Zalman tidak akan membiarkan Ghina pergi lagi. Cukup sekali, dia tak ingin mengulangi kejadian yang sama. “Sayang, tolong dengarkan penuturan Mas. Please,” pinta Zalman memelas. Dia menahan tangan Ghina yang ingin pergi dari sana. “Mas mohon, maukah kamu dengar penjelasan Mas?” Ghina masih memunggungi Zalman. Dia meremas kedua tangannya menahan gemetar yang menjalar. “Sayang—“ “Un-untuk apa lagi, Mas? Kamu sendiri yang mengusirku dari kehidupanmu. Enggak perlu ada kesempatan selanjutnya,” kata Ghina terbata. “Mas menyesal, Sayang. Sangat-sangat menyesal dan ingin memperbaiki semuanya.” Suara Zalman nyaris hilang.“Penjahat kalau diberi kesempatan akan mengulangi hal yang sama. Karena apa? Karena dia nggak memiliki keinginan untuk berubah,” jawab Ghina tegas. Ya, dia harus! Ghina lelah untuk menangis lagi. Dia sangat lemas jika harus membela diri lagi dan dia habis kalimat saat diminta untuk menjelaskan keadaan yang sesungguhnya. “Kita bicarakan ini—“ “Lebih baik kalian masuk
Selama tinggal di apartement milik kakak iparnya, Ghina bisa beristirahat dan merawat kandungan dengan baik. Dia benar-benar melakukan bedrest sesuai perintah Zeze.Setiap pagi dan sore, Zeze akan mengirimkan pembantunya untuk membawakan Ghina makanan. Membelikan suplemen-suplemen ibu hamil juga membelikan barang-barang sesuai kebutuhan dia tanpa memandang harga yang dikeluarkan. Beberapa hari setelah mengetahui tentang kehamilannya, Ghina sangat terkejut. Dia belum beradaptasi menjadi seorang ibu hamil. Setiap pagi, dia selalu mengusap perut lalu mengajak janin tersebut berbicara. Walau tak ada jawaban. Seperti pagi ini. “Assalamualaikum, Sayang. Bagaimana tadi malam? Apakah mama gak sengaja tidur miring, Nak?” Ghina berbicara riang sambil mengusap perutnya.“Dede mau makan apa nih? Mama siapkan.” Dia membuka kulkas, meneliti setiap bahan masakan di dalamnya. Saat ini masih pukul setengah enam, di mana, pembantu Zeze akan datang satu jam lagi. “Omelet, mau?” tanya Ghina kemudian.
Satu minggu terasa seperti satu tahun bagi Zalman yang terus tersiksa. Padahal, tanggal 12 adalah besok.Selama seminggu penuh, dia hanya menunggu di rumah. Tidak kerja dan berbaring seharian.Kila dan Calvin sampai muak melihat wajah sang ayah.“Papa!” teriak Kila kesal dari meja makan.Zalman berada di ujung tangga pun menoleh. “Kenapa, Kila?” tanyanya.“Ini papa yang masak?” Kila menunjuk banyak lauk pauk di meja makan dengan tatapan ngeri.Zalman mengangguk antusias. “Iya. Enak ya?” Pria itu berusaha menghabiskan waktunya dengan memasak, dia berharap waktu cepat berlalu dengan aktifitas itu. Padahal di rumah itu banyak asistent rumah tangganya, bahkan Zalman memiliki juru masaknya sendiri.“Huek! Papa mau buat Kila keracunan?!” Kila berlagak ingin muntah. “Sudah asin, pahit, kemanisan, mana ini gosong lagi!” lanjutnya.Wajah Zalman langsung cemberut. “Jahat,” gumamnya sambil duduk di hadapan Kila.“Kalau gak bisa masak, ya jangan sok-sokan mau buat makan siang deh, Pa! Kasihan l
Apapun akan Zalman lakukan demi menemukan Ghina. Dia menyewa detektif swasta untuk mencari sang istri. Namun, tidak ada yang bisa menemukan keberadaan wanita itu sampai saat ini.Kemarin, dia sangat bodoh karena memiliki pikiran yaitu meninggalkan Ghina sendirian dikamar. Hingga sampai sore hari ini, dia tidak dapat menemukan sang istri.“Sayang, kamu ke mana sih? Mas khawatir,” gumam Zalman dengan mata berkeliaran ke jalanan.Tujuannya saat ini ke apartememt Ghina yang lama. Sebelum ke sana pun, Zalman mendatangi tempat yang memungkinkan wanita itu untuk datang.Tempat kerjanya lama, taman bermain, teman-teman Ghina pun tak lupa Zalman datangi. Tetapi, tidak ada Ghina. Dia bak hilang ditelan bumi.“Semoga setelah ini kita bertemu, aku benar-benar akan memperjuangkan kamu, Ghina.”Ponsel Zalman bergetar, menandakan panggilan masuk. Dia mengambil earphone untuk menjawabnya.Itu dari Kila.“Hallo, Pa? Di mana?!”“Lagi di luar. Papa pulang terlambat, kalian jangan nunggu papah pulang y
"Ikut saya, Ghina," ucap Zalman."Ayo pergi dari sini." Pria itu menarik tangan istrinya.Bagaikan berada di ujung jurang. Zalman tengah berada disebuah dilema besar yang membebani hatinya.Di satu sisi masalah ini, di sisi lain adalah perannya sebagai seorang suami. Persoalan yang melibatkan antara masa lalu dan masa depannya di sebuah insiden tidak menyenangkan jelas menyulitkan Zalman."Pergi? Tidak!" tolak Ghina. Baru kali ini wanita itu terlihat menolak semenjak menjadi istri."Jawab dulu pertanyaanku, Mas!" Ghina hampir ambruk, menghempaskan tangan kekar Zalman yang mencoba untuk menariknya menjauh.Suaranya semakin serak, tak jelas. "Mas juga tidak percaya padaku?" tanyanya lagi pada sang suami.Hening.Ghina berharap ia mendengar kebalikannya.Dia berharap apa yang saat ini ia pikirkan justru tidak demikian."Mas Zalman bukan berusaha untuk mencari tahu kebenarannya melainkan justru memintaku untuk mengakui semua hal yang tidak aku lakukan ini, apa ini benar?" desis Ghina deng
Putra Zalman itu menatap penuh selidik pada Ghina. "Kenapa Mama tega sekali sampai bersikap seperti ini?"Pertanyaan menohok yang terdengar seperti sedang menginterogasi tersebut jelas menimbulkan kebingungan mendalam di hati Ghina.Apa yang sebenarnya terjadi?Baru beberapa jam dirinya pergi dan kesalahpahaman lainnya mulai timbul?Ini seperti lelucon!"Mama tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan, Vin. Memangnya apa yang Mama lakukan?" tanya Ghina."Apa yang Mama lakukan?!" ulang Calvin dengan kesal."Bisa-bisanya Mama bertanya seperti itu seolah tindakan Mama ini bukan apa-apa?!""Calvin, hentikan!" tegur Zalman memperingati, nada bicaranya sedingin es. "Kenapa cara caramu bicara kepada orang tua seperti itu? Siapa yang memberimu hak untuk berkata kasar pada Mamamu seperti itu?!"Ghina menjadi lebih panik. Apalagi Zalman yang terbawa emosi pada putranya, Calvin, yang bukan tipikal seseorang di mana akan membencinya tanpa alasan yang jelas.Pasti sesuatu telah terjadi, mengai