Share

Pre Eklampsia

"Pagiii," sapaku ketika baru saja memasuki ruang bersalin.

"Pagi kak Mima, ceria amat!" Balas Memey, rupanya jadwal jaga kami sama lagi.

"Biar pasien ANC (Ante Natal Care - periksa hamil) pada semangat, Mey, jadi kita kudu semangat," ucapku mengangkat kepalan ke arah samping telinga. "Ada berapa pasien?" Aku melirik list pendaftaran dan status yang tersusun di meja.

"Ada delapan, Kak. Padahal baru jam tujuh pagi. Udah banyak aja yang datang." Ia menguap.

"Oke deh. Jam delapan kita mulai, ya." Aku menepuk pundaknya, membuyarkan sesi menguapnya dan mengerling.

"Ih kak Mima, mah. Ilang deh hasrat nguapnya." Ia mengerucutkan bibirnya ke arahku.

Aku cekikikan, suka sekali mengerjai mahasiswa magang satu ini. Ekspresif.

**

"Ibu Asri, saya periksa perutnya dulu ya, Bu" Aku memegang metlin alias meteran untuk mengukur perut ibu hamil, memanjangkannya dari fundus (puncak perut di bawah dada) ke symphisis pubis (bawah tulang pinggul atau kelamin). Lalu melakukan palpasi (perabaan), mencari bagian punggung janin (bayi dalam kandungan). Kuambil doppler, dan meletakkannya pada sisi yang sudah diberi gel bening oleh Memey sebagai asisten.

"Dug, dug, dug, dug" suara denyut keluar dari alat kecil penangkap gelombang suara yang kupegang.

"Wah, itu suara anak saya, Bu Bidan?" Tanya Bu Asri dengan mata berbinar penuh takjub.

"Iya, ini suara jantung janin alias bayi dalam perut ibu. Kenceng ya? Tandanya sehat, ya, Bu! Ritmenya bagus." Aku menjelaskan.

"MasyaAllah.. Allahu Akbar! Saya mau rekam suaranya boleh ya ,Bu Bidan, buat dikirim ke suami saya yang kerja di luar pulau," Ia meminta ijin dan menitikkan airmata.

"Iya, Bu, silakan."

Begitulah, mereka yang dinanti hadirnya di dalam rahim, biasanya disambut penuh suka cita dan airmata kebahagiaan. Biasanya bayi yang lahirpun akan lebih bahagia dan penuh cinta. Berbeda dengan,

"Wah, anaknya aktif ya, Bu. Ibunya kesakitan, ya? Anaknya hebat!" ujarku.

"Tau nih, nendang mulu. Nyebelin banget! Pengen cepet-cepet dikeluarin aja. Bikin sakit!" Ujar bu Siska dengan ketus, pasien termuda hari ini. Usianya baru lima belas tahun (-kami selalu memanggil pasien dengan panggilan Ibu tanpa memandang usia.) Entah dia masih bersekolah atau sudah putus karena kehamilannya. Aku tidak tahu, namun di status rekam medik tercatat pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Pertama. Karena bukan kapasitasku untuk bertanya hal di luar kesehatan dan anamnesa / pemeriksaan lainnya.

Ibu dari Bu Siska segera menimpali,

"Makanya, lu sih gak dengerin gua. Pacaran main bobok bareng bae, nginep mulu dikostan tuh laki Mokondo. Lu bilang pacar lu baek. Noh! Ditinggalin kan, lu. Kagak dinikahin!" Berbagai omelan terlontar tanpa jeda. Tak peduli bahwa itu aib keluarganya, dan ada aku yang merupakan orang luar di sebelah mereka.

Sigh!

Aku menghela nafas.

**

"Berapa pasien lagi, Mey?" Tanyaku pada Memey sambil melirik tumpukan rekam medis di atas meja.

"Lima lagi Kak." Ia menghitung ulang formulir para pasien di hadapanku.

"Yuk, lanjut." Aku menyolek lengannya sambil memberikan kode mata ke arah pintu.

Bruk!!

Tiba-tiba terdengar suara dentuman dari arah luar ruang periksa. Aku dan Memey segera menghambur keluar.

"Suara apa barusan??" tanyaku mengedarkan pandangan di antara para pasiean yang mengantri.

"Bu Bidan, ada yang pingsan!" Pekik salah satu keluarga pasien lain dari baris paling belakang.

"Bawa masuk, Pak! Biar saya periksa." Aku memberi intruksi.

