Share

Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita

Harusnya Sadar Diri

"Farah, sudah berani kamu melaw*n pada ibu? cerca Ibu mertuaku seakan tersak*ti oleh ucapanku barusan. 

"Menantu macam apa kamu! Selama ini telah dinafkahi oleh Raka, dan sekarang kami hanya ingin meminta uang sejumlah itu, tapi kamu tak mau memberikannya padahal ini untuk membahagiakan adik kandung suamimu!" ujar Ibu lagi. 

"Jika Bang Raka menafkahiku itu adalah kewajibannya sebagai suami. Jadi Ibu keliru jika mengungkit hal itu," soal nafkah pun di mengungkit, itu sudah kewajiban seorang suami bukan. Apakah karena rasa benc*nya padaku, membuat Ibu tidak tahu hal yang benar dan wajib. 

Aku lelah dengan keadaan ini, dan menghadapi sifat mereka yang tidak masuk akal.

"Lihat Raka, istrimu ini semenjak mempunyai penghasilan sendiri, kini dia sudah mulai berani melawan Ibu. Dan berani menentang dirimu!" Ibu mengusap dadanya, seakan ingin memangis. Pandai sekali mengambil simpati!

"Aku tidak mau lagi diam dan menuruti apa permintaan kalian yang merugikan!" ucapku.

"Diam kamu Farah! Jangan lagi berani bicara meny*dutkan Ibuku, keterlaluan!" Bang Raka menatap tajam dan membentakku.

"Sudahlah Raka, untuk apa kamu mempunyai istri, ngawur begini!" Ibu menimpali. 

"Justru kamu yang aneh dan ngawur Retno. Demi uang pernikahan untuk Gita, kamu memeras menantumu. Sedangkan kalian saja seperti tidak menganggap Farah, terutama kamu Git! Apakah kamu pernah menghargai dia sebagai Kakak iparmu, bahkan kalian seakan mengucilkannya. Entah di mana akal sehat kalian sekarang, dan kamu Kang, jangan diam saja melihat keluarga menyudutkan menantumu yang tidak bersalah!" ujar Bik Saidah, dia adalah adik dari Bapak mertuaku. 

"Aku sudah menasehati mereka, percuma saja selalu membantah. Farah sudah, jangan turuti permintaan ini. Itu uangmu jadi hanya kamu yang berhak menggunakannya," ujar Bapak. 

"Pak! Kenapa sih Bapak tidak mendukung Gita." teriak Gita.

"Sudah kamu diam, kita akan mengadakan resepsi sesuai kemampuan kita saja. Inilah keputusan yang benar," ucap Bapak lagi. 

"Mau di taruh mana muka Ibu, Pak? Sedangkan mereka tahunya, kita akan mengadakan resepsi yang mewah melebihi pesta Anne, anak pake kades itu!" Ibu bersuara kembali. 

"Iya Pak, gengsi dong jika kita mengadakan resepsi yang biasa," ucap Stella ikut campur. 

"Jangan sampai Git, kamu resepsi sederhana!" bahkan kini Anna ikut bersuara. 

"Jika kalian tidak mau, kalian saja yang membiayainya!" ucap Bapak pada menantunya itu. 

Stella dan Anna saling lirik, mereka memang berasal dari keluarga yang mampu, karena itu ingin Gita pesta juga seperti pernikahan mereka dulu. Hanya aku dan Bang Raka, yang hanya menikah sederhana, tapi itu sudah cukup bagiku dulu. Yang terpenting kehidupan rumah tangga setelahnya, tapi sepertinya rumah tanggaku juga sudah goyah karena keluarga Bang Raka yang tidak pernah membelaku dan mendukung keluarganya. 

"Bapak gak sayang sama Gita, malah membela Mbak Farah!" ujar Gita dan menatapku kesal.

"Memang kamu sudah salah, bilang pada calon suamimu dengan keinginan pesta mewah ini dan mintalah uang lebih banyak darinya bukan pada Farah," jawab Bapak, mendengar itu aku tersenyum kearah Gita yang membuatnya kini bahkan melotot kearahku. Dia pasti merasa terledek. 

"Ibu yang berhak mengambil keputusan, dan tidak ada yang akan berubah. Jika Farah tidak menyerahkan uang itu, ya terpaksa.." ucap Ibu.

"Terpaksa apa Bu?" tanyaku, dia mulai ingin mengancamku. 

"Sudahlah Raka, untuk apa kamu pertahankan wanita seperti dia. Dulu Ibu memintamu memilih Hima, justru tetap dan menikahi dia. Lihat sekarang pilihanmu ini!" desis Ibu, jadi dia membahas masa lalu, dulu Ibu pernah menjodohkan Hima untuk Bang Raka, kebetulan wanita itu juga menyukainya namun tak bisa bersama. Dia adalah anak pengusaha konfeksi di daerah ini. 

