Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are
Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se
“Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk
Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida
Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.
Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan
Seseorang yang baru saja datang, tiba-tiba saja menghampiri Dasya yang tengah duduk menikmati senja di teras samping rumahnya. Orang itu melemparkan sebuah tas kantor berwarna hitam ke atas pangkuan Dasya. Sontak Dasya terkejut, dan menoleh ke sumber yang telah membuatnya kaget. “Apa maksud kamu datang ke kantorku, huh?” Suaranya begitu dingin dan ketus. Orang itu menatap Dasya dengan sorot mata yang begitu tajam. Seolah mampu melukai gadis itu hanya dengan tatapan saja. Dasya beranjak berdiri tepat di depan orang tersebut. “Apa tujuanmu datang ke sana? Ingin memberitahu semua orang kalau kau istriku? Istri seorang CEO perusahaan terbesar di kota ini? Begitu?” Orang itu berteriak tepat di depan wajah Dasya yang masih kebingungan. “Kamu mau semua orang di kantorku tahu, kalau aku sudah menikah. Dan memiliki istri sepertimu, iya?” Dasya masih saja diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa. “Untuk apa itu semua, huh? Untuk apa?” teriaknya semakin lantang, sontak membuat Dasya terkejut
Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir. Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung. “Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?” Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan. Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pert