Beranda / Romansa / Bidadari Spesial / Bab 2 (Ceo Vs Santriwati)

Share

Bab 2 (Ceo Vs Santriwati)

Penulis: Anis _Mo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-16 20:50:01

Waktu terus berjalan, satu minggu sudah Hilya berada di rumahnya, dan lima hari lagi adalah hari pernikahannya.

Tampak kesibukan di tengah-tengah rumah keluarga Hilya, rumah termewah yang ada di Desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat Hilya dilahirkan.

Semilirnya angin sore hari di Desa Kemuning menjadikan saksi kegundahan hati Hilya. Gadis cantik itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kekecewaan, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga.

"Hilya! Ada telepon!" seru Hajjah Halimah dengan membawa telepon genggam milik Hilya yang tergeletak di meja ruang keluarga.

Hilya yang saat itu berdiri di samping jendela kamarnya seketika keluar menuju suara yang memanggilnya.

Hilya segera meraih telepon dari tangan umminya dan mengangkat telepon tersebut.

"Assalamualaikum ustadz!"

Berlahan kaki Hilya melangkah menuju kamarnya saat menerima telepon tersebut.

Mata Hajjah Halimah tampak menaruh curiga pada sikap putrinya yang tidak berkenan menerima telepon tersebut di hadapannya.

Kaki Hajjah Halimah mulai melangkah menuju kamar putrinya, telinganya mulai mengembang berusaha mendengar percakapan putrinya dengan seorang laki-laki yang baru saja meneleponnya.

"Ummi! Kenapa berdiri di situ?" tanya Hilya yang tidak sengaja melihat umminya berdiri di balik pintu.

"Hmm..." Hajjah Haliman meringis. "Siapa yang menelepon kamu?" tanyanya kemudian sembari berjalan mendekati Hilya.

"Ustadz Ilyas," jawab Hilya singkat.

"Untuk apa menelepon kamu?"

"Menanyakan persiapan keberangkatan Hilya ke Sudan."

"Terus?"

"Ya Hilya bilang, kalau Hilya akan menikah dan harus melepaskan kesempatan beasiswa itu." Hilya mengatakannya dengan suara pelan sembari menunjukkan wajah penuh kesedihan.

"Oooh, ummi kira kalian bicara apa," sahut ummi Hilya dengan tersenyum lega.

"Memang ummi berfikir apa?"

"Ummi takut kamu mencintai laki-laki lain dan berfikir untuk lari dari pernikahan yang telah abah dan ummi siapkan."

"Masya Allah ummi, kenapa ummi berfikir Hilya serendah itu, sekecewa apapun hati Hilya, Hilya tidak mungkin mempermalukan abah dan ummi."

"Iya ummi percaya," sahut Hajja Halimah dengan meraih jari jemari putrinya dan mengajaknya duduk di ranjang. "Ummi bahagia kamu tidak ada hubungan apapun dengan Ustadz Ilyas."

"Maksud ummi?"

Kedua alis Hilya seketika menyatu.

"Ustadz Ilyas itu dosen Hilya di pesantren ummi, dia sudah punya istri, dan punya lima orang anak, usianya juga seumuran abah, jadi mana mungkin Hilya punya hubungan dengan ustadz Ilyas."

Hilya sedikit meninggikan suara saat menjelaskan siapa sebenarnya ustadz Ilyas pada umminya.

"Oooh, maaf ya! Ummi sudah salah sangka!" sahut umminya kemudian. "Maafkan ummi ya Nak!" lanjutnya.

"Mmm..." Hilya mengangguk dengan wajah masih ditekuk.

"Nak, jujur ummi sangat bahagia, ternyata tidak ada laki-laki di hati kamu," kata Hajjah Halimah dengan merangkul putrinya.

"Ada ummi?"

"Siapa?"

"Abah," jawab Hilya dengan senyum menggoda umminya.

"Kamu ini." Hajjah Halimah seketika menepuk lengan Hilya. "Sudah, sekarang kamu mandi, dandan yang cantik! Karena calon suami kamu akan datang sore ini," kata Hajjah Halimah kemudian.

