Seseorang yang baru saja datang, tiba-tiba saja menghampiri Dasya yang tengah duduk menikmati senja di teras samping rumahnya. Orang itu melemparkan sebuah tas kantor berwarna hitam ke atas pangkuan Dasya. Sontak Dasya terkejut, dan menoleh ke sumber yang telah membuatnya kaget. “Apa maksud kamu datang ke kantorku, huh?” Suaranya begitu dingin dan ketus. Orang itu menatap Dasya dengan sorot mata yang begitu tajam. Seolah mampu melukai gadis itu hanya dengan tatapan saja. Dasya beranjak berdiri tepat di depan orang tersebut. “Apa tujuanmu datang ke sana? Ingin memberitahu semua orang kalau kau istriku? Istri seorang CEO perusahaan terbesar di kota ini? Begitu?” Orang itu berteriak tepat di depan wajah Dasya yang masih kebingungan. “Kamu mau semua orang di kantorku tahu, kalau aku sudah menikah. Dan memiliki istri sepertimu, iya?” Dasya masih saja diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa. “Untuk apa itu semua, huh? Untuk apa?” teriaknya semakin lantang, sontak membuat Dasya terkejut
Sejak tadi Dasya mondar-mandir di ruang keluarga dengan raut cemas. Sesekali dia mendesah ketika belum juga ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang dengan segera. Pria itu sudah pergi sekitar tiga jam lamanya, tetapi tak kunjung kembali membuat Dasya khawatir. Tidak biasanya Aren pergi malam-malam seperti ini, dan sudah larut malam, tetapi pria itu belum juga pulang. Ponselnya juga sangat sulit dihubungi. Berkali-kali Dasya menelefon ponsel Aren. Akan tetapi, tidak ada satu pun panggilan Dasya yang tersambung. “Astaga, Mas Aren ke mana, ya? Kok, jam segini belum juga pulang, ya?” Dasya kembali mencoba menelfon ponsel Aren berharap kali ini akan tersambung, tetapi baru saja ingin menekan nomor Aren. Tiba-tiba dari luar terdengar suara deru mobil milik Aren. Urung Dasya menelfon pria itu, dan lebih memilih berjalan ke luar untuk memastikan. Suara helaan napas lega Dasya terdengar kala melihat Aren turun dari mobil dengan penampilan yang cukup kacau. Dasya mengerutkan keningnya. Pert
Pagi-pagi sekali, Dasya sudah berada di toko kue miliknya. Tidak ingin bertemu dengan Aren yang pastinya akan membuat pagi Dasya menjadi kurang menyenangkan. Maka dari itu, Dasya bangun cepat untuk menyiapkan sarapan dan segala kebutuhan pria itu, lalu pergi meninggalkannya. Biasanya, jam delapan Dasya baru akan berangkat dari rumah ke toko kue. Akan tetapi, khusus hari ini, Dasya datang cepat. Pukul tujuh sudah berada di toko kue. Membuka toko, membersihkan dan menyiapkan segala keperluan untuk membuat kue nanti. Mila—sahabat sekaligus karyawannya itu mengernyitkan kening heran saat dirinya sampai di toko, dan melihat Dasya sudah ada di sana, dengan kesibukan yang biasa Mila lakukan bersama karyawan lain. “Eh, Mil. Lo udah datang?!” Mila hanya mengangguk menatap bingung sahabatnya sekaligus bosnya itu. “Itu peralatan udah gue beresin. Tinggal nanti lo pakai sama yang lain,” ucap Dasya memberitahu. Gadis itu masih sibuk dengan kegiatannya mengelap etalase, dan menata kue-kue yang d
Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana. Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali. “Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri. Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan. Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani
Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja. Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian. “Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa. Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek. “Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren d
Dasya baru sampai di rumahnya saat setelah pukul lima sore, karena keasyikan bersama Dini tasi, dia sampai lupa ke toko kuenya saking serunya bertemu dengan Doni—teman kuliahnya dulu. Mereka menghabiskan waktu hampir beberapa jam hanya membicarakan hal konyol di masa kuliah mereka, dan juga hal yang menyenangkan tentunya bagi Doni. Setelah menyadari waktu berjalan begitu cepat, dan ada yang harus dilakukan Dasya dengan bahan-bahan dapur dibelinya tadi. Dasya pun berpamitan dengan Doni untuk pulang setelah menghabiskan nasi goreng yang tadi Dasya pesan di tukang abang-abang pinggir jalan. Ya, Doni mengajak Dasya makan siang. Niat Doni ingin berterima kasih kepada Dasya karena telah memberi banyak kenangan manis. Sebab sering menjadi tameng untuk dirinya dari orang-orang sering menjahati Doni. Awalnya, Dasya menolak, tetapi terus dipaksa oleh Doni sehingga mau tidak mau pun, Dasya ikut saja, tidak enak karena Doni begitu antusias dan serius mengajaknya. Jadi, Dasya pun meminta Doni un
“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan. Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu. “Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman. Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?” “Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian. Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren. “Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan. “Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar. “Dia sudah tidak sabar untu
Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.