เข้าสู่ระบบZalman kembali dengan setelan baru.Kaos hitam dengan celana pendek warna senada sepatu yang sama seperti yang Ghina kenakan, dan topi agar tidak langsung tersengat sinar matahari."Bagaimana?" celetuknya, bertanya.Pria itu bahkan sengaja berputar, menampilkan sisi lain dan bersikap bagai pria keren. Ini lucu sebab diusianya yang tidak lagi muda, Zalman tau caranya menghibur sang istri.Ghina menunjukkan jempolnya, "Keren!" pujian itu dilontarkan dengan senyuman mengembang sempurna.Zalman mendekat, membuka lebar telapak tangannya. "Tos!"Karena tubuh suaminya yang terlihat cukup tinggi, Ghina harus sedikit berjinjit menggapai tos–an itu."Mas yakin kita bisa? Apa Mas Zalman sudah pernah ikut membantu sebelumnya?" tanya Ghina, melontarkan lebih dari satu kalimat tanya.Wajahnya menunduk dalam, menatap permukaan tanah berkerikil yang ia lewati. "Pekerjaan di ladang tidak akan semudah itu," cicitnya, menambahkan namun dengan suara yang lebih pelan.Zalman menanggapi obrolan Ghina denga
Ghina baru saja selesai shalat subuh, menangkap radar suara riuh dari ruang tamu. Saat memastikan bahwa ia tak salah dengar, Ghina melihat Calvin dan Zalman yang sedang berbincang.Keduanya sudah bangun, rapi berpakaian, sangat jauh dari biasa tidak ada lagi merk brand di sana sudah membaur dengan penduduk di desa."Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?"Percakapan sampai pada Zalman yang bertanya soal pendidikan putranya. Matanya menatap penuh.Usai meletakkan gelas tehnya di meja, putra sulung Zalman itu menjawab tenang. "Calvin mengambil kelas malam, Pa. Pagi harinya, Calvin akan bantu Papa.""Semuanya sudah Calvin pikirkan dan atur sebaik mungkin. Ini tidak akan mengganggu pendidikan Calvin sama sekali.""Calvin akan penuhi yang Papa inginkan, jadi tolong ijinkan juga Calvin melakukan yang Calvin telah rencanakan."Karena ide cuti kuliahnya ditolak Zalman Papanya memberi perintah dimana Calvin harus terus melanjutkan sekolahnya tetap tak membuat lelaki berpendidikan itu kehabisan cara.
Melihat Zalman dan Kila yang nampak asik menghabiskan waktu dengan berbincang bersama, Calvin yang juga sibuk sejak tadi mendekat.Keringat di kening membuatnya terlihat seksi, cool. Tidak perlu usaha untuk membuat Calvin menjadi idaman."Sedang mengobrol apa?" tanya lelaki berparas menawan, Zalman dimasa muda. "Ajakin, dong!"Kila buru-buru menyahut, ia sampai berdiri karena panik Zalman buka suara."Jangan bongkar rahasia kita, Pa! Jangan coba-coba memberitahu Bang Calvin sekecil apapun informasinya!" telak, seolah mengumumkan bahwa itu hanya soal mereka berdua, Kila begitu cekatan.Calvin yang disudutkan dan tak dipihak siapapun mengerutkan keningnya. "Ih, kok gitu?"Zalman hanya terkekeh geli.Lama mereka mengobrol hal yang hanya dipahami oleh kakak beradik itu, sebelum Calvin mendadak membahas sesuatu yang serius."Calvin punya sesuatu, Pa," kata putra sulung Zalman tersebut. "Sebenarnya, mau dikasih nanti. Tapi karena ingatnya sekarang, jadi sekarang aja."Kila juga ikut menyima
Hari beranjak sore, matahari yang semula gagah berani berdiri di langit, perlahan turun.Tenggelam di balik laut, perairan yang begitu tenang.Zalman yang kelelahan merapihkan, mengunjal, menata barang-barang memilih mengistirahatkan diri di bangku kayu yang dirinya dan Calvin buat sesaat lalu."Hari yang sangat panjang.""Saya akan coba untuk tidur dan beristirahat semenit saja," gumamnya, meracau tak jelas.Kala matanya hendak terpejam, suara langkah kaki yang mendekat mengurungkan niatnya."Pa, aku bawakan olahan minuman dingin!" Kila memberi kejutan, membuatkan sesuatu yang sejak tadi memang begitu Zalman butuhkan.Pria yang dipenuhi keringat sehabis bekerja itu segera membuka mata, bangkit. Sempat merintih sedikit karena merasa di beberapa bagian ototnya mendadak kaku."Minuman dingin?" ulang Zalman, berbinar excited. Mata dan mulutnya terbuka secara bersamaan. "Kamu yang buatkan?"Kila mengangguk bangga, melengkungkan senyum cerahnya. "Minuman ini akan mengisi ulang energi Papa
Aldi masih mencoba untuk menunggu balasan dari pesan yang beberapa satu lalu ia kirimkan. Matanya tidak berpaling sedikitpun dari ponsel. Kalau-kalau ia melewatkan detik berharga dimana Kila menelponnya.Namun naas, sepertinya tidak akan ada yang berubah dari tanda centang biru yang nampak di layar. Tidak pula ada panggilan masuk padahal Aldi telah menanti dengan sabar."Kenapa nggak dibalas, ya?""Kila sudah membaca pesannya, tapi dia sama sekali nggak memberi tanggapan apa-apa.""Apa ini berarti dia nggak mau gua tau lebih banyak? Soal kabar keluarganya, jangan-jangan dia memang sengaja merahasiakan hal ini?"Menyadari bahwa keberadaannya mungkin saja tidak diingankan oleh gadis itu, bila memaksa bertemu, membuat Aldi merenung lama.Jantungnya berdebar kencang, namun ia tak punya kuasa. Bagaimana mengusir gelisah yang menghimpit dadanya saja sudah membuatnya kewalahan."Padahal kami sudah berjanji antara satu sama lain untuk mengatakan segalanya dan nggak merahasiakan apapun.""Kena
"Aldi mengatakan sesuatu padamu, Bang?"Kila memberanikan diri untuk bertanya kepada orang yang sebelumnya ingin ia makan hidup-hidup, si menjengkelkan Calvin.Cukup lama, Calvin masih terus fokus menyetir mobilnya. "Nggak ada. Aldi mengabari kalau sempat mampir ke rumah, pas banget waktu kita berangkat.""Abang bilang hari ini kita memutuskan untuk pindah dan memulai hidup baru. Abang pikir kamu sudah ceritakan soal itu ke Aldi, tapi rupanya dia nggak tau."Kila menunduk, menghela napas berat. "Aku nggak bilang apapun mengenai masalah kita ke Aldi, Bang."Calvin mengangguk, merapatkan bibir. "Dia pasti kecewa karena terlambat tau."Kata-kata Calvin sukses membuat fokus Kila tertarik padanya."Bukan pengalaman yang menyenangkan ketika dua orang sudah seringkali berbagi banyak hal, tetapi tiba-tiba mendadak merahasiakan sesuatu untuk satu sama lain," lanjut Calvin.Mata Kila berkaca-kaca, penyesalan semakin besar menghimpit hatinya. "Jadi, apa menurut Bang Calvin, yang aku lakukan ini