Seketika Hilya terdiam. Senyum yang baru saja tergerai diwajahnya tiba-tiba memudar. Sepertinya dia kembali dirundung kesedihan.

"Hilya, percayalah sama abah dan ummi, abah dan ummi tidak mungkin salah memilihkan jodoh untuk kamu. Laki-laki yang bernama Setya itu sangat tampan. Yang ummi dengar dia adalah pengusaha besar. Keren kan calon suami kamu itu," kata Hajjah Halimah dengan merangkul tubuh putrinya lagi. "Sudah sana mandi! Ummi yakin setelah bertemu dengan calon suami kamu nanti, kamu pasti akan jatuh cinta padanya," ucap Hajjah Halimah sembari beranjak pergi keluar dari kamar Hilya.

Hilya menghelan nafas panjang setelah wanita berusia empat puluh dua tahun itu keluar dari kamarnya.

Ada rasa penasaran dalam hati Hilya terhadap calon suaminya tersebut. Segera dia membersihkan diri di kamar mandi, dan setelah itu dia duduk di meja belajarnya memulai  mengotak atik laptopnya. Hilya berfikir jika laki-laki yang umminya sebutkan itu adalah seorang pengusaha besar, pasti nama dan gambarnya akan mudah dia temukan di media sosial.

Dan akhirnya setelah beberapa menit berkonsentrasi di depan laptop, Hilya menemukan sebuah jawaban.

"Agung Satya Adiwijaya pemilik Agung Wijaya group, salah satu pengusaha muda sukses, diusianya yang ke 28 tahun dia telah..." Hilya membaca sebuah artikel yang dia lansir dari majalah bisnis di aplikasi g****e yang ada di laptopnya. Hilya berfikir apa mungkin laki-laki tersebut yang akan menjadi calon suaminya.

"Setya? Apa laki-laki ini yang dimaksud ummi? Sepertinya tidak mungkin, laki-laki ini eksekutif muda dan tinggal di ibu kota, mana mungkin dia melamar gadis yang berasal dari pedesaan yang sangat jauh dari kota besar."

Hilya mulai bertanya dan menjawab sendiri rasa penasaran yang ada di hatinya.

"Hilya!"

Tiba-tiba terdengar suara Hajjah Halimah memecah lamunan Hilya.

"Iya ummi." Seketika Hilya menutup laptopnya saat wanita tersebut masuk ke dalam kamar Hilya.

"Ayo cepat calon suamimu sudah datang!" kata wanita itu.

"Mmm..." Hilya mengangguk sembari tersenyum.

Hilya pun segera merapikan jilbab yang dia kenakan, jilbab syar'i warna toska yang tampak senada dengan gamis yang dia kenakan.

"Cantik sekali putri ummi!" puji Hajjah Halimah dengan memandangi wajah cantik putrinya di depan cermin.

Hilya gadis berkulit putih bersih dengan tinggi seratus lima puluh sembilan centimeter ini menang tampak cantik mengenakan pakaian dengan warna apapun.

Bersambung

Waktu terus berjalan, satu minggu sudah Hilya berada di rumahnya, dan lima hari lagi adalah hari pernikahannya.

Tampak kesibukan di tengah-tengah rumah keluarga Hilya, rumah termewah yang ada di Desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat Hilya dilahirkan.

Semilirnya angin sore hari di Desa Kemuning menjadikan saksi kegundahan hati Hilya. Gadis cantik itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kekecewaan, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga.

"Hilya! Ada telepon!" seru Hajjah Halimah dengan membawa telepon genggam milik Hilya yang tergeletak di meja ruang keluarga.

Hilya yang saat itu berdiri di samping jendela kamarnya seketika keluar menuju suara yang memanggilnya.

Hilya segera meraih telepon dari tangan umminya dan mengangkat telepon tersebut.

"Assalamualaikum ustadz!"

Berlahan kaki Hilya melangkah menuju kamarnya saat menerima telepon tersebut.

Mata Hajjah Halimah tampak menaruh curiga pada sikap putrinya yang tidak berkenan menerima telepon tersebut di hadapannya.

Kaki Hajjah Halimah mulai melangkah menuju kamar putrinya, telinganya mulai mengembang berusaha mendengar percakapan putrinya dengan seorang laki-laki yang baru saja meneleponnya.

