"Ah akhirnya selesai!" Aku tersenyum lega, "Adek bayinya udah bisa nyusu, Bu?" tanyaku melirik ke arah si ibu dari posisi menjahit perineum (-otot, kulit, dan jaringan yang ada diantara kelamin dan anus)."Dikit lagi, Bu Bidan, gak boleh dibantu, ya, ini?" "Gak boleh bu, biar dia berusaha. Lebih dari satu jam juga ga apa-apa," ucapku tegas."Dia gak kehausan memang, Bu Bidan?""Ga kok. Bayi baru lahir sanggup gak menyusu sampai 72 jam setelah lahir. Mereka masih punya cadangan cairan dari pas dalam kandungan." Aku berusaha menjelaskan.Si ibu tak menghiraukanku. Kulihat ia memandang bayi merahnya sambil sesekali tangan kanannya mengelus kepala si bayi yang masih lengket dengan lemak dan bekas darah dengan lembut. Tatapannya yang mesra, penuh sayang dan penuh kasih. Begitu intim hingga membuatku iri dan membuat senyum simpul."By the way, saya dapat berapa jahitan, Bu Bidan?" tanya si ibu tiba-tiba."Ga usah ditanyalah, Bu. Yang penting saya bikin cantik dan sippp! Berasa perawan lagi
Sudah lima hari Eki istiqomah tidak menghubungiku. Aku cukup takjub dengan komitmennya. Tak menyangka ia akan menuruti permintaan anehku ini, atau mungkin ia memang hanya iseng mendekati? Entahlah.Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Seperti pagi ini."Pagi semua.." Aku menyapa kepala ruangan yang sedang mengisi kohort, dan Lita."Eh Mim, baru datang, kamu?" Tanya KaRu (-Kepala Ruangan)."Iya, Kak. Ada kohort yang belum diisi?" Aku menawarkan diri sebelulm menaruh tas dan berganti baju dinas."Udah dikerjakan Lita, barusan. Kamu standby pasien ANC aja di depan, gih." ucap KaRu."Oke, Kak."
"Kok malah nunduk? Malu, ya?" Ia menarik daguku."Udah sih, Ki, jangan bercanda begitu lagi. Udah tau aku risih. Yang normal aja. Udah tua juga." Aku mengangkat kepalaku, masih dengan mata enggan melihatnya."Iya, deh.. Maaf. Kalau ketemu kamu, tuh, bawaannya berasa masih SMA. Lupa kalau umur udah seperempat abad lebih," seringainya."Jadi, kenapa kita ke sini?" Aku bertanya kembali."Oh iya soal itu. Maaf, ya, aku bukannya cowok yang gak bisa komit. Cuma ada kondisi mendesak yang bikin aku harus ketemu sama kamu.""Mendesak? Contohnya?" Alisku naik sebelah."Uhm.. Dua hari lalu aku dapat surat tugas ke Oman. Kontrak lima tahun?"Deg!Ada rasa menghimpit di dalam dada."Oh.. Kirain apaan." Aku berusaha tetap terdengar santai"Aku punya jatah cuti dua bulan dalam setahun. Jadi bisa aku pakai untuk pulang selama seminggu setiap tiga bulan," terangnya."Tapi tetap aja, Oman itu jauh Ki.." Suaraku memelan.
