Kekecewaan yang aku rasakan membuatku mengacuhkan Mas Arfan. Aku benci hal seperti ini. Bukannya aku tak boleh dia tidur dengan Ana tapi mengapa di saat dia jadwal denganku malah meminta kepuasan pada Ana.
"Kinan, bisa kita bicara," kata Mas Arfan malam itu."Bicara saja, aku akan mendengarnya," ucapku sinis."Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuat kamu kecewa," kata Mas Arfan."Apa kamu terlalu bernafsu semalam? Sampai tak kuat menahannya?" tanyaku tanpa rasa malu.Di kamar ini tidak ada Kiara jadi aku bebas membicarakan hal pribadi dengan Mas Arfan termasuk urusan ranjang."Aku khilaf," kilahnya."Khilaf? Akh tak yakin jika kamu khilaf, Mas. Apa tujuanmu pilogami hanya biar bisa dapat jatah ranjang tiap malam? Jika aku halangan kamu meminta Ana, tapi apa jika Ana halangan kamu juga akan memintaku? Egois kamu," ucapku sarkas. "Mentang-mentang punya istri dua jadi seenaknya saja," kataku. "Apa itu yag dinamakan adil?" tanyaku."Aku sudah meminta maaf kenapa kamu masih menyalahkan aku?" tanya Arfan."Bukan menyalahkan tapi kamu emang salah. Ternyata alasan kamu saja poligami agar bisa belajar agama," bantahku.Aku benar-benar sudah emosi padahal belum genap sebulan Mas Arfan berpoligami. Tapi dia sudah tidak bisa adil padaku."Jangan salahku aku, Mas. Jika nanti aku pergi," kataku keluar dari kamar.Aku masuk ke kamar Kiara menemui gadis kecilku yang tertidur pulas.Ku dengar suara Ana dan Mas Arfan di ruang keluarga mereka menonton terlevisi. Aku melewati mereka jadi aku melihat kedekatan mereka."Berhubung aku lagi halangan aku halalkan kamu tidur di kamar Ana, Mas. Aku bukan wanita egois," kataku.Ku kunci pintu kamarku agar Mas Arfan tak bisa masuk. Dari pada dia diam-diam memasuki kamar Ana lagi jadi aku bebaskan dia untuk tidur di kamar Ana selama aku halangan.***Seminggu kemudianHalanganku sudah selesai jadi aku siap jika Mas Arfan meminta jatahnya. Hanya saja aku masih acuh tak acuh pada Mas Arfan. Rasa kecewaku belum juga sembuh.Sore itu aku menemani Kiara bermain di taman belakang. Sementara Ana terlihat sedang menyiram bunga. Mas Arfan yang baru pulang menghampiri kami."Sayang, aku harus ke luar kota. Tidak apa kan kalian aku tinggal," kata Mas Arfan."Kapan kamu berangkat?" tanyaku."Malam ini, sayang," jawab Mas Arfan.Ya malam itu di saat aku sudah siap memberi nafkah batin pada Mas Arfan justru dia berangkat ke luar kota."Jangan lupa hubungi aku ya, Mas," ucapku.Meskipun aku acuh padanya tapi melihat dia pergi aku merasa sedih. Malam ini lagi-lagi aku sendiri. Karena itu aku mengajak Aira tidur di kamarku.Pagi itu aku khawatir karena Mas Arfan belum memberiku kabar. Ku lihat ponsel juga tak ada panggilan darinya. Aku keluar kamar saat melewati kamar Ana aku berhenti."Mas Arfan udah nelfon Mbak Kinan?" tanya Ana yang ternyata sedang menerima telfon dari Mas Arfan.Entah apa jawaban Mas Arfan tapi aku dengan Ana marah pada Mas Arfan."Kamu kok gitu, Mas. Mbak Kinan itu istri pertama kamu dia pasti lebih mengkhawatirkan kamu. Kalau gak mau nelfon setidaknya kirim pesan," tegur Ana."...""Aku gak suka kalau kamu bedain aku sama Mbak Kinan, Mas," kata Ana lalu mematikan panggilannya.Aku segera ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan. Ku lihat Ana menyusul."Kenapa An, kok kayak lagi kesel?" tanyaku."Oh gak, Mbak," jawab Ana."Mas Arfan udah hubungi kamu belum? Soalnya gak ada hubungi aku," tanyaku."I-iya, Mbak," jawab Ana sedikit takut."Ternyata Mas Arfan lebih peduli sama kamu ya," kataku. "Ya udah ayo kita makan! Ngapain aku mikir Mas Arfan kalau yang dipikirkan Mas Arfan itu kamu," sindirku.Aku berusaha membuat Ana tidak betah di rumah ini. Agar dia meminta pindah, syukur-syukur dia malah minta cetai sama Mas Arfan.Ana hanya makan dalam diam sejak mendengar jawabanku tadi. Aku yakin dia pasti merasa bersalah."Kalah gitu titip Mas Arfan, Na. Ternyata kamu lebih pandai menjaga suamiku dari pada aku," kataku pada Ana lalu mengajak Kiara berangkat.Sampai di kantor aku mengecek ponselku, ada pesan dari Mas Arfan memberitahukan bahwa sudah sampai dan bersiap untuk kerja. Aku enggan membalasnya.