Gagal menikah dua kali membuat Aren Mahameru sulit percaya pada perempuan, termasuk Dasya--sang istri yang dia nikahi tiga tahun lalu. Awalnya, Dasya masih berusaha mencairkan hati sang suami. Sayangnya, ia mulai lelah dan memutuskan pergi dari hidup Aren, hingga pria itu sadar pentingnya kehadiran Dasya di hidupnya. Lantas, apakah Aren bisa mengembalikan Dasya ke dalam hidupnya lagi setelah membuat gadis itu terluka?
Lihat lebih banyakSeseorang yang baru saja datang, tiba-tiba saja menghampiri Dasya yang tengah duduk menikmati senja di teras samping rumahnya. Orang itu melemparkan sebuah tas kantor berwarna hitam ke atas pangkuan Dasya. Sontak Dasya terkejut, dan menoleh ke sumber yang telah membuatnya kaget.
“Apa maksud kamu datang ke kantorku, huh?” Suaranya begitu dingin dan ketus.Orang itu menatap Dasya dengan sorot mata yang begitu tajam. Seolah mampu melukai gadis itu hanya dengan tatapan saja. Dasya beranjak berdiri tepat di depan orang tersebut.“Apa tujuanmu datang ke sana? Ingin memberitahu semua orang kalau kau istriku? Istri seorang CEO perusahaan terbesar di kota ini? Begitu?” Orang itu berteriak tepat di depan wajah Dasya yang masih kebingungan.“Kamu mau semua orang di kantorku tahu, kalau aku sudah menikah. Dan memiliki istri sepertimu, iya?” Dasya masih saja diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa. “Untuk apa itu semua, huh? Untuk apa?” teriaknya semakin lantang, sontak membuat Dasya terkejut dan merasa ketakutan.Napas pria itu memburu karena amarah. Tatapannya semakin menajam membuat Dasya menunduk tidak berani membalas tatapannya.“Ma-mas, sa-saya tidak bermaksud seperti itu.” Dasya mencoba menjelaskan kepada pria yang berstatus suami Dasya. “Saya ke sana karena disuruh—““Disuruh siapa? Siapa yang menyuruhmu datang, dan mengacaukan semuanya? Siapa?” bentak pria itu.Dasya terdiam, kepalanya semakin dalam menunduk. Seluruh tubuhnya gemetar karena ketakutan. Pria itu mencengkeram kedua bahu Dasya. Amarahnya begitu membuncah hari ini. Mata Dasya sudah mengalirkan satu dua tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya. Cengkeraman yang kuat dan kasar oleh pria itu di bahunya, membuat Dasya meringis pelan.“Mas,” lirihnya. “Sakit.”Walau beribu kali Dasya mengatakan hal itu, atau bahkan berteriak memberitahu suaminya kalau apa yang dilakukan olehnya menyakitkan untuk Dasya. Pria itu tidak akan peduli. Dia sudah seperti kesetanan. Matanya memerah menahan amarahnya yang begitu meledak-ledak.“Sudah kubilang, bukan?! Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali, huh? Jangan pernah datang ke kantorku! Atau pun, berusaha mendekatiku saat di luar sana. Aku tidak sudah semua orang tahu kau adalah istriku! Aku tidak pernah sudi!” Dia menyentak kedua bahu Dasya dengan kasar, membuat gadis itu hampir saja terhuyung ke belakang andai saja tidak cepat-cepat berpegangan pada kursi di sampingnya.“Harus kembali kau ingat, Dasya. Kita ini hanya sepasang orang asing yang dipaksa untuk bersatu dalam ikatan yang halal. Hubungan ini, adalah hubungan pembawa sial. Aku tidak sudi menganggapmu istriku. Kau dengar itu?!” Pria itu membuang napas kasar. Mengisi paru-parunya dengan udara yang begitu banyak. Dia menghirup begitu dalam. “Kita hanya sepasang suami istri di atas keras. Camkan itu! Jadi, jangan berharap lebih pada hubungan ini.”Setelah mengatakan itu, pria itu pun pergi meninggalkan Dasya yang terduduk lemas sambil menangis. Seluruh tubuhnya gemetar. Hatinya sakit. Air matanya tidak berhenti mengalir. Begitu deras mengeluarkan air mata yang mewakili segala rasa yang dirasakan oleh gadis itu.Semua ini hanya perkara Dasya yang datang menghadiri sebuah rapat untuk semua pemegang saham di kantor Aren—suami Dasya. Sebenarnya, bukan keinginan Dasya yang ingin menghadiri rapat tersebut, tetapi atas paksaan dari kakek Aren. Aren sudah sering memberitahu Dasya agar tidak pernah muncul di hadapan Aren ketika berada di tempat umum. Apalagi mengaku sebagai istri Aren.Pria tua itu yang begitu menyayangi Dasya, dan dia juga yang menjadi penyebab Aren dan Dasya menjadi suami istri. Hingga membuat Dasya selama lima tahun pernikahan mereka menderita. Selama lima tahun, Dasya tidak pernah mendapat perlakuan baik terhadap Aren.Pria itu selalu saja kasar, ketus dan juga dingin terhadap Dasya. Bahkan pria itu tidak pernah menyentuh Dasya selama lima tahun menikah. Entah apa yang membuat Aren begitu membenci Dasya, padahal Dasya tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepadanya. Namun, Aren begitu jelas memperlihatkan ketidak sukaannya kepada gadis itu.