"Jadi dari kapan, Kakak praktek di sini?" tanyaku."Hampir tiga tahun, lah." Kak Rifki menarik kursi di meja dekatnya."I see.. ." Aku mengikutinya, menarik kursi di sebelahnya."Dinas di mana sekarang?" tanyanya."Puskesmas, Kak.""Hoo enak, ya, gak megang yang resti?" (-Resiko Tinggi)"Iya, lah, udah gak boleh, sekarang. Banyak batasan. Lumayanlah, ngeringanin kerjaan dan stress. Haha," gelakku."Suami udah berapa, Mim?" tanyanya entah meledek atau mencibir."Astaghfirullah, emang boleh banyak, Kak? Eh," Aku cepat-cepat menutup mulut dan melihat kanan kiri, takut ada yang mendengar."Haha, pengen, ya? Gak boleh!" Ia tertawa."Dih, si Kakak. Kakak kali, tuh, yang pengen. Baru berapa emang, sekarang?" Aku menggodanya dengan memicingkan mata."Satu aja, gak kuat banyak-banyak!""Haha, dasar renta!" Aku balik mencibirnya."Biarin, yang penting udah merasakan nikmatnya dunia. Gak kayak bidan yang
Alunan lagu Virgoun berjudul Bukti mengalun dengan lembutnya. Sebuah tangan merayap dari balik pinggangku. Aku menutup mata, mengikuti ajakannya berdansa sesuai irama.Kamu adalah buktiDari cantiknya paras dan hatiKau jadi harmoni saat ku bernyanyiTentang terang dan gelapnya hidup iniEki semakin mengeratkan pelukannya yang melingkar di pinggangku. Mata kami beradu. Debar jantung saling bersahutan dan senyum tersungging secara alami tanpa bisa dihindari.Kakiku bergerak ke kanan kekiri mengikuti beat yang begitu sempurna, mengimbangi arahan Eki. Sungguh ia lelaki yang romantis. Mencairkan gunung es di dalam jantung. Mampu membuat riak tak lagi berteriak.Heels pada sepatuku tersangkut di gaun yang aku kenakan. Limbung, dan...Bruk!"Ouch!!" Aku mengusap bokong yang terbentur lantai kamar kost. Ternyata mimpi, mimpi yang terasa nyata. Mataku sontak terbuka."Bahkan mimpi-pun gak mau disinggahi lama-lama oleh aku dan Eki! Nasiib," gerutuku seraya bangkit dari mengasihani diri sendiri
Aku membuka mata, melirik kiri dan kanan, lalu tersentak."Kellan?" Mataku membelalak saat melihat sosok pria di sebelah kananku.Ia tersenyum. Wajahnya sedikit berubah dari terakhir kali kami berpisah, dengan rahang penuh jambang tipis membuatnya terlihat lebih macho dan dewasa. Potongan rambutnya masih sama, agak plontos."Hai Mim," sapanya."Kamu- aku- uhm maksudku, kok, aku bisa ada disini? Kamu kok, bisa? ah..." Aku menyilangkan tangan ke depan dada, melindungi tubuhku."Aku gak apa-apain kamu, kok."Aku menarik napas lega."Kenapa aku bisa sama kamu?" tanyaku heran."Kamu lupa, tadi pingsan?" ucapnya.Aku mengingat-ngingat kejadian terakhir."Kamu yang tadi nonjok driver ojek?" Mataku membesar setelah ingat apa yang terjadi sebelumnya. Ia mengangguk."Tukang ojek tadi ngapain, sih? Kok dia sampe narik-narik kamu gitu?" tanyanya geram. Ia memang selalu begini terhadap wanita. Tidak suka ada yang kasar
Aku mengayunkan kaki secepat mungkin. Ketika ragaku sudah mendekati sosok yang berdiri di sebelah sedan hitam tadi, aku sontak memeluknya. Erat. Lelehan yang tadi sempat mengering, kembali basah."Hei... slow down, Baby! Kamu kenapa?" tanyanya dengan suara lembut. Suara yang kurindukan."Ka...ngeeen!" Lelehan tadi semakin deras bak hujan badai."Miss you too, Mima!" Ia membalas pelukanku seerat aku memeluknya."Kamu kenapa gak hubungi aku selama di Oman?" Aku merengek, memukul dada bidangnya."Kamu nungguin? Aku pikir kamu gak mau dihubungi," tanyanya bingung."Bu Rieka kan udah jadwalnya kontrol. Aku nungguin dia datang! Yang tau kontaknya kan kamu..," jawabku berdalih.Ia tertawa keras, suara merdu tadi berubah menjadi bariton yang bisa saja membangunkan seluruh penghuni kost. Aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku.Slup! Mulutnya tertutup.Namun tiba-tiba saja tanganku tadi ditarik, direkatkan ke dada bidangnya
Aku buru-buru menghapus sisa minuman di bibirku dan meraih tissue untuk membersihkan muka Eki akibat ulahku."Maaf.. maaf.." sesalku.Ia meraih tanganku yang sedang mengusap mukanya, dengan wajah datar tanpa amarah, ia berkata."Kalau kamu terima lamaran aku, tiap hari disembur juga aku ikhlas.." ucapnya dengan pandangan mematikan bagiku.Aku melempar tissue tadi ke mukanya. Urung melanjutkan itikad baikku sebelumnya.Dengan wajah kasihan, ia mengusap wajahnya sendiri. Ya ampun lelaki ini!"Eki..., " ucapku ragu."Hmm?" Ia mendongak sambil tangannya tetap membersihkan baju yang sedikit basah."Kamu kenapa bisa suka sama aku, sih?" tanyaku penasaran."Aku sudah pernah jawab, kan. Kamu tuh unik. Susah ditebak. Selain itu, setelah aku tahu tentang keluargamu dari Tri, aku melihat kamu tipe wanita tangguh. Tapi aneh juga, sih, saat sama aku kenapa kamu bisa se-slebor ini, ya?" Ia mengernyitkan dahi.Jleb! Dia sadar ju