***Dua hari kemudian Mas Arfan pulang dari dinasnya di luar kota. Ku lihat Ana tersenyum menyambut Mas Arfan. Berbeda denganku yanv masih acuh dan jutek."Suami pulang kok malah acuh gitu, Nan," tegur Mas Arfan."Bagaimana gak acuh, istri kedua di telfon terus tapi istri pertama hanya di kirim pesan," ucapku sinis lalu masuk ke dalam kamar.Mas Arfan menyusulku ke kamar," Kamu berubah, Nan. Kamu gak seperti Kinan yang dulu," kata Mas Arfan."Apa kamu gak sadar yang buat aku kayak gini itu kamu, Mas. Kamu gak pernah adil sama aku dan Ana," bantahku. "Kalau kamu emang lebih butuh Ana dari pada aku mendingan aku pergi, Mas," sambungku."Pergi...mau pergi kemana? Kamu makin lama makin berani membantah Kinan." Mas Arfan justru marah padaku."Kamu sendiri gak sadar kan kalau kamu juga berubah sejak ku izinkan poligami," kataku."Kinan..tolong jangan bikin aku pusing!" pinta Mas Arfan mencoba menahan amarahnya. Ku tatap wajah Mas Arfan, dia tak berani menatapku."Jika kamu ingin poligami ini berjalan baik, kamu harus perbaiki diri," kataku.Aku hendak melangkah keluar kamar. Namun, tangan kekar Mas Arfan menarikku dengan kasar."Kamu yang harus memperbaiki diri, contoh Ana dia lebih menurut pada suami. Selalu ada waktu buat suaminya bukan seperti kamu yang kerja dan kerja," bantah Mas Arfan."Bukan itu sebenarnya masalahnya. Toh aku kerja juga tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu. Masalahnya ada pada kamu, Mas. Hanya saja kamu egois untuk mengakuinya," ucapku.PlakTangan itu tiba-tiba menampar pipi mulusku hingga terasa panas. Ku palingkan wajahku. Ini pertama kali Mas Arfan melakukanku dengan kasar. Aku keluar dari kamar dan meninggalkan rumah."Kinan...mau kemana kamu!" teriakan Mas Arfan tak lagi aku dengarkan. Hatiku sudah terlanjur sakit.Ternyata Allah menjawab doa anak-anak selang dua bulan kemudian aku hamil lagi. Mereka bergembira saat tahu aku tengah mengandung adiknya."Hore... hore punya adik," seru Kiara diikuti dengan Marvel sambil lompat-lompat.Kehamilan aku dan Dina beriringan, tentu aku tak akan bisa menemani dia lahiran. Namun, keluarga Brian sudah siap menemani Sofia lahiran.Papa senang melihat aku bahagia bersama Mas Ilham. Rasa sakit hati yang dulu diciptakan Mas Arfan seketika hilang sudah. Digantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Ilham.Tak hanya diriku, Ana juga merasakan hal yang sama. Dia mencurahkan semuanya padaku. Bahkan dia sempat menangis saat kami bercerita dan ingat saat-saat masih bersama Mas Arfan."Semua hanya masa lalu," kataku. "Sekarang kebahagiaan kita sudah di depan mata, meskipun bukan dengan Mas Arfan," kataku."Iya, Mbak. Hanya saja aku masih merasa bersalah pernah masuk dalam rumah tangga Mbak Kinan," katanya."Semua sudah berlalu, dulu memang aku sempat membencimu. Nam
Ku lihat banyak orang berkerumun, bahkan orang yang berada di dalam gedung pernikahan Sofia ada yang ikut melihat.Ku dengar dari beberapa orang bahwa yang kecelakaan adalah orang yang tadi diusir di pesta pernikahan Sofia."Aduh dia pasti kena karma," kata seseorang.Aku kembali ke gedung, ku lihat Mas Ilham sedang bersama Brian."Ada apa, Mbak?" tanya Sofia."Wanita itu kecelakaan sepertinya," jawabku. "Ku lihat tadi mereka bertengkar," ucapku."Ya ampun!" ucap Sofia.Acara pernikahan Sofia telah selesai. Kini Sofia akan tinggal di rumah ibu. Rumahku kembali sepi, karena hanya kami sekeluarga yang tinggal di sana.Rumah kembali seperti semula, hanya ada aku, Mas Ilham dan anak-anak."Mas, sepi ya?" tanyaku."Ya memang begitu, kan mereka udah punya keluarga sendiri-sendiri," jawab Mas Ilham. "Bagaimana kalau kita liburan?" tanya Mas Ilham."Liburan kemana, Mas?" tanyaku."Ke tempat yang sederhana saja," jawab Mas Ilham. "Nanti aku akan siapkan semua," ucapnya.Kamu akhirnya pasrah de