"Ummi! Kenapa berdiri di situ?" tanya Hilya yang tidak sengaja melihat umminya berdiri di balik pintu.

"Hmm..." Hajjah Haliman meringis. "Siapa yang menelepon kamu?" tanyanya kemudian sembari berjalan mendekati Hilya.

"Ustadz Ilyas," jawab Hilya singkat.

"Untuk apa menelepon kamu?"

"Menanyakan persiapan keberangkatan Hilya ke Sudan."

"Terus?"

"Ya Hilya bilang, kalau Hilya akan menikah dan harus melepaskan kesempatan beasiswa itu." Hilya mengatakannya dengan suara pelan sembari menunjukkan wajah penuh kesedihan.

"Oooh, ummi kira kalian bicara apa," sahut ummi Hilya dengan tersenyum lega.

"Memang ummi berfikir apa?"

"Ummi takut kamu mencintai laki-laki lain dan berfikir untuk lari dari pernikahan yang telah abah dan ummi siapkan."

"Masya Allah ummi, kenapa ummi berfikir Hilya serendah itu, sekecewa apapun hati Hilya, Hilya tidak mungkin mempermalukan abah dan ummi."

"Iya ummi percaya," sahut Hajja Halimah dengan meraih jari jemari putrinya dan mengajaknya duduk di ranjang. "Ummi bahagia kamu tidak ada hubungan apapun dengan Ustadz Ilyas."

"Maksud ummi?"

Kedua alis Hilya seketika menyatu.

"Ustadz Ilyas itu dosen Hilya di pesantren ummi, dia sudah punya istri, dan punya lima orang anak, usianya juga seumuran abah, jadi mana mungkin Hilya punya hubungan dengan ustadz Ilyas."

Hilya sedikit meninggikan suara saat menjelaskan siapa sebenarnya ustadz Ilyas pada umminya.

"Oooh, maaf ya! Ummi sudah salah sangka!" sahut umminya kemudian. "Maafkan ummi ya Nak!" lanjutnya.

"Mmm..." Hilya mengangguk dengan wajah masih ditekuk.

"Nak, jujur ummi sangat bahagia, ternyata tidak ada laki-laki di hati kamu," kata Hajjah Halimah dengan merangkul putrinya.

"Ada ummi?"

"Siapa?"

"Abah," jawab Hilya dengan senyum menggoda umminya.

"Kamu ini." Hajjah Halimah seketika menepuk lengan Hilya. "Sudah, sekarang kamu mandi, dandan yang cantik! Karena calon suami kamu akan datang sore ini," kata Hajjah Halimah kemudian.

Seketika Hilya terdiam. Senyum yang baru saja tergerai diwajahnya tiba-tiba memudar. Sepertinya dia kembali dirundung kesedihan.

"Hilya, percayalah sama abah dan ummi, abah dan ummi tidak mungkin salah memilihkan jodoh untuk kamu. Laki-laki yang bernama Setya itu sangat tampan. Yang ummi dengar dia adalah pengusaha besar. Keren kan calon suami kamu itu," kata Hajjah Halimah dengan merangkul tubuh putrinya lagi. "Sudah sana mandi! Ummi yakin setelah bertemu dengan calon suami kamu nanti, kamu pasti akan jatuh cinta padanya," ucap Hajjah Halimah sembari beranjak pergi keluar dari kamar Hilya.

Hilya menghelan nafas panjang setelah wanita berusia empat puluh dua tahun itu keluar dari kamarnya.

Ada rasa penasaran dalam hati Hilya terhadap calon suaminya tersebut. Segera dia membersihkan diri di kamar mandi, dan setelah itu dia duduk di meja belajarnya memulai  mengotak atik laptopnya. Hilya berfikir jika laki-laki yang umminya sebutkan itu adalah seorang pengusaha besar, pasti nama dan gambarnya akan mudah dia temukan di media sosial.

Dan akhirnya setelah beberapa menit berkonsentrasi di depan laptop, Hilya menemukan sebuah jawaban.

