Home / Romansa / Bidan Mima / Pre Eklampsia

Share

Pre Eklampsia

last update Huling Na-update: 2022-05-02 15:28:19

"Pagiii," sapaku ketika baru saja memasuki ruang bersalin.

"Pagi kak Mima, ceria amat!" Balas Memey, rupanya jadwal jaga kami sama lagi.

"Biar pasien ANC (Ante Natal Care - periksa hamil) pada semangat, Mey, jadi kita kudu semangat," ucapku mengangkat kepalan ke arah samping telinga. "Ada berapa pasien?" Aku melirik list pendaftaran dan status yang tersusun di meja.

"Ada delapan, Kak. Padahal baru jam tujuh pagi. Udah banyak aja yang datang." Ia menguap.

"Oke deh. Jam delapan kita mulai, ya." Aku menepuk pundaknya, membuyarkan sesi menguapnya dan mengerling.

"Ih kak Mima, mah. Ilang deh hasrat nguapnya." Ia mengerucutkan bibirnya ke arahku.

Aku cekikikan, suka sekali mengerjai mahasiswa magang satu ini. Ekspresif.

**

"Ibu Asri, saya periksa perutnya dulu ya, Bu" Aku memegang metlin alias meteran untuk mengukur perut ibu hamil, memanjangkannya dari fundus (puncak perut di bawah dada) ke symphisis pubis (bawah tulang pinggul atau kelamin). Lalu melakukan palpasi (perabaan), mencari bagian punggung janin (bayi dalam kandungan). Kuambil doppler, dan meletakkannya pada sisi yang sudah diberi gel bening oleh Memey sebagai asisten.

"Dug, dug, dug, dug" suara denyut keluar dari alat kecil penangkap gelombang suara yang kupegang.

"Wah, itu suara anak saya, Bu Bidan?" Tanya Bu Asri dengan mata berbinar penuh takjub.

"Iya, ini suara jantung janin alias bayi dalam perut ibu. Kenceng ya? Tandanya sehat, ya, Bu! Ritmenya bagus." Aku menjelaskan.

"MasyaAllah.. Allahu Akbar! Saya mau rekam suaranya boleh ya ,Bu Bidan, buat dikirim ke suami saya yang kerja di luar pulau," Ia meminta ijin dan menitikkan airmata.

"Iya, Bu, silakan."

Begitulah, mereka yang dinanti hadirnya di dalam rahim, biasanya disambut penuh suka cita dan airmata kebahagiaan. Biasanya bayi yang lahirpun akan lebih bahagia dan penuh cinta. Berbeda dengan,

"Wah, anaknya aktif ya, Bu. Ibunya kesakitan, ya? Anaknya hebat!" ujarku.

"Tau nih, nendang mulu. Nyebelin banget! Pengen cepet-cepet dikeluarin aja. Bikin sakit!" Ujar bu Siska dengan ketus, pasien termuda hari ini. Usianya baru lima belas tahun (-kami selalu memanggil pasien dengan panggilan Ibu tanpa memandang usia.) Entah dia masih bersekolah atau sudah putus karena kehamilannya. Aku tidak tahu, namun di status rekam medik tercatat pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Pertama. Karena bukan kapasitasku untuk bertanya hal di luar kesehatan dan anamnesa / pemeriksaan lainnya.

Ibu dari Bu Siska segera menimpali,

"Makanya, lu sih gak dengerin gua. Pacaran main bobok bareng bae, nginep mulu dikostan tuh laki Mokondo. Lu bilang pacar lu baek. Noh! Ditinggalin kan, lu. Kagak dinikahin!" Berbagai omelan terlontar tanpa jeda. Tak peduli bahwa itu aib keluarganya, dan ada aku yang merupakan orang luar di sebelah mereka.

Sigh!

Aku menghela nafas.

**

"Berapa pasien lagi, Mey?" Tanyaku pada Memey sambil melirik tumpukan rekam medis di atas meja.

"Lima lagi Kak." Ia menghitung ulang formulir para pasien di hadapanku.