Wanita hamil bertubuh gempal itu pun dibopong oleh beberapa keluarga pasien dibantu satpam puskesmas. Aku segera mengarahkan mereka untuk meletakkan pasien di atas meja periksa.

"Mey, tensi meter sama doppler," perintahku pada Memey.

"Iya, Kak. Ini" Memey yang selalu sigap, segera mengambil dan memberikannya padaku.

Aku mengambil stetoskop yang sedari tadi menggantung di leher, memeriksa tekanan darahnya. Seratus delapan puluh per-seratus dua puluh. Hipertensi! (Tekanan darah tinggi)

Kuletakkan tensi meter dan stetoskop yang tadi kupasang. Jari jemari dan telapak tangan mulai merayapi perut si Ibu, sedikit menekan agar teraba sisi yang merupakan bagian punggung janin. Gotcha! Sebelah kiri. Kusambar doppler yang berada di sebelah kananku.

"Zrrrrtttt....zrrrtttt....zrttttt" Suara bising keluar dari mesin kecil yang kupegang.

Aku menggesernya ke arah jam dua,

"Zzzrtttt...zzrrttt..." Kembali tak ada suara berarti.

"Mey, panggil ambulan, sekalian tanyain keluarganya ibu ini. Kakak siapin surat rujukan. Bawa ibu ini ke Rumah Sakit, kemungkinan Pre Eklampsi dan IUFD - Intra Uterine Fetal Disease (Kematian janin dalam kandungan)" Aku melirik punggung kakinya yang terlihat menebal, lalu menekannya.

Satu detik,

Dua detik,

...

Lima detik kemudian baru kulitnya kembali seperti semua. Oedema! (-pembengkakan pada anggota tubuh yang disebabkan kelebihan cairan dan garam dalam jaringan)

Kami bergerak cepat.

Kondisi darurat membuat detik demi detik yang terlewat begitu berharga. Sepertinya nyawa janin dalam kandungan sudah tak tertolong entah sejak kapan. Tapi tetap berusaha berpacu dengan waktu agar si Ibu masih sempat tertolong meski kondisi sudah tak sadarkan diri.

Di luar ruang periksa kulihat yang lain berkerumun. Menanti kelanjutan dari insiden tadi.

"Awas ya, bapak-bapak, ibu-ibu. Pasien mau dibawa ke Rumah Sakit. Permisi, ya. Kasih jalan!" Suaraku menggelegar memberi aba-aba.

"Pak, tolong minggir, ya. Darurat!!" Suaraku mulai meninggi.

Kami mendorong pasien yang tergolek di atas tempat tidur khusus ambulan dan mendorongnya masuk.

"Mey, lanjutin dulu ya ANC-nya. Panggil Bidan di ruang VK (-Verlos Kamer- yang artinya ruang bersalin). Kakak ngerujuk pasien dulu sama Mas Bimo." Aku memberikan intruksi pada Memey atas apa yang harus dia lakukan ketika aku pergi.

"Iya Kak, siap! Hati-hati, Kak!" Wajahnya tampak khawatir.

"Yuk, Mas!" Aku memberi kode dengan menggunakan kepalaku agar Mas Bimo segera masuk. Ia dengan sigap naik ke atas mobil dan mengambil infus set serta cairannya. Kemudian mencari vena (pembuluh darah besar) untuk ditusukkan selang infus. Tak butuh waktu lama, infus sudah terpasang.

"Pak, jalan!" Aku berkata pada supir ambulance.

Deru mobil tak lagi terdengar, berganti dengan sirine ambulan yang lumayan memekakkan telinga bagi yang berada di dalamnya. Menaiki ambulan di ibukota sangat sulit, mereka kurang paham akan kondisi darurat. Jadi tak ada ruang untuk memacu kendaraan lebih kencang di tengah kemacetan. Berbeda dengan negara lain seperti Jerman dan Swedia, yang akan spontanitas meminggirkan mobilnya dan memberi ruang luas untuk kami mengebut, berkejaran dengan waktu.

Tiba-tiba sebuah mobil melintas dari arah kiri. Berhenti tepat di depan kami. Pengemudinya keluar dan menggedor kaca supir ambulan.

"Kalian tahu gak, ini lagi macet? Saya mau menyebrang gak bisa karena kalian menyesak maju. Kalian tahu gak saya siapa? Saya polisi!" Tukas lelaki yang kutaksir berusia lima puluh tahun menggunakan seragam PNS sebuah instansi. Jelas dia berbohong.

"Iya Pak, maaf. Kami lagi darurat. Ada pasien--" Baru saja sopir kami mencoba menjelaskan, bogem mentah mendarat di pipi kanannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status