Seorang lelaki tengah berkutat dengan laptop dan beberapa lembar paper-nya. Kantung matanya sudah semakin tebal dan menghitam karena beberapa hari ini Bian harus fokus mengerjakan penelitian. Bahkan, ia lupa meletakkan handphone-nya di mana.
Pada semester ini, ia sudah tak lagi di kampus seharian penuh karena siang hari Bian sudah pulang. Namun, adanya beban berupa penelitian, membuatnya begitu sibuk hingga menganggap penelitian adalah hidup dan matinya.
Bian tiba-tiba teringat beberapa tahun yang lalu, saat Misell mengatakan ia akan pulang di tahun ketiga. Bian baru sadar, jika ini adalah tahun di mana Misell akan berjanji pulang. Tapi kapan tepatnya?
Bian menjadi orang yang terlalu serius dengan kehidupan perkuliahan, hingga melupakan semua hal—terma
Tiga hari telah berlalu, Bian menjadi pribadi yang kehilangan semangat untuk kesekian kali. Ia membiarkan penelitiannya teronggok di pojok meja belajar, tanpa ia sentuh sedikit pun semenjak mendapatkan kabar jika Misell datang ke kampusnya dan berujung salah paham.Tatapan Bian mengarah pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat tidurnya—foto Bian dan Misell—yang diambil sekitar lima tahun lalu saat mereka sedangstudy tourke Bali.Bian terdiam sejenak, sembari terus menatap foto itu.Gue harus ke Berlin!Setelah beberapa hari Bian bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya sejenak untuk pergi menyusul Misell.Keputusan paling gila yang pernah ia am
"Lo kenapa, sih, Sell? Semenjak bangun tidur tadi lo ngelamun terus." Erika menatap Misell yang sedang duduk di depannya.Saat ini mereka berada di ruang makan asrama untuk sarapan. Sepuluh menit lagi, kelas Misell akan dimulai. Namun, hingga saat ini ia masih saja terdiam dengan tatapan kosong.Misell menggeleng dan tak lupa ia menampilkan senyum palsunya."Mimpi buruk?" tebak Erika tepat sasaran.Misell mendongak menatap Erika, lalu bertanya, "Hmm... mungkin. Pertanda baik atau buruk, ya?"Erika tersenyum penuh makna. "Pasti baik, kok. Berdoa aja."Misell mengangguk dan kembali menyendok makanannya walau sebenarnya
"Udah kali, Sell! Difoto aja catatannya, 'kan nanti juga bisa disalin di rumah," ucap gadis berjepit merah muda yang terlihat bingung dengan teman sebangkunya."Nggak mau! Ntar, kalau gue ngefoto papan tulis, ujung-ujungnya bakal jadi koleksi doang di galeri. No, no, no! Jadi, mending gue kelarin sekarang aja sekalian." Misell membalas dengan tatapan yang masih fokus ke papan tulis tanpa peduli hasil tulisannya."Nyatet, sih, nyatet, emang bisa kebaca kalau tulisannya naik turun gitu?" tanya Salsa yang semakin dibuat bingung.Misell lantas mengalihkan pandangan ke buku catatannya, yang saat ini tulisannya sudah seperti sandi rumput. "Hah? Astaga, Salsa! Kenapa baru bilang?" Ia berteriak sampai murid lain yang masih ada di kelas memutar tubuh ke arahnya."Ya gimana mau bilang, kalau dari tadi sahabatku yang cantik ini nggak peduli sama sekelilingnya.”Misell memasang wajah cemberutnya. "Ih, tetep ingetin dong, Sal! Terus ini gimana do
Esok hari telah tiba, hari yang ditunggu-tunggu semua manusia di bumi ini--hari Minggu. Hari di mana orang-orang bisa istirahat sejenak melepas penat atau hanya sekadar berkumpul dengan keluarga. Hari Minggu seakan menjadi hari kebahagiaan Misell. Ia hanya akan tertidur di kamar seharian tanpa peduli apa pun selain kasur dan selimut kesayangannya. mama dan papanya sudah paham betul watak anaknya itu.TING! TONG!Bel rumah Misell berbunyi setelah ada seseorang yang memencetnya. Wulan segera beranjak dari aktivitasnya di dapur untuk mengecek siapa yang berkunjung pagi-pagi di hari Minggu. "Eh, Bian! Nyari Misell, ya? Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Wulan, saat tahu Bian yang datang."Iya Tante, mau ngajak jogging di taman kompleks perumahan sebelah.""Eh, tapi kayaknya Misell masih molor deh, emang kebiasaan tuh anak kalau hari Minggu. Kamu langsung naik aja ya Bian, ke kamar Misell. Bangunin sendiri, Tante mah udah nyerah ngebangunin