"Yuk, lanjut." Aku menyolek lengannya sambil memberikan kode mata ke arah pintu.

Bruk!!

Tiba-tiba terdengar suara dentuman dari arah luar ruang periksa. Aku dan Memey segera menghambur keluar.

"Suara apa barusan??" tanyaku mengedarkan pandangan di antara para pasiean yang mengantri.

"Bu Bidan, ada yang pingsan!" Pekik salah satu keluarga pasien lain dari baris paling belakang.

"Bawa masuk, Pak! Biar saya periksa." Aku memberi intruksi.

Wanita hamil bertubuh gempal itu pun dibopong oleh beberapa keluarga pasien dibantu satpam puskesmas. Aku segera mengarahkan mereka untuk meletakkan pasien di atas meja periksa.

"Mey, tensi meter sama doppler," perintahku pada Memey.

"Iya, Kak. Ini" Memey yang selalu sigap, segera mengambil dan memberikannya padaku.

Aku mengambil stetoskop yang sedari tadi menggantung di leher, memeriksa tekanan darahnya. Seratus delapan puluh per-seratus dua puluh. Hipertensi! (Tekanan darah tinggi)

Kuletakkan tensi meter dan stetoskop yang tadi kupasang. Jari jemari dan telapak tangan mulai merayapi perut si Ibu, sedikit menekan agar teraba sisi yang merupakan bagian punggung janin. Gotcha! Sebelah kiri. Kusambar doppler yang berada di sebelah kananku.

"Zrrrrtttt....zrrrtttt....zrttttt" Suara bising keluar dari mesin kecil yang kupegang.

Aku menggesernya ke arah jam dua,

"Zzzrtttt...zzrrttt..." Kembali tak ada suara berarti.

"Mey, panggil ambulan, sekalian tanyain keluarganya ibu ini. Kakak siapin surat rujukan. Bawa ibu ini ke Rumah Sakit, kemungkinan Pre Eklampsi dan IUFD - Intra Uterine Fetal Disease (Kematian janin dalam kandungan)" Aku melirik punggung kakinya yang terlihat menebal, lalu menekannya.

Satu detik,

Dua detik,

...

Lima detik kemudian baru kulitnya kembali seperti semua. Oedema! (-pembengkakan pada anggota tubuh yang disebabkan kelebihan cairan dan garam dalam jaringan)

Kami bergerak cepat.

Kondisi darurat membuat detik demi detik yang terlewat begitu berharga. Sepertinya nyawa janin dalam kandungan sudah tak tertolong entah sejak kapan. Tapi tetap berusaha berpacu dengan waktu agar si Ibu masih sempat tertolong meski kondisi sudah tak sadarkan diri.

Di luar ruang periksa kulihat yang lain berkerumun. Menanti kelanjutan dari insiden tadi.

"Awas ya, bapak-bapak, ibu-ibu. Pasien mau dibawa ke Rumah Sakit. Permisi, ya. Kasih jalan!" Suaraku menggelegar memberi aba-aba.

"Pak, tolong minggir, ya. Darurat!!" Suaraku mulai meninggi.

Kami mendorong pasien yang tergolek di atas tempat tidur khusus ambulan dan mendorongnya masuk.

"Mey, lanjutin dulu ya ANC-nya. Panggil Bidan di ruang VK (-Verlos Kamer- yang artinya ruang bersalin). Kakak ngerujuk pasien dulu sama Mas Bimo." Aku memberikan intruksi pada Memey atas apa yang harus dia lakukan ketika aku pergi.

"Iya Kak, siap! Hati-hati, Kak!" Wajahnya tampak khawatir.

"Yuk, Mas!" Aku memberi kode dengan menggunakan kepalaku agar Mas Bimo segera masuk. Ia dengan sigap naik ke atas mobil dan mengambil infus set serta cairannya. Kemudian mencari vena (pembuluh darah besar) untuk ditusukkan selang infus. Tak butuh waktu lama, infus sudah terpasang.

"Pak, jalan!" Aku berkata pada supir ambulance.

