Share

Rujuk

"Bapak ngapain, sih? Mau saya laporin, menghalangi ambulan jalan? Bukannya Bapak yang bohong, ya? PNS (-Pegawai Negeri Sipil) aja ngaku polisi!" Aku membentak pengemudi kurang ajar tadi dari arah kursi penumpang.

Pak Dayat, supir ambulan kami kaget dengan bogem mentah yang dilayangkan tiba-tiba. Ia meraba pipinya yang memerah dan sedikit darah yang keluar dari hidung.

Aku segera menghambur keluar, menghampiri pengemudi tadi.

"Bapak pinggirin, gak, mobilnya? Jangan sampai saya foto muka dan mobil bapak, lalu saya viralkan di social media, ya!" Ancamku yang bersiap mengambil gawai dan membuat wajah si pengemudi tak tahu diri tadi pucat pasi.

"Kamu berani sama saya?" Ia menantangku.

"Saya bilang pinggiran mobilnya SE-KA-RANG!" Aku menekankan ucapanku seraya membuat video dengan kalimat pembuka,

"Guys, aku lagi bawa pasien darurat nih. Eh ada bapak sok hebat yang ngaku polisi, ngehalangin jalan, ini mukanya. Ada yang kenal gak?" Kuarahkan kamera ke wajahnya yang tadi begitu sombong.

Ia menahan kamera gawaiku dengan telapak tangannya, "Stop! Jangan rekam!Saya mundurkan mobilnya." Ia berkata dengan ketakutan.

Aku menunggu dengan pandangan sinis. Ternyata di kondisi seperti ini, resting bitch face-ku cukup berguna.

Ketika mobilnya mulai beranjak mundur, akupun kembali ke ambulan.

"Dasar halu! PNS, kok, ngaku polisi. Trus kalo polisi bisa seenaknya? Kena karma jadi penumpang ambulan pas sekarat, aja, nyaho!" Aku tak hentinya mengoceh sebal ketika berada di dalam ambulan.

"Pak Dayat, gak apa-apa? Nanti kita obatin, ya" tanyaku memastikan.

"Gak apa-apa, Neng. Gak perlu, darahnya udah berhenti," ujarnya meyakinkanku.

Pak Dayat segera tancap gas ketika mobil berlogo tiga berlian tadi mundur kembali ke parkiran sebuah mini market. Kembali suara sirine memecah keruwetan jalan di pagi hari.

**

Sirine ambulan mulai mereda seiring dengan kami yang hampir tiba di Rumah Sakit terdekat. Kami segera masuk melalui Instalasi Gawat Darurat.

Aku segera lompat menghampiri Mas Bimo yang sudah mendorong bed keluar dari ambulan.

"Ada pasien PEB! (-Pre Eklampsia Berat)" teriakku saat memasuki ruangan.  Membuat para petugas IGD segera berkerumun 'menyambut tamu' mereka.

Salah seorang dokter dan perawat segera menghampiri dan mengambil alih pasien yang kami bawa.

"Rujukan dari mana?" tanya perawat, di sebelahku Mas Bimo memindahkan pasien dari brankar (tempat tidur) ambulan ke brankar rumah sakit.

Dokter tadi segera melakukan pemeriksaan tanda - tanda vital dan anamnesa pasien.

"Puskesmas Jatinegara, ini surat rujukannya," Aku menyerahkan selembar kertas yang tadi kutulis.

"Infusnya isi apa?" tanya perawat kembali seraya mengecek surat rujukan dan menuliskannya di lembar rekam medis.

"Kosong!" jawabku cepat.

"Isi MgSO4, inject dexametason, telpon OK (Operation Kamer- kamar operasi), terminasi segera," Instruksi dokter Ilham kepada perawat yang kulihat bernama Siti pada name tag mereka..

"DJJ tak terdengar, Dok, curiga IUFD!" Ujarku menambahkan informasi untuk ditindaklanjuti, meski sudah tercantum pada surat rujukan.

"Iya. Keluarga pasiennya ada?" tanyanya.

"Tadi pas mau ngerujuk sih udah suruh orang Puskesmas buat hubungi, tapi.."

Belum sempat kalimatku selesai, terdengar teriakan panik seseorang di tengah riuh rendah para tenaga kesehatan dengan pasien gawat masing-masing.

"Windaa.... Winda... di mana kamu?" 

Aku melirik ke arah sampingku. Seorang pria usia paruh baya menghadap belakang dengan seragam salah satu kesatuan terlihat tergopoh-gopoh penuh kepanikan.

"Sus, ada pasien hamil yang pingsan?" Ia bertanya pada petugas di nurse station dengan nafas memburu.