"Agung Satya Adiwijaya pemilik Agung Wijaya group, salah satu pengusaha muda sukses, diusianya yang ke 28 tahun dia telah..." Hilya membaca sebuah artikel yang dia lansir dari majalah bisnis di aplikasi g****e yang ada di laptopnya. Hilya berfikir apa mungkin laki-laki tersebut yang akan menjadi calon suaminya.

"Setya? Apa laki-laki ini yang dimaksud ummi? Sepertinya tidak mungkin, laki-laki ini eksekutif muda dan tinggal di ibu kota, mana mungkin dia melamar gadis yang berasal dari pedesaan yang sangat jauh dari kota besar."

Hilya mulai bertanya dan menjawab sendiri rasa penasaran yang ada di hatinya.

"Hilya!"

Tiba-tiba terdengar suara Hajjah Halimah memecah lamunan Hilya.

"Iya ummi." Seketika Hilya menutup laptopnya saat wanita tersebut masuk ke dalam kamar Hilya.

"Ayo cepat calon suamimu sudah datang!" kata wanita itu.

"Mmm..." Hilya mengangguk sembari tersenyum.

Hilya pun segera merapikan jilbab yang dia kenakan, jilbab syar'i warna toska yang tampak senada dengan gamis yang dia kenakan.

"Cantik sekali putri ummi!" puji Hajjah Halimah dengan memandangi wajah cantik putrinya di depan cermin.

Hilya gadis berkulit putih bersih dengan tinggi seratus lima puluh sembilan centimeter ini menang tampak cantik mengenakan pakaian dengan warna apapun.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Vyrza Vyrza
ak suka critany
goodnovel comment avatar
Vyrza Vyrza
knp ad pengulangan crita dibawah kt bersmbung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bidadari Spesial   Bab 83 (Tamat)

    Selepas persalinan, Satya tidak beranjak dari kamar Hilya. Laki-laki itu duduk di kursi yang ada di sebelah kanan bed Hilya. Menjaga Hilya dan bayinya sepanjang malam."Sayang! Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau menerimaku kembali kan? Tolong maafkan aku!" Satya kembali menggenggam tangan Hilya untuk meminta maaf.Hilya masih bergeming dengan mengalihkan pandangannya dari tetap Satya "Sayang! Aku sungguh-sungguh! Aku berniat untuk tinggal di kota ini. Aku akan tinggal di sini bersama keluargamu. Aku akan belajar agama pada Abi dan ummi."Berlahan Hilya menoleh ke arah Satya."Kamu mau tinggal di sini mas?" tanya Hilya tidak percaya."Iya. Aku akan belajar agama di sini, aku sungguh-sungguh ingin menjadi imam yang dapat kamu banggakan," sahut Satya."Sayang! Kamu ingin membangun yayasan pendidikan di tanah abi, kan? Aku akan segera membelinya dari abi. Kita akan bangun masjid di sana, sekolah untuk anak yatim-piatu, untuk kaum duafa, aku siap menjadi donaturmu," kata

  • Bidadari Spesial   Bab 82 (Ciuman Penahan Sakit)

    Delapan jam telah berlalu. Hilya masih berada di rumah praktek bersalin milik bidan desa.Saat ini sudah jam dua puluh empat malam."Sudah pembukaan delapan," kata Bu Bidan sambil tersenyum, setelah memeriksa jalan lahir Hilya.Hilya mulai terlihat kesakitan.Sesekali dia membuang napas keras."Huuuuuuh!""Kalau rasa sakitnya semakin sangat, tandanya pembukaannya akan sempurna, dan bayinya akan segera keluar," ujar Bu Bidan.Setelah memeriksa Hilya, Bu bidan keluar dari ruangan.Keringat Hilya mulai bercucur. Ketika rasa sakitnya datang Hilya mulai menggenggam tangan umminya dan berteriak menyebut nama Tuhan."Allah!!""Sakit!!!" desah Hilya saat rasa sakit yang datang begitu terasa mengguncang jalan lahirnya.Bu Bidan yang mendengarkan teriakan Hilya bergegas masuk kembali ke dalam ruangan.Bidan senior itu tampak membawa tiga asisten masuk ke dalam ruang bersalin.Tiga orang bidan muda yang nantinya akan membantu proses persalinan Hilya."Tolong ditutup pintunya!" kata bidan senior

