kali berniat membantu baik Izumi maupun ibunya selalu saja melarangnya. “Aku tidak lelah. Aku ke sini tidak menyetir sendiri tapi diantar Eiji.”

“Tuan Muda Eiji mana? Dia tidak ikut mampir ke rumah?”

Yuko mengangkat kedua bahu, “Dia sedang sibuk, Bi.”

“Oh, pantas dia jarang kelihatan main ke rumah.”

“Ibu dan Ayah mana?” tanya Yuko, mengalihkan pembicaraan karena membicakan Eiji yang semakin sibuk dari waktu ke waktu membuatnya kesal saja.

“Tuan Besar belum pulang, tadi keluar sebentar karena ada urusan. Kalau Nyonya, ada di kamarnya. Nona ke sana saja, Nyonya pasti sudah menunggu sejak tadi.”

“Tidak. Aku ingin memberikan ini dulu pada Izumi selagi masih hangat,” balas Yuko seraya mengangkat plastik berisi takoyaki.

“Itu apa di dalam plastik?”

Yuko sudah membuka mulut untuk menjelaskan bahwa dia membelikan takoyaki untuk Izumi, tapi belum sempat suaranya keluar, mereka dikejutkan oleh suara Izumi yang terdengar sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi.

“Itu … Izumi, kan? Dia kenapa? Sepertinya sedang muntah?”

“Dia memang sejak pagi mengeluh pusing dan lemas. Bibi lihat wajahnya juga pucat.”

Yuko seketika terbelalak, terlihat begitu mencemaskan kondisi Izumi. “Apa dia sedang sakit, Bi?”

“Mungkin saja, Nona.”

Yuko kembali berjalan cepat menuju kamar mandi, bersama Kazumi di sampingnya. Dengan antusias Yuko memanggil nama Izumi seraya tangannya sibuk mengetuk pintu. Kekhawatiran kedua wanita itu semakin menjadi ketika suara Izumi yang sedang muntah terus terdengar tanpa henti.

“Izumi! Buka pintunya!”

Meskipun berulangkali Yuko meneriakkan hal ini, tapi tak terlihat tanda-tanda Izumi akan membuka pintu. Sudah beberapa menit berlalu sejak mereka mendengar Izumi yang sedang muntah di dalam kamar mandi, tetapi sosok Izumi tak kunjung keluar.

“Izumi! Buka pintunya! Kalau kau tidak juga membukanya maka aku akan menyuruh orang untuk mendobrak pintu ini!” Yuko tak main-main dengan ancamannya. Dia sangat mengkhawatirkan Izumi, takut sesuatu yang buruk menimpa gadis itu di dalam kamar mandi terlebih karena sekarang dia dan Kazumi tak lagi mendengar suara Izumi.

Rupanya ancaman Yuko kali ini berhasil karena tak lama berselang pintu pun akhirnya terbuka. Akan tetapi, yang Yuko temukan membuatnya terkejut bukan main. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat penampilan Izumi yang mengenaskan. Wajah pucatnya yang banjir dengan air mata disertai pakaian dan rambutnya yang berantakan. Selain itu, dia memegang benda kecil di tangan kiri, sebuah benda yang Yuko tahu persis digunakan untuk apa.

“Nona Yuko, maafkan aku. Maafkan aku.”

Yang terjadi setelah itu adalah Yuko yang hanya menegang di tempatnya berdiri, tak tahu harus bereaksi seperti apa saat satu demi satu kebenaran diceritakan oleh Izumi padanya.

***

Suara benturan stick pada drum terdengar membahana di dalam ruangan yang dikhususkan sebagai tempat latihan Black Shaddow. Sosok Ito yang tampak bersemangat, tiada henti menabuh drum meskipun teman-temannya belum bersiap-siap dengan alat musik masing-masing.

“Negara pertama yang didatangi untuk tour luar negeri kita … China, bukan?” tanya Eiji memastikan. Karena dia terlambat menghadiri pertemuan, dia tak mendengar beberapa informasi yang sebenarnya sangat penting.

“Ya, China. Kita mengincar negara dengan penduduk tertinggi di dunia. Lagi pula, fans kita di sana sangat banyak. Aku yakin penonton yang hadir saat konser pasti luar biasa.” Kenji yang menyahuti.

“Padahal aku ingin pergi ke Indonesia. Aku dengar makanannya lezat. Aku ingin mencicipinya. Masyarakatnya juga ramah-ramah dan antusias jika diadakan konser. Aku mendengar kabar ini dari salah satu senior yang pernah mengadakan konser di sana.” Ito menimpali, tangannya sudah berhenti menabuh drum begitu mendengar percakapan teman-temannya.