Kamu semua terkejut saat pria itu menyatakan niatnya untuk menikahi Sofia di atas panggung.Sofia mengangguk pelan," Ya aku menerima kamu," ucap Sofia.Ku lihat kedua mempelai merasa malu melihat Sofia mendapatkan jodohnya di depan mata mereka. Padahal baru satu menit yang lalu dia diejek."Nah, lihat kan kalau aku bisa dapat yang lebih baik," kata Sofia.Sofia lalu mengajak aku dan pria itu keluar dari acara tersebut. Aku terheran-heran, aku kira pasti Sofia tengah membuat drama."Akting kalian bagus," ucapku setelah sampai di tempat parkir."Akting, siapa yang akting Mbak?" tanya pria itu. "oh ya aku Brian, teman SMA nya Sofia," jawab Brian memperkenalkan diri."Jadi kamu beneran melamar Sofia?" tanyaku."Iya benar," jawab Brian."Sofia, Mbak gak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Lebih baik kamu pikirkan matang-matang, setidaknya sebelum menikah kalian memantapkan hati kalian dulu," kataku.
Sofia dan suaminya langsung pamit pulang. Kami tak bisa mencegahnya. Kamu hanya mendoakan kehadiran teman Sofia tidak membuat rumah tangga Sofia yang baru seumur jagung menjadi hancur."Aku jadi Sofia gak mau gantiin," kata Dina. "Sekarang dia kembali, bagaimana kalau sampai dia tidak terima dan merebut suami Sofia lagi?" tanya Dina."Kita berdoa saja semoga tidak seperti itu," jawab Mas Ilham.Aku merasa kasihan pada Sofia, dia harus menjalani asmara yang begitu rumit.Seharian Dina main di rumah, dia sedang libur. Dia bermain dengan anak-anak. Sorenya dia pulang di jemput Seno."Loh katanya Sofia ada di sini kok udah sepi," kata Seno."Udah pulang waktu aku datang," kata Dina."Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Seno."Kamu tidak tahu, Sen," ucapku.Dina hendak pulang tapi dia melihat Sofia datang naik taksi."Loh katanya mau tinggal sama mertua kamu," kataku."Suamiku diminta sama t
Siang itu ku lihat Sofia pulang dengan wajah kusut. Dia terlihat memikirkan sesuatu."Ada apa, Dek? Temanmu sudah pulang?" tanyaku.Dia menggeleng, sepertinya masalahnya semakin rumit."Kak, aku mau nikah," kata Sofia."Hah," aku terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan."Menikah dengan siapa?" tanyaku."Aku disuruh menggantikan pengantin perempuan besok, Mbak," jawabnya."Bukankah itu keinginan kamu, menikah dengan orang yang kamu cintai?" tanyaku heran melihat sikap dia yang justru lemas."Justru itu, aku merasa hanya sebagai tempat pelarian saja karena pengantin wanitanya kabur,' jawab Sofia. "Kak Ilham pasti kaget kalau aku akan menikah besok," kata Sofia."Itu sih tentu, nanti aku bantu bicara sama Mas Ilham," ucapku.Aku segera menelfon Mas Ilham, agar dia pulang lebih awal. Biar bagaimanapun, kami harus menemui keluarga calon mempelai putra."Mas, pulang sekarang! Ada hal
Dua hari setelah pernikahan Dina dan Seno, mereka akan pindah ke rumah baru Seno. Kami mengantar Dina ke sana dengan membawa barang-barang Dina."Aku pasti akan sering kangen kak Kinan," kata Dina."Kalau kangen ya datang kemari lah," ucapku."Insyaallah ya, Kak," ucap Dina.Sampai di rumah Seno, di sana sudah ada keluarga Seno. Pembantu Seno membantu membawakan barang milik Dina ke kamar.Aku ikut melihat kamar Dina, kamarnya sangat luas hampir sama dengan kamarku di rumah. Rumahnya juga bagus dan sangat modern."Wah bakal betah nih kalau rumahnya sebagus ini," pujiku.Dina hanya tersenyum, setelah itu kami ke ruang tamu menyusul yang lain. "Dina, sekarang kamu udah sah istrinya Seno. Jadi mama harap kamu harus saling jaga sama Seno," kata Mama Seno."Iya, Ma," kata Dina.Anak-anak bermain, mereka suka karena rumah Seno ada kolam renangnya. Mereka bermain air di sana."Seno,kamu udah