  • Bidadari Spesial   Bab 81 (proses persalinan)

    Semua mobil kini mulai melaju. Empat mobil yang di kendarai gadis bernama Zara beserta asistennya, dan empat mobil lagi yang dinaiki Satya beserta asistennya. Delapan mobil itu terlihat berjalan beriringan. Rombongan mobil milik Zara berjalan di depan, sementara rombongan mobil Satya berjalan di belakangnya. Saat dalam perjalanan tiba-tiba terdengar suara kumandang adzan Magrib. Mobil terus melaju kencang. "Gadis agamis seperti apa dia? Mendengar adzan Maghrib tepat melajukan mobil dengan kencang. Tidak bisa melihat ada sebuah masjid di pinggir jalan," gerutu Satya tiba-tiba. Dengan wajah heran Dirga pun menoleh ke arah Satya. "Pak! Berhenti!" kata Satya kepada sopirnya. Seketika mobil menepi. "Aku mau salat Magrib dulu di masjid. Kamu boleh terus ikuti gadis itu," kata Satya pada Dirga. "Hmmmmh!" Dirga mulai membuang napas keras. "Aku rasa dia bukan gadis yang tepat untukku. Aku tidak ingin menemuinya," ujar Satya. "Hmmmmh!" Dirga kembali membuang napas keras. "Lalu?"

  • Bidadari Spesial   Bab 80 (Kontraksi)

    Sore itu Hajjah Halimah membawa putrinya ke rumah bidan praktek yang ada di desa itu. Tempat biasa Hilya memeriksakan kandungannya.Ibu Bidan mulai memeriksa kandungan dan jalan lahir Hilya."Masih sakit perutnya?" tanya Bu Bidan."Sudah tidak, Bu," sahut Hilya."Tadi kontraksi sebentar," kata Bu Bidan."Ini masih buka satu. In Sha Allah enam jam atau sepuluh jam lagi baru melahirkan. Pulang dulu saja ya, istirahat di rumah!" saran Bu Bidan.Akhirnya setelah periksa Hilya mengikuti saran bidan, untuk kembali ke rumah.Waktu terus berjalan, esok hari pun tiba. Hilya masih terlihat sehat. Tidak ada tanda-tanda wanita cantik itu akan melahirkan."Perutmu nggak sakit lagi, Nak?" tanya Hajjah Halimah saat Hilya membantunya memasak di dapur."Belum.""Kata bidan, enam sampai sepuluh jam. Ini sudah lebih dari sepuluh jam loh, kok kamu belum melahirkan?""Kata bidan itu In Sha Allah, Ummi! Hilya kan masih pembukaan satu. Yang pernah Hilya baca, kalau masih pembukaan satu, bisa berlangsung beb

  • Bidadari Spesial   Bab 79 (Gugatan Cerai)

    Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand

  • Bidadari Spesial   Bab 79 (Gugatan Cerai)

    Pagi telah menjelang. Seperti biasa Satya kembali disibukkan dengan pekerjaannya, dan jadwal kencannya.Terlihat handphone di mejanya bergetar. Satya bergegas mengangkat handphone tersebut sembari terus berkonsentrasi dengan laptop dan file-file yang ada di hadapannya."Jam satu nanti kamu ada jadwal makan siang dengan Syakila, dia model, dan seorang hijabers," terang Dirga, seorang sahabat yang menelepon Satya."Hari, hari aku sibuk, jadi aku tidak bisa menemanimu," tambahnya."Kalau begitu tunda saja pertemuannya. Jika waktumu sudah senggang, baru kita temui wanita itu," jawab Satya sembari terus mengetik sesuatu di laptopnya."Ce'k!" Dirga mendesis. "Ayolah teman! Aku benar-benar sibuk beberapa hari ini. Aku sudah atur jadwal pertemuanmu. Asisten dan sopirmu juga sudah aku beri tahu, jadi untuk sementara mereka semua yang akan menemanimu."Tanpa membalas penjelasan Dirga, Satya mematikan handphonenya, dan kemudian meletakkan benda berbentuk pipih tersebut di sebelah laptopnya.Hand

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status