Deru mobil tak lagi terdengar, berganti dengan sirine ambulan yang lumayan memekakkan telinga bagi yang berada di dalamnya. Menaiki ambulan di ibukota sangat sulit, mereka kurang paham akan kondisi darurat. Jadi tak ada ruang untuk memacu kendaraan lebih kencang di tengah kemacetan. Berbeda dengan negara lain seperti Jerman dan Swedia, yang akan spontanitas meminggirkan mobilnya dan memberi ruang luas untuk kami mengebut, berkejaran dengan waktu.

Tiba-tiba sebuah mobil melintas dari arah kiri. Berhenti tepat di depan kami. Pengemudinya keluar dan menggedor kaca supir ambulan.

"Kalian tahu gak, ini lagi macet? Saya mau menyebrang gak bisa karena kalian menyesak maju. Kalian tahu gak saya siapa? Saya polisi!" Tukas lelaki yang kutaksir berusia lima puluh tahun menggunakan seragam PNS sebuah instansi. Jelas dia berbohong.

"Iya Pak, maaf. Kami lagi darurat. Ada pasien--" Baru saja sopir kami mencoba menjelaskan, bogem mentah mendarat di pipi kanannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bidan Mima   Akhir Terbaik

    "Baik, sila mempelai pria menjabat tangan wali." Penghulu memberi intruksi untuk diikuti oleh Eki"Bismillahhirohmanirrahim. Saudara Reiki Savian Altezza bin Kuncoro Adi Kusumo. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya berupa dua puluh gram logam mulis, seperangkat alat shalat dan mushaf wanita dibayar tunai," ucap om Kenzi dengan suara berat seolah menahan tangis."Saya terima nikah dan kawinnya Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai." Eki mengucapkan janjinya dengan lantang tanpa ada kesalahan sedikitpun."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu ke arah saksi, juga para tamu yang hadir."Sah!" Seluruh yang hadir mengucapkan satu kalimat yang kami nanti."Alhamdulillah..."Seisi ruangan mengucap hamdalah. Pertanda aku telah sah menyandang gelar nyonya Eki.Aku mengusap wajah. Menutup wajah

  • Bidan Mima   Bismillah

    Aku duduk sendiri di kamar, membiarkan penata rias melakukan aksinya. Puluhan tetes kecil foundation cair ia berikan pada wajahku, lalu diratakan menggunakan spons. Kembali ia membubuhkan foundation berbentuk stick berwarna sedikit lebih terang pada wajahku, diratakan kembali. Ia menambahkan shading berwarma coklat pada bagian bawah tulang pipiku di kanan dan kiri, meratakannya dengan kuas. Setelah itu ia menepuk-nepuk mukaku dengan bedak tabur bewarna natural. Lalu membubuhkan blush on berwarma pink pada pipi.Aku memperhatikannya dengan mata mengintip. Ia masih asyik membubuhkan warna pada kelopak mataku. Memberikan garis hitam pada tepinya. Memasangkan maskara yang kemudian ditimpa bulu mata palsu, lalu alis yang simetris."Akhirnya sahabat gue mau married juga. Gimana rasanya, Mim?"Suara Tri yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mengagetkanku."Eh lo, baru dateng sih. Tapi syukur deh lo dateng sekarang. Deg-deg-an nih gue..""Udah, bismillah." I

  • Bidan Mima   Hati yang Resah

    Akankah semua akan berakhir seperti sebelumnya? Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup walau telah berserah.Aku mencoba menekan panggilan suara dari aplikasi pesan instan. Berharap pemilik telepon yang aku tuju menerima panggilan. Mehempaskan keresahan.Tuut.... nada panggilan tersambung namun tak ada jawaban.Tuut... kembali nada panggilan tersambung.[Halo assalammualaikum] sapa di seberang.[Allahuakbar, waalaikumsalam. Kamu dimana? Gimana pesawatnya?] Tanyaku beruntun.[Aku masih di Muscat International Airport. Pesawat gak ada yang bergerak karena badai.] terangnya.Aku mulai sesegukan.[Mima, aku ga akan menggagalkan pernikahan ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap sesuai jadwal. Kalau tidak, enggak mungkin aku membersamai kamu sejak enam bulan lalu.] Ia mencoba menenangkanku.[Iya, tapi... aku enggak bisa membohongi diri kalau aku khawatir. Khawatir kita sebetulnya tidak berjodoh. Menyesakkannya lagi, sem