Seorang pria yang memakai jersey berwarna navy dan bawahan jogger pants, sedang berdiri di depan pintu rumah bercat putih dengan menenteng kresek yang berisi dua porsi bubur ayam. Siapa lagi kalau bukan Biantara, orang yang baru saja direpotkan si pemilik rumah ini.TING! TONG!Bel rumah telah dipencet oleh Bian berulang kali, tetapi masih tidak ada jawaban. Tidak menyerah, Bian mengulang hal yang sama. Sebenarnya dia bisa saja langsung masuk, karena tahu rumah ini tidak akan terkunci di hari minggu. Namun, ia tetap menghargai si pemilik rumah dan tidak bertindak semaunya secara tidak sopan. Akhirnya dia menyerah dan merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih di sana. Lelaki itu lantas mencari kontak Misell dan menekan tombol calling."Halo? Kenapa? Mau minta maaf?" balas Misell di seberang sana. Dilihat dari intonasi bicaranya dia masih marah pada Bian."Eh, kalau mau marah nanti aja, sekarang mendin
BRAKKK!!!Suara gebrakan meja berhasil mengagetkan seluruh siswa yang saat ini sedang serius belajar untuk ulangan harian nanti. Orang yang paling dikagetkan di sini adalah Bian dan Arya, mereka berdua langsung menatap tajam sang pelaku. Bisa dipastikan Tama adalah pelakunya!"Lo bisa nggak, sih, tenang dikit? Belajar sono! Berisik mulu!" omel Arya pada Tama."Lo pada harus tahu berita terbaru!" kata Tama dengan semangat 45."Ye, bakat admin lambe turah lo kagak ada matinya. Kenapa lagi sekarang?""Ayo dong, tebak dulu apaan?"Arya terlihat berpikir sebentar dan akhirnya mencoba menebak. "Batagor Kang Asep lagi diskon?"Tama menggelengkan kepala yang artinya jawaban Arya salah. "Salah, ayo tebak lagi!""Suami Bi Eni kagak pulang lagi?" tebak Arya sekali lagi."Ah, si kambing! Mau lo apaan, sih? Suka ngasal nebaknya!" ucap Tama geram.Bian yang mendengar kedua sahabatnya berdebat, hanya d
Bian saat ini sedang bersusah payah untuk fokus dengan materi. Kalimat teman-temannya di kantin tadi, sukses membuatnya memikirkan masalah itu, sampai-sampai tidak fokus ke pelajaran. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar dari kelasnya, untuk menemui Misell dan pulang ke rumah. Sisa waktu pelajaran, hanya Bian gunakan untuk memandangi detik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.KRINGGG!!!Suara yang dinanti-nantikan, akhirnya berbunyi. Dengan secepat kilat, dia langsung membereskan buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan segera pergi ke luar kelas. Tama dan Arya hanya melongo kebingungan melihat tingkah Bian. Mereka berdua heran karena tidak biasanya Bian bersikap seperti ini.Bian berlari menuju ruang di samping kelasnya yang bertuliskan 12 IPA-1 di pintu bagian atasnya. Setelah ia melihat kedalam, orang yang dicarinya masih berbicara dengan Bu Indah, guru Kimia SMA Pelita yang terkenal killer itu. "Ck, dasar! Masih aja suka cari muka sa
Malam sudah semakin larut, tetapi lelaki ini tak kunjung memejamkan matanya. Berulang kali ia membolak-balikkan tubuhnya di tempat tidur dengan maksud mengubah posisi tidurnya agar cepat terlelap. Namun, tetap saja semua terasa sia-sia.Hingga detik ini, ia tak kunjung memejamkan matanya. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar, seakan bermaksud meluapkan seluruh perasaan yang mengganjal di hatinya sejak tadi. Sebenarnya, apa yang ada di pikirannya saat ini?Entahlah, terlalu banyak sampai ia tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.*****Keseharian Bian tidak pernah berubah sejak dulu, setiap pagi dia harus menjemput Misell untuk berangkat ke sekolah bersama. Bukan masalah besar bagi Bian jika harus menjemput Misell. Karena, rumahnya hanya berbeda blok di perumahan yang sama. Walaupun masalah kemarin masih mengganggu pikirannya, dia tetap harus bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Bian berpikir, mungkin Misell m