***Dasya dengan wajah sembab sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Aren. Walau mereka tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang harmonis juga penuh cinta, tetapi mereka selalu makan bersama. Karena Aren memang yang menyuruh Dasya menyiapkan segala keperluannya.Aren tidak menganggap Dasya sebagai istrinya, tetapi lebih kepada seorang pembantu. Meskipun begitu, Dasya tidak mempermasalahkannya. Lagian, Dasya berpikir itu sudah kewajibannya sebagai seorang istri. Menyiapkan segala keperluan sang suami.Dasya menghentikan kegiatannya tengah menatap masakan yang sudah dia masak di atas meja ketika melihat Aren berjalan menuruni anak tangga. Dasya berjalan menghampiri Aren yang tampak rapi hendak ke luar rumah.“Mas, saya sudah menyiapkan makanan untuk—““Saya tidak sedang berselera makan di rumah.” Aren menyela ucapan Dasya masih dengan melangkah menuju pintu ke luar tanpa menghiraukan Dasya yang mengikutinya dari belakang.“Tapi, Mas. Saya sudah memasak,” ucap Dasya pada Aren.“Tidak ada yang menyuruhmu memasak malam ini.”“Iya, Mas. Tapi, kupikir Mas akan—“ Dasya tidak melanjutkan kalimatnya ketika Aren menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Dasya sambil menatap gadis itu dengan tajam.“Kau sangat cerewet, Dasya,” sentak pria itu. “Saya sudah bilang tadi, bukan?! Saya tidak selera makan di rumah. Jadi, tidak akan tinggal makan bersamamu. Lagian, kau bisa makan sendiri. Kenapa soal itu saja harus dipermasalahkan.”Aren kembali melanjutkan langkahnya. Di belakang Dasya masih mengekor bertanya Aren akan ke mana. Namun, dijawab ketus dan kasar oleh pria itu. Dasya tidak mudah menyerah, dia masih merayu suaminya agar mau makan malam bersamanya. Sayang makanan yang sudah Dasya masak tidak di makan. Apalagi porsinya sangat banyak. Karena dia pikir sebagai permintaan maafnya kepada Aren. Akan tetapi, Aren malah ingin pergi.“Cukup!” bentak Aren pada Dasya yang terperanjat kaget. Aren tiba-tiba berhenti dan menghadap ke arahnya. “Cukup aku bilang! Kau sudah sangat keterlaluan. Berhenti mengaturku atau memerintahku! Kau bukan siapa-siapa bagiku. Tidak hakmu mengatur atau pun memerintahku. Kau paham itu?”“Aku hanya ingin kau ...”Dasya tidak melanjutkannya ketika melihat Aren membuang napas kasar.“Kau punya otak tidak, sih? Sangat susah diberitahu.”Setelahnya, Aren pun pergi begitu saja. Kali ini, Dasya pasrah saja. Dia diam membiarkan suaminya pergi meninggalkannya sendirian. Dia masih memandang punggung Aren yang mulai menjauh dengan pandangan yang mulai mengabur karena air mata terkumpul di sudut matanya.Terdengar dia menghela napas kasar. Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi dirinya-lah yang harus mengalah dan mengerti. Demi hubungannya bersama Aren yang sama sekali tidak bisa disebut sebuah hubungan.Air mata yang sejak tadi ditahannya kini luruh tak lagi bisa dia cegah. Bahkan kali ini, Dasya membiarkannya saja membasahi wajahnya yang cantik. Kembali Dasya menangis. Meratapi nasibnya yang sungguh tidak beruntung. Menangis seorang diri tanpa ada yang menemani atau pun mencoba menghiburnya. Semua terasa sepi.Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan
Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.
Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida
“Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk
Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se
Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen