"Sayang, aku mau menikah lagi," ucap Arfan suamiku. Pria yang sudah lima tahun menikahiku dengan penuh kasih sayang dan cinta.
"Menikah? Kenapa harus menikah lagi, sayang?" tanyaku lembut berusaha bersikap santai dan berharap semua itu hanya gurauan saja.Dilihat dari wajahnya dia tampak serius mengatakan hal itu sehingga membuat hatiku mulai gundah gulana."Mas, kamu bercanda? Jangan main-main, Mas," ucapku tak percaya.Aku tentu tidak siap jika harus di madu Mas Arfan. Selama ini aku sudah menjadi istri yang penurut pada Mas Arfan."Tidak, sayang," ucap Mas Arfan. "aku memang berniat menikah lagi, izinkan aku menikah, ya." Permohonan Mas Arfan serius sekali bahkan dia sampai berlutut di depan aku yang sedang duduk di tepi ranjang. "aku janji akan adil padamu dan istri keduaku."Adil? Mana mungkin bisa adil? Mas Arfan benar-benar gila mau memaduku. Alasannya memang untuk kebaikan tapi apa harus perasaanku yang dia korbankan."Beri aku waktu berfikir, Mas," kataku.Aku terus memikirkan permohonan Mas Arfan hingga kerja pun tak fokus dan makan pun tak enak. Aku terus termenung hingga lupa bahwa aku seorang istri."Kinan, kamu dari tadi melamun saja," kata sahabatku-Erina."Aku lagi pusing, Rin. Rasanya kepalaku mau pecah mengingat Mas Arfan memohon untuk menikah lagi." Aku dan Erina sudah seperti saudara. Kami biasa curhat jika ada masalah dalam rumah tangga kami.Erina tercengang melihat apa yang barusan aku katakan. Dia membelalakkan matanya."Arfan mau menikah lagi? Siapa calonnya?" tanya Erina serius."Entahlah, dia ingin punya istri yang solehah," jawabku."Hah itu alasan Arfan saja, aku gak nyangka Arfan sama kaya pria lain yang suka berpoligami." Komentar Erina. "Jangan mau! Dia pasti tidak akan bisa adil."Ditambah ucapan Erina aku jadi semakin pusing. Bagaimana aku bisa menjalankan hidupku di tengah pikiran yang semrawut ini.Satu minggu kemudian Mas Arfan membawa seorang wanita yang memang menutut auratnya. Bahkan dari cara dia berbicara saja sangat lembut."Sayang, perkenalkan dia Khasanah. Dia wanita yang akan menjadi madumu," kata Mas Arfan.Ya ampun! Mas Arfan serius dengan ucapannya. Bahkan sebelum aku menyutujui hubungan mereka, Mas Arfan sudah membawa wanita ini."Mas, kamu yakin bisa adil?" tanyaku penuh intimidasi."Iya, aku akan adil pada kalian berdua. Aku yakin Khasanah madu yang baik untukmu," jawab Mas Arfan yakin.Tiba-tiba ponsel Mas Arfan berdering, Mas Arfan keluar untuk mengangkat panggilan itu. Dia meninggalkan aku dengan wanita itu."Apa alasanmu mau menjadi istri kedua Mas Arfan?" tanyaku datar.Dia tersenyum,"Maaf sebelumnya, Mbak. Saya melakukannya karena Mas Arfan bilang ingin belajar agama lebih dalam. Sebagai seorang muslimah yang faham agama saya tidak mungkin menolaknya. Jika saya bisa membantu Mas Arfan dan keluarga lebih baik, kenapa tidak saya lakukan," jawabnya panjang lebar."Tapi apa yang kamu lakukan menyakiti hati wanita lain. Apa dalam ajaranmu menyakiti wanita lain diperbolehkan?" tanyaku sedikit menyudutkan dia."Saya mengerti, namun saya yakin bisa menjadi madu yang baik untuk Mbak," jawabnya.Mas Arfan sudah kembali," Kinan, saya akan tetap menikahi Khasanah, tolong restui kami!" pinta Mas Arfan."Mas, beri Mbak Kinan waktu. Kita tidak boleh memaksanya. Saya tidak akan menikah denganmu tanpa restu Mbak Kinan," kata Khasanah.Mulai hari itu Mas Arfan terus membujukku. Tidak hanya dia, Khasanah juga datang ke rumah dan berusaha mendekati aku.Entah mengapa aku melihat Khasanah sangat baik padaku dan putriku--Kiara. Bahkan Kiara sudah dekat dengan dia. Dia juga setiap sore datang ke rumah mengajari Kiara mengaji.Melihat kedekatan Kiara dan Khasanah aku merasa iri. Namun, disisi lain aku senang Kiara mulai bisa mengaji.Hingga suatu malam Mas Arfan meminta izin padaku lagi untuk menikahi Khasanah segera."Kinan, aku harap kamu merestui hubunganku dengan Ana," kata Arfan. Ana adalah nama panggilan Khasanah.Aku masih terdiam, perasaanku mulai dilema. Haruskah aku berbagi suami? Berbagi kasih sayang suamiku? Akankah aku bisa?"Kinan, jawab sekarang. Aku tidak mau terjadi fitnah antara aku dan Ana, jadi aku ingin meresmikan hubunganku dengan dia," kata Mas Arfan.Diam-diam aku sudah menyuruh orang menyelidiki Khasanah. Ternyata dia anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Bapak dan ibunya sudah meninggal sejak Khasanah kelas lima SD.Entah mengapa aku tiba-tiba prihatin dengan keadaan dia yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya."Mas, apa keluarga kamu sudah tahu?" tanyaku."Belum, aku akan memberitahu mereka setelah mendapatkan restu dari kamu, Kinan," jawab Arfan."Baiklah, Mas. Aku restui kalian, tapi ingat kamu harus memperlakukan kita dengan adil," ucapku akhirnya mengalah.Dua hari kemudian Mas Arfan mengajak kita datang ke rumah orang tuanya. Dia akan meminta restu pada kedua orang tuanya."Kinan, kamu yakin?" tanya Sofia--ibu mertuaku."Jika Mas Arfan sendiri sudah yakin, saya tidak bisa berbuat apa-apa, Ma. Semoga Mas Arfan memenuhi janjinya untuk adil," jawabku."Baiklah, jika keputusan kalian sudah bulat. Papa tidak bisa bicara apa-apa lagi. Namun, Arfan kamu harus adil dan minta restu juga pada orang tua Kinan," kata Siswo--papa Mas Arfan.Selang beberapa hari Mas Arfan mengajakku dan Khasanah ke rumah orang tuaku. Mereka terkejut saat Mas Arfan mengatakan niatnya menikah lagi. Papa marah padaku karena aku merestui Mas Arfan."Kinan, kamu sudah gila. Kenapa kamu restui mereka? Kamu yakin Arfan akan adil?" tanya Papa marah."Maaf, Pa." Hanya itu yang bisa aku katakan.Meskipun tidak mendapatkan restu dari orang tuaku, Mas Arfan tetap menikahi Ana. Mereka sudah merencanakan tanggal pernikahan. Aku hanya menjadi pendengar setia saat mereka membahas pernikahan di depanku.Banyak orang yang mengatakan aku bodoh karena mau dimadu. Bahkan orang tuaku sudah tidak mau ikut campur jika nanti Mas Arfan tidak berlaku adil padaku.Para tetangga, sanak saudara dan teman-teman kantorku menggunjingkan aku di belakang."Kinan itu bodoh, dia cantik dan punya karir mau aja dimadu. Kalau aku mendingan minta cerai dari pada dimadu," kata salah satu teman kantorku.Saat itu aku sembunyi di belakang tembok. Aku menangis tanpa suara hanya air mata yang sudah luruh ke pipiku. Tidak kuat menahan tangis aku berlari ke kamar mandi. Ku tumpahkan air mataku di sana. Ku nyalakan kran air agar tidak ada yang mendengar tangisku.Dan hari dimana pernikahan suamiku sudah di depan mata. Mata ini menyaksikan suamiku yang mengucapkan ijab qobul untuk wanita lain. Air mata ini luruh seketika, aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu.Ku lihat rona bahagia diwajah suamiku, begitu juga dengan khasanah. Wanita itu tampak ramah saat berbicara dengan para tamu. Ibu mertua terlihat sedih saat melihatku menatap kebahagiaan suamiku dengan wanita lain."Kinan, sabar ya," ucap ibu mertua. "Kita doakan Arfan menepati janjinya." Aku sendiri tidak yakin jika Mas Arfan bisa menepati janjinya.Banyak orang yang menggunjingkan aku karena terlalu bodoh dengan mau dimadu. Namun, aku sendiri tak tahu sampai kapan aku kuat dengan penderitaan ini.Malam pengantin Ana dan Mas Arfan membuatku berderai air mata. Siapa yang ikhlas berbagi suami. Padahal hati ini sakit dengan keadaan ini.Pagi itu ku lihat rambut basah Mas Arfan. Aku tahu dia dan Ana pasti sudah melakukan hubungan suami istri."Kinan, kamu kenapa?" tanya Mas Arfan."Tidak, Mas. Akh baik-baik saja," jawabku.Ku lihat Ana melayani Mas Arfan dia mengambilkan makanan untuk Mas Arfan. Ada rasa perih di hati yang aku tahan.Aku berangkat kerja sekaligus mengantar anakku sekolah
Aku sedih melihat nasibku sendiri. Bagaimana tidak setiap hari aku melihat suamiku bersama maduku."Mbak Kinan kenapa?" tanya Ana. Mungkin sejak tadi aku melamun sehingga Ana meras heran atas sikapku ini."Tidak apa-apa," jawabku. "Aku ingin segera berangkat kerja," kataku."Mbak, biar aku yang antar jemput Kiara sekolah saja. Mbak Kinan bisa fokus kerja," kata Ana.Hah? Dia mau antar jemput Kiara sekolah? Aku takut dia akan mengambil Kiara lama kelamaan."Bagaimana, Ma? Tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Arfan.Aku hanya mengangguk saja, karena aku tidak mau memperkeruh suasana hatiku. Mas Arfan berangkat kerja lebih dulu. Seperti biasa sebelum berangkat kerja Mas Arfan mencium keningku dan pipi Kiara. Namun, aku merasa cemburu saat hal itu juga dia lakukan pada Ana.Aku ingin protes tapi ku urungkan karena aku yakin Mas Arfan ingin memperlakukan kami sama."Kiara, papa udah berangkat. Sekarang mama juga berangkat. Kiara sekolah sama mama Ana, ya," kataku mencium pipi Kiara."Iya, Ma. Ma
Hari itu aku benar-benar kecewa pada Mas Arfan. Dia berani membohongiku, jika dia sudah tidak mencintaiku lebih baik pisah saja. Aku punya hati yang bisa merasakan sakit dan kecewa.Berkali-kali Mas Arfan menelfon namun ponsel sengaja aku silent. Aku ingin fokus bekerja karena jika nanti aku bercerai aku masih bisa menafkahi Kiara.Satu jam kemudian Ana malah datang ke kantorku. Entah apa maksudnya datang ke kantor."Mbak Kinan, maafkan saya lancang kemari," kata Ana."Maaf Ana, jika ini masalah Mas Arfan lebih baik kamu bicarakan di rumah saja. Kedatangan kamu ke sini hanya mempermalukanku saja. Apa kamu senang karyawan lain menggunjingkan kita?" tanyaku."Maaf, Mbak. Saya hanya mengantar makan siang ini sesuai perintah Mas Arfan," jawab Ana menaruh kotak makan di mejaku.Setelah itu Ana pergi, aku benar-benar kesal dengan sikap Ana dan Mas Arfan. Mereka tidak pernah mengerti aku. Mereka hanya terlalu egois.Sore itu aku pulang tak ku lihat Ana dan Mas Arfan juga Kiara."Bik, di mana
Kekecewaan yang aku rasakan membuatku mengacuhkan Mas Arfan. Aku benci hal seperti ini. Bukannya aku tak boleh dia tidur dengan Ana tapi mengapa di saat dia jadwal denganku malah meminta kepuasan pada Ana."Kinan, bisa kita bicara," kata Mas Arfan malam itu."Bicara saja, aku akan mendengarnya," ucapku sinis."Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuat kamu kecewa," kata Mas Arfan."Apa kamu terlalu bernafsu semalam? Sampai tak kuat menahannya?" tanyaku tanpa rasa malu.Di kamar ini tidak ada Kiara jadi aku bebas membicarakan hal pribadi dengan Mas Arfan termasuk urusan ranjang."Aku khilaf," kilahnya."Khilaf? Akh tak yakin jika kamu khilaf, Mas. Apa tujuanmu pilogami hanya biar bisa dapat jatah ranjang tiap malam? Jika aku halangan kamu meminta Ana, tapi apa jika Ana halangan kamu juga akan memintaku? Egois kamu," ucapku sarkas. "Mentang-mentang punya istri dua jadi seenaknya saja," kataku. "Apa itu yag dinamakan adil?" tanyaku."Aku sudah meminta maaf kenapa kamu masih menyalahkan aku
Aku pergi mengendarai mobilku ke luar rumah. Ku dengar Mas Arfan memanggil tapi tak ku hiraukan.Ku banting setir secepat mungkin, aku tak bisa menahan sakit hati ini. Mas Arfan sudah berubah, dia memperlakukan aku dengan tak adil.Aku tak tahu harus kemana jadi aku memilih ke rumah Erina."Kinan, kamu kenapa?" tanya Erina ketika melihatku datang dengan berderai air mata."Mas Arfan...dia sudah menamparku. Hanya karena aku protes atas perubahannya. Dia menyalahkan aku, dia membandingkan aku dengan Ana," jawabku.Erina memelukku, hanya dia tempat aku mencurahkan isi hatiku. Mau ke rumah papa juga yak mungkin. Mereka pasti akan menyalahkan aku."Kalau kamu ada masalah jangan sekali-kali pergi dari rumah. Kasihan Kiara, Arfan juga pasti akan semakin marah," nasehat Erina."Aku hanya ingin menenangkan pikiranku," kataku.Setelah hampir dua jam aku di rumah Erina. Ku putuskan pulang, aku masuk dengan perlahan.
Aku memang sakit hati pada Mas Arfan tapi aku masih ingat dengan kewajibanku sebagai seorang istri."Bisa, Mas," jawabku.Mas Arfan mendekatkan bibirnya di bibirku. Kami saling berciuman."Mama...Papa...," Panggil Kiara.Ku dengar Kiara menangis di depan pintu kamarku. Sebagai seorang ibu aku beranjak namun Mas Arfan mencegahku."Biar diurus Ana," kata Mas Arfan. "kita lanjutkan saja!" ajak Mas Arfan.Hah!!! Dilanjutkan? Mana aku bisa fokus kalau dengar Kiara menangis."Mama...bukain pintunya! Kiara jatuh," tangis Kiara.Mendengar Kiara jatuh aku tak menghiraukan Mas Arfan. Toh aku tak mendengar ada Ana bangun.Ku buka pintu, Kiara langsung memelukku."Kenapa sayang?" tanyaku melepaskan pelukan Kiara.Ku lihat jidat Kiara benjol jadi aku segera untuk mengobatinya. Ku tinggalkan Mas Arfan di dalam kamar.Kiara memintaku untuk menemani dia tidur. Dan aku pun tertidur di kamar Ki
Ternyata Ana masih mendiami Mas Arfan. Aku tahu saat Mas Arfan mengajak Ana jalan namun di tolak mentah-mentah."Kalau ngajak jalan-jalan Mbak Kinan harus ikut," kata Ana.Nyatanya Mas Arfan malah tak jadi mengajak Ana jalan hanya karena tak mau mengajakku juga.Benar-benar pria egois, padahal dulu Mas Arfan tak seperti itu padaku. Kemana saja dia pergi aku dan Kiara selalu diajaknya."Mas Arfan tak mau aku ikut, kalau kalian mau jalan-jalan aja. Aku sama Kiara di rumah saja," ucapku."Gak, Mbak. Aku gak mau pergi tanpa Mbak Kinan," tolak Ana.Mas Arfan memilih masuk ke kamar Ana. Sejak kami bertengkar Mas Arfan selalu tidur di kamar Ana.***Hidup memang tak ada yang tahu. Dulu aku dan Mas Arfan sangat bahagia. Tapi kini kehidupan kami berubah sejak Mas Arfan memutuskan menikah lagi."Ana, jangan marah sama aku," bujuk Mas Arfan.Aku mendengar karena mereka berada di ruang keluarga. Suara Mas Arfan juga sangat keras."Mas Arfan harusnya minta maaf sama Mbak Kinan. Mas sudah memperlak
Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Arfan. Di sini akulah korbannya, tapi kenapa aku yang dituduh mengadu? Jika aku niat mengadu sudah aku buka tadi di depan mama mertua.nyatanya aku lebih memilih menyembunyikannya."Sabar ya, Mbak. Semoga Mas Arfan nanti sadar akan kesalahannya," kata Ana menepuk pundakku. Ana masuk ke kamarnya, aku ke kamar Kiara dan menangis di samping Kiara yang tertidur pulas."Kenapa kamu berubah, Mas? Kamu bukan lagi suamiku yang dulu," kataku.Aku menangis sampai akhirnya ketiduran di kamar Kiara.Pagi itu Mama mertua aku kira pulang, ternyata dia masih ingin menginap. Aku dan Ana tidak keberatan tapi Mas Arfan tampak keberatan."Aku akan menginap lagi. Apa ada yang keberatan mama di sini?" tanya Mama mertua."Tidak, Ma. Kinan senang mama di sini," jawabku."Iya, Ma. Kami minta maaf karena belum sempat berkunjung ke rumah mama," sahut Ana."Bagaimana dengan kamu Arfan?" tanya Mama mertua."Kalau aku sih terserah mama aja mau nginep sampai kapan. Hanya saja k