"Aku juga tidak ingin bertahan lagi, kalian pikir aku bahagia. Sudah cukup aku tak ingin di perlakukan semena-mena!" aku kemudian berdiri dan menuju pintu keluar. Entah keberanian dari mana membuatku berkata seperti itu, tapi memang aku lelah. Jika pun Bang Raka memilih keluarganya, aku sudah siap itu sudah hal biasa. 

"Berani kamu pergi meninggalkan tempat ini sekarang tanpa keputusan uang itu, Abang akan menceraikanmu!" ucap Bang Raka menunjukku. 

"Lakukan Bang, aku ikhlas!" jawabku dan terus berlalu. Bik Saidah berjalan menyusulku. 

"Kurang aja memang istrimu itu, jangan sampai dia tak memberikan apa yang kamu mau!" ucap Bang Julian pada Bang Raka yang masih bisa ku dengar, rupanya Abangnya itu juga penghasut.

"Ibu tetap akan menuntut uang itu!" teriak Ibu.

**

"Bagus Far, kamu sudah tepat melawan mereka tadi!" ujar Bik Saidah yang kini berjalan beriringan denganku. 

"Aku capek Bik, menuruti keinginan Ibu, yang semakin semena-mena. Bahkan dia ingin memanfaatkan diriku untuk kepentingan gengsi mereka," jawbaku. 

"Iya, jangan pernah mau memberikan uang itu. Jika Raka meninggalkanmu, pasti kamu tahu Far apa jawabannya. Kamu berhak hidup bahagia di banding mempunyai suami seperti dia!" ucap Bik Saidah, dia memang selalu mengerti diriku. 

"Aku sudah berusaha legowo jika itu akan terjadi Bik," benar perkataan Bik Saidah, aku berhak bahagia jika itu harus tanpa Bang Raka. 

**

Pintu kamar terbuka, Bang Raka pulang dari rumah ibunya. 

"Farah maafin Abang ya, karena emosi berucap seperti itu padamu..," ujarnya mendekati aku yang sedang duduk di tepian ranjang. 

"Sudahlah Bang, kita memang tidak cocok lagi. Aku lelah Bang dengan situasi seperti ini!" 

"Kita masih bisa perbaiki, Abang tidak akan memaksamu," jawabnya. Aku hanya diam, tak percaya Bang Raka berubah dalam sekejap. 

"Aku ikhlas jika kita harus berpisah!" ucapku.

"Beri aku kesempatan Farah, untuk memperbaikinya." pinta Bang Raka. 

Aku hanya diam kembali, lihat kedepannya. Aku hanya ingin mengerjai mereka dulu, aku yakin dia sama sekali tak berubah. 

**

Weekend ini Bang Raka tidak bekerja, aku bahkan malas untuk berbicara dengannya. 

"Bang!" Gita memanggil Abangnya dan masuk kedalam rumah, tanpa salam atau apapun.

"Ada apa Git?" tanya Bang Raka.

"Sofa pesanan Ibu sudah datang, mana uangnya untuk membayar!" jawab Gita, ternyata dia datang ingin meminta uang untuk membeli sofa.

"Berapa Git harganya?" 

"8 juta Bang!" ujar Gita.

"Farah..!" Bang Raka kini memanggilku, pasti ingin meminta bantuan. 

Aku mendekat dan menghampirinya. 

"Far, berikan uang 8 juta pada Gita untuk membayar sofa Ibu. Uang Abang sudah tidak ada lagi," ujar Bang Raka.

Gita dengan wajah ketuanya itu menengadah tangan minta uang padaku. 

"Aku juga tidak ada uang untuk membayari sofa Ibumu!" jawabku.

"Cepat Mbak, berikan uangnya Ibu sudah menunggu. Ngelunjak banget!" ujar Gita.

"Jika tidak mampu jangan beli sofa, apalagi ingin resepsi mewah!" jawabku tak kalah ketus dan berlalu, aku yakin kini ia sudah amat kesal. 

"Bang, ambil uangnya darinya!" perintah Gita.

"Gita, kamu memang picik ya! Kamu pikir segampang itu aku menyerahkan uang pada Bang Raka. Makanya kerja biar punya uang Git, jangan minta mulu, memalukan ingin bergaya padahal tidak mampu. Gaya sosialita budget pas-pasan!" ujarku kembali dan tertawa kecil, yang sukses membuat raut wajah Gita marah.

"Diam kamu Far!" bentak Bang Raka.

"Kamu yang diam Bang! Dan adikmu ini memang tidak tahu diri kok, bilang padanya untuk sadar diri!" jawabku dan tersenyum tipis. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
keren gitu harus tegas
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Maksudnya Farah
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Raka mendingan ditinggalkan saja Gita suami gak bisa melindungi istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status