"Di sana, Pak," Suster menunjuk ke arah pasien yang baru saja kurujuk. Ketika ia membalikkan badan bersiap menghampiri..

..

..

Jantungku terhenti.

Aku mundur perlahan, rasa ragu menyelimuti. Haruskah aku membidik pria itu dengan kamera ponselku saat ini, atau tidak.

Aku bimbang.

Akhirnya akupun memutuskan untuk meninggalkan pasien dan keluarganya setelah kulihat ia menandatangani informed consent (-surat persetujuan) yang diberikan perawat. Paling tidak,  pasien tadi sudah dalam penanganan.

Aku memberi kode kepada Mas Bimo dengan gerakan kepala dan kerlingan untuk kembali ke Puskesmas. Sepanjang jalan aku hanya termangu. Hati dan pikiran jadi berkecamuk.

**

"Udah sampe, Kak? Gimana pasien tadi?" tanya Memey setibanya aku di Puskesmas.

"Iyah. Udah ditangani tadi. Keluarga pasien udah dateng gak lama pas Kakak sampe" jawabku dengan tatapan kosong.

Aku melipir ke ruang jaga, merebahkan diri. Beruntung seluruh pasien periksa hamil telah pulang ketika aku kembali. Pasien bersalinpun sedang tidak ada. Jadi aku tak harus memasang topeng dengan senyuman manis di saat kalut seperti ini.

Nyeri.

Dadaku sakit.

Aku terikat sumpah profesi yang akan menjaga data pasien apapun alasannya kecuali pengadilan yang meminta. Namun secara hati, aku tak tega melihat adik sepupuku dikhianati oleh suaminya sendiri.

"Aku harus gimana?"

Aku menggigit kukuku, gelisah.

"Kalau aku cerita, dia bakal percaya, gak, ya?"

"Nanti malah dikira aku gak seneng liat dia bahagia, lagi. Gara-gara aku belum menikah dan dia udah." 

Kembali aku bergumam pada diriku sendiri

Aku memijat dahiku yang semakin berat.

Aku mencoba menerka kondisi yang terjadi.

Pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke lima. Sang suami mungkin sangat mendambakan kehadiran buah hati. Tapi tak pantas rasanya jika penantian ini menjadi alasan untuk berselingkuh. Bahkan Nabi Zakaria pun tetap bertahan bersama isterinya meski mereka belum juga dikaruniai seorang anakpun, walau rambut keduanya memutih. Hingga akhirnya Allah menghadirkan Nabi Yahya di penghujung usia mereka.

"Ahhh..." Aku membuang napas dengan sangat berat.

Aku meringkuk di atas kasur.

Rasa sesak pada rongga bronchus (-paru-paru), membuatku ingin mengeluarkan manik kaca yang ada di pelupuk mata. Tidak terbayang bagaimana sakitnya hati sepupuku jika tahu kenyataan pahit yang terjadi di dalam pernikahan mereka.

Aku bergidik, seluruh bulu lenganku berdiri. Membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi pada pernikahanku.

Mengapa pernikahan harus se-seram itu?

Mengapa wanita diperlakukan tak adil dalam hal reproduksi?

Mengapa pria bisa dengan leluasa mendua ketika hal itu haram bagi wanita jika di posisi yang sama?

Dan mengapa wanita hanya boleh menerima tanpa boleh bersuara?

**

"Kak, yang dinas sore udah datang." Sayup - sayup terdengar suara Memey mengetuk ruang jaga.

"Iya Mey, sebentar" Aku merapikan seragam yang sedikit terangkat karena tertidur tadi dan membawa tas, bersiap untuk pulang.

"Ada pasien, Mim?" tanya kak Susan saat aku baru saja keluar dari ruang jaga.

"Gak ada kak, tadi pas ANC ada yang PEB. Udah dirujuk karena pingsan," tukasku.

"Oh ya udah. Udah mau balik?" Ia melirik tasku.

"Iyah, duluan ya, Kak." 

Baru saja aku melangkahkan kaki, Kak Susan memanggilku.

"Eh bentar Mim, ada yang nyariin tadi di depan," pungkas Kak Susan.

Aku mengernyitkan dahi, merasa tak ada janji, "Siapa?" tanyaku.

"Gak tau juga, tadi satpam yang ngasih tau." Ia menjelaskan.

"Oh oke. Duluan, ya, Kak!" Aku melambaikan tangan pertanda pamit.

.

Saat aku membuka pintu luar, seorang pria menghampiriku. Membuat persendianku yang tadi sudah sedikit meregang, menjadi kaku kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status