“Kalau aku ingin secepatnya pergi ke Amerika atau Eropa. Aku bosan melihat wanita Asia, aku ingin melihat wanita-wanita berambut pirang dan bermata biru atau hijau.” Shuji tertawa di akhir ucapannya.

Eiji mendengkus, “Kau ini memang tidak jauh-jauh dari wanita, ya? Aku heran denganmu, Shuji.”

“Heran kenapa? Apa kau ingin membandingkan lagi perbedaan kita berdua? Kuakui aku memang bukan tipe pria setia sepertimu, Eiji.” Shuji membalas karena sudah tahu Eiji sedang menyindirnya.

“Hah? Memangnya siapa yang mengatakan Eiji tipe pria setia? Aku tidak percaya tuh,” celetuk Kenji dan seketika suara tawa membahana di dalam ruangan.

“Tapi aku rasa memang benar Eiji tipe pria setia. Lihat saja, tadi dia datang terlambat ke pertemuan, aku yakin itu pasti dia lupa diri karena sedang berduaan dengan pacarnya. Benar, kan? Kau tadi lupa waktu karena sedang berduaan dengan Yuko?” Sambil mengedipkan sebelah mata pada Eiji, Shuji bertanya demikian.

Eiji hendak menyahut, bahkan mulutnya sudah terbuka namun diurungkan karena keempat pria itu dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Bahkan sekadar mengetuk pintu pun tidak dilakukan orang itu.

“Wow, kita baru membicarakan tentangmu, Yuko. Siapa sangka kau muncul di waktu yang tepat,” ucap Shuji yang takjub begitu melihat Yuko-lah yang baru saja menerobos masuk padahal sosok gadis itu yang sedang mereka bahas.

Eiji sendiri terkejut melihat kedatangan Yuko, dia menghampiri gadis itu berniat untuk bertanya. Akan tetapi, yang terjadi setelah itu bukan hanya membuat Eiji terkejut bukan main, melainkan ketiga temannya pun sama terkejutnya dengan dia. Yuko tiba-tiba melayangkan tangan kanan dan mendarat dengan keras di salah satu pipi Eiji.

“Kita harus bicara. Hanya kau dan aku!” bentak Yuko, dengan bola mata yang memelotot disertai wajah yang memerah, kentara sedang tersulut emosi.

Eiji tak mengerti apa yang terjadi dengan sang pacar. “Kau ini kenapa, Yuko? Apa yang terjadi?” Eiji berniat memegang tangan Yuko tapi yang dia dapatkan adalah penolakan tegas karena Yuko menepisnya dengan begitu kasar.

“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!”

Shuji, Kenji dan Ito saling berpandangan, menyadari situasi sedang tidak baik-baik saja antara Yuko dan Eiji, mereka bertiga cukup tahu diri karena secara serempak bangkit berdiri dari posisi duduk.

“Hm, Eiji. Kami keluar dulu ya.” Ito yang mengatakannya, menepuk pelan bahu Eiji sebagai bentuk dukungan dan penyemangat. Ketiga pria itu lantas pergi dari ruangan, meninggalkan Yuko dan Eiji kini hanya berduaan saja.

“Kau ini sebenarnya kenapa, Yuko?” tanya Eiji dengan tatapan bingung yang ditujukan sepenuhnya pada Yuko yang menurutnya sangat aneh karena tiba-tiba marah tanpa sebab.

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau ini kenapa? Kenapa kau tega menyembunyikan masalah serius seperti itu dariku?!”

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?”

Yuko tak menyahut, tapi tangannya dengan gesit mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang disampirkan di bahu. Dia melempar sebuah benda kecil ke arah Eiji, yang beruntung bisa ditangkap pria itu dengan sempurna. Eiji tertegun begitu melihat sebuah testpack dengan hasil positif yang kini berada dalam genggamannya. “Ini apa? Milik siapa benda ini?”

Untuk menjawab pertanyaan Eiji, Yuko kembali melemparkan sesuatu ke arah pria itu. Kali ini sebuah amplop putih yang untuk kedua kalinya berhasil Eiji tangkap dengan sempurna. Eiji yang penasaran, bergegas membuka amplop untuk melihat isinya. Di detik berikutnya, hanya kedua mata yang melebar menjadi satu-satunya reaksi yang ditunjukan Eiji.

“Izumi sudah menceritakan semuanya padaku,” ucap Yuko dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Gadis itu lalu berjalan maju dan dengan bertubi-tubi memukuli dada bidang Eiji dengan keras. “Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau tega melakukan itu dengan Izumi? Sekarang lihat akibat perbuatanmu. Izumi mengandung, aku sudah memastikannya ke rumah sakit barusan. Kenapa? Kenapa kau tega mengkhianatiku, Eiji?!”