  • Bidan Mima   Kabar Buruk

    "Mim..." Suara tante Rita saat mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu."Ya Tante," jawabku buru-buru meletakkan telepon."Gimana persiapan pernikahan kalian?" Ia bertanya seolah tahu apa yang tengah terjadi."Barusan telepon mama Inen. Ternyata Mama Inen belum dapat bahan tile untuk kebaya Mima. Mana waktu tinggal empat belas hari lagi," curhatku. Entah kenapa hatiku tak tenang. Kepalaku mendadak pening."Trus saran mama Inen bagaimana?" Tante Rita yang tahu aku selalu mudah cemas dengan kondisi seperti inipun terdengar khawatir."Mima disuruh ke toko tempat Mima beli kain. Barangkali di sana ada." Aku memberi tahu tante Rita solusi dari mama Inen tadi sambil memijat kedua sudut keningku."Kapan Mima mau ke sana?" Ia kembali bertanya, wajahnya ikut khawatir dan tak tahu harus melakukan apa."Hari ini mungkin Tante. Mumpung Mima libur." Aku menjelaskan rencanaku pada tante Rita."Seserahan sudah selesai? Sudah dibeli semua?

  • Bidan Mima   Sendiri

    Aku memesan taksi online, menantinya dengan rasa gusar. Sudah jam empat sore, dan sebentar lagi jalanan ibu kota akan ramai. Beruntung taksi tiba dalam lima belas menit. Setidaknya aku berangkat sebelum jam pulang kantor.[Kamu sudah dimana?] Chat Eki terdengar resah.[Di jalan, baru keluar jatinegara.][Lewat tol aja ya, biar cepat. Aku udah mau sampai.] balasnya.[Oke. See you then]Klik!Aku mengunci gawai, pandangan kuedarkan ke luar jendela. Dalam beberapa menit ke depan, Eki akan meninggalkan Indonesia. Itu berarti tidak akan ada lagi lelaki penuh kejutan yang datang ke puskesmas, rumah mama, atau kostanku. Tanpa sadar, aku menyukai kejutan yang dibuatnya. Mungkin akan merindukannya beberapa saat, hingga nanti penghulu menyatukan kami dalam akad.Perjalanan ke bandara memakan waktu sembilan puluh menit. Aku tiba di terminal yang dimaksud, tiga puluh menit sebelum jadwal check-in. Eki sudah berdiri disana. Dengan celana chino war

  • Bidan Mima   Menuju Bandara

    "KUDA disini, singkatan dari Kendaraan, Uang, dan DArah. Pastikan ada kendaraan yang mudah dijangkau untuk kondisi darurat, lalu uang, atau tabungan persalinan. Biaya bersalin cukup mahal. Paling murah itu satu juta. Itu pun jika normal tanpa komplikasi. Kalau ada komplikasi atau malah operasi, biayanya bisa sepuluh kali lipat dari itu Pak. Jadi mulai menabung ya Pak. Biar nanti gak bingung dana kalau kondisi darurat. Yang terakhir ialah darah. Di Indonesia yang penduduknya padat, sangat sedikit stok darah. Karena itu, biar gak pusing cari donor, bapak siapkan dari sekarang calon pendonornya. Ibu golongan darahnya A kan? Bapak apa?""Saya A juga Bu Bidan," jawab si suami."Nah Bapak bisa jadi donor, keluarga yang golongan darahnya A juga dimintai tolong jadi donor jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tapi bilangnya dari sekarang, jangan pas butuh. Biar mereka juga standby.""Baik Bu Bidan. Lalu kalau isteri sendiri, apa yang harus dipantang?" Ia kembali bertanya. Aku

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status