Eiji menangkap kedua tangan Yuko yang sejak tadi memukulinya. “Aku tahu ini salah tapi aku diam karena tidak ingin melukaimu seperti ini. Lagi pula, kejadian itu tidak disengaja. Kau juga bersalah di sini. Jika saja kau memberitahuku malam itu kau ada acara bersama teman-temanmu, aku mana mungkin menyusup masuk ke kamarmu di asrama. Aku sedang mabuk berat saat itu, Yuko. Aku pikir Izumi itu kau.”

Yuko berteriak histeris guna mengutarakan kemarahan dan kekecewaan yang sedang dia rasakan. Lelehan air matanya mengalir deras, membentuk aliran sungai di wajah cantiknya yang terlihat berantakan dan sendu. Inilah yang tidak ingin Eiji lihat, wajah hancur Yuko karena mengetahui perselingkuhannya dengan Izumi. Eiji berusaha menenangkan dengan memeluk Yuko seerat yang dia bisa.

“Maafkan aku, Yuko. Aku sangat menyesal. Sungguh, malam itu aku mabuk berat. Aku tidak bisa membedakan kalian. Aku pikir Izumi adalah kau.”

Yuko mendorong Eiji sehingga pelukan pria itu terlepas, “Sekarang apa yang akan kau lakukan? Walau bagaimanapun janin yang berada dalam rahim Izumi itu anakmu. Kau harus menyelesaikan masalah ini!”

Eiji mengangguk, “Aku akan memikirkan caranya. Kau tenang saja, aku janji akan secepatnya menyelesaikan masalah ini.”

“Gugurkan saja kandungannya.”

Eiji terbelalak mendengar saran yang diberikan Yuko, sebuah saran yang tidak dia sangka-sangka akan keluar dari mulut Yuko yang dia kenal begitu baik hati. “Menggugurkan kandungannya? Itu artinya kita harus membunuh bayi tidak bersalah itu?”

Yuko berdecak, “Kandungannya masih kecil. Baru berusia dua minggu. Belum membentuk bayi jadi tidak masalah jika kita menggugurkannya.”

Eiji mengernyitkan dahi, tampak tak menyetujui saran dari Yuko tersebut. “Tetap saja menggugurkannya sama saja membunuh bayi tak berdosa itu.”

“Lalu kau mau bagaimana menyelesaikannya?!” Untuk kesekian kalinya Yuko membentak, amarahnya yang meluap di dalam hati membuatnya tak sanggup mengendalikan diri.

“Sudah kukatakan, aku akan memikirkan cara menyelesaikan masalah ini tanpa perlu membunuh bayi itu.”

Yuko mendengkus, “Dengan cara apa? Kau mau menikahi Izumi?”

Detik itu juga Eiji melebarkan mata, “Jangan gila. Mana mungkin aku menikahi pembantu itu.”

Yuko terkekeh sebagai bentuk cibiran, sudah dia duga jawaban seperti itu yang akan diberikan Eiji. Gadis itu mengusap jejak air mata di wajahnya dengan kasar menggunakan punggung tangannya sendiri. “Kau ingat pernah menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaanku untuk menebus kesalahanmu yang sudah membuatku kesal pada malam kau dan teman-temanmu konser di Tokyo Dome?”

Eiji mengangguk karena ya, dia masih mengingat pernah mengatakan itu pada Yuko.

“Aku belum mengatakan permintaanku, bukan?” Sekali lagi Eiji merespons dengan anggukan. “Kalau begitu aku akan menyebutkan permintaanku sekarang.” Eiji tak berkata-kata karena entahlah, dia merasa lidahnya kelu sekadar untuk menyahuti.

“Aku minta gugurkan kandungan Izumi.”

Eiji terbelalak, kepalanya menggeleng berulang kali, “Sudah kukatakan kita tidak bisa melakukan itu karena ….”

“Kau harus menepati janjimu padaku. Kau janji akan mengabulkan apa pun yang aku minta. Inilah permintaanku. Lagi pula, jika kau ingin dimaafkan maka lakukan seperti yang kukatakan ini.”

Yuko lantas melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Eiji yang berdiri mematung sambil meremas kertas laporan lab yang menyatakan Izumi sedang mengandung. Pria itu kebingungan sekarang … antara mempertahankan bayi dalam kandungan Izumi atau mengabulkan keinginan Yuko, pilihan mana yang harus dia ambil?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status