"Saya pesan nasi sapi lada hitam sama lemon squash ya, Mba." ucap Tri sambil mengangkat telunjuknya.
"Saya ifumie sama sweet ice tea." susul Eki.
"Saya bakso aja." ucap teman di sebelahnya.
Hening.
Semua melirikku.
"Lo diet? Lama bener milih menunya?" Kembali Tri mengejekku dengan wajah menyebalkannya itu.
Uh!
Ingin rasanya kutelan ia bulat-bulat.
"Iya sebentar, Uhm, saya mie siram seafood aja, Mba," ujarku.
"Minumnya apa, Bu? Pak?" sang pelayan mengarahkan jempolnya ke arahku dan teman Eki.
"Saya es teh tawar."
"Saya es teh tawar." ucap kami berbarengan
"Weits, kompak bener," Tri tertawa puas sekali dengan ketidaksengajaan yang terjadi tanpa skenario itu.
Aku melirik ke arah Eki, kulihat air mukanya berubah.
*
"Jadi kamu nyuruh aku bawa teman karena mau ngejodohin Mima sama temenku?" tanya Eki ke arah Tri. Kulihat Tri mengangguk.
Aku yang sedang menyuap mie dan mendengarnya, sontak terbatuk.
"Uhukk! Uhukk!" Mie yang baru kusuap masuk ke hidung.
Sial!
Seketika itu, Eki yang duduk dihadapanku langsung menepuk punggungku dengan tangan kanannya dan memberikan minumku dengan tangan kirinya.
"Duh, sigap bener. Kayaknya ada sesuatu nih diantara kalian."
Bukannya menyeruput, aku malah menyembur mukanya dengan es teh tawar yang baru kusedot karena ucapan Tri.
Eki buru-buru menjauh dan mengusap muka serta bajunya yang cukup basah karena ulahku.
Duh!
Entah kenapa aku tidak pernah punya image baik kalau bertemu Eki.
Aku menunduk, menahan malu.
Bahkan menelan makanan pun rasanya sulit.
"Eh iya, kamu namanya siapa?" Tanya Tri mengalihkan pembicaraan kepada lelaki di hadapannya.
"Aku Willy, teman kerja Eki." Ucap lelaki bertubuh proporsional dengan rambut sedikit mohawk dan baju berwarna abu misty. Ia mengulurkan tangannya ke arah Tri. Kulihat lengannya begitu kekar karena menyesak pada kemeja lengan panjang yang ia kenakan. Di mulutnya terdapat bakso yang sedang dikunyah dan perlahan mengeluarkan air di sela-sela giginya.
Oh dear!
Menjijikkan!
Mengapa ia mengunyah bakso dengan gigi seri sih?
Aku merasa mual melihatnya, mengalihkan pandanganku ke arah luar. Aku melihat dengan sudut mata, Eki sedang melirikku.
"Kerja di mana, Mim?" tanya Eki mengalihkan pembicaraan.
"Puskesmas Jatinegara." jawab Tri cepat saat aku baru saja menarik nafas untuk menjawab.
Sungguh, anak ini menyebalkan sekali kalau sudah dapat mandat dari Mama!
Bukan kali pertama Tri begini, dulu ketika kami masih mengenyam pendidikan bersama, ia juga sering mengacaukan kencan yang disiapkan oleh para gebetanku. Dikarenakan Mama takut aku disentuh laki-laki.
"Oh, bagian apa?" Eki bertanya pada Tri namun pandangannya mengarah padaku.
"Bidan, kamu gak tau?"
Eki menggeleng, kurasakan tatapannya agak berbeda kini. Entah apa yang ada dipikirannya. Semoga tidak buruk, mengingat aku terlihat semakin clumsy dalam beberapa jam pertemuan kami setelah sekian lama.
"Memang gak punya pacar, Mim?" Willy bertanya dengan wajah penuh rasa ingin tahu dan tetap mengunyah baksonya dengan cara yang sama.
Aku menggeleng lemah, menyadari betapa ironisnya hidupku.
"Kalau aku ulang kejadian di angkot, kali ini diterima, gak?" Eki tiba-tiba bertanya dengan intonasi serius.
Aku yang tidak menyangka Eki akan berkata begitu di hadapan mereka, sontak tersedak.
Makananku serasa tersangkut dileher.
Mereka semua melirikku.
"Wait, kamu pernah nembak Mima di angkot? Kapan? Kok aku gak pernah tau? Lo gak pernah cerita, Mim?" tanya Tri bertubi-tubi ke arah Eki dan aku seolah dikhianati karena melewatkan bagian lain dari kisah percintaanku.
"Waktu aku SMA kelas tiga. Sering papasan saat pulang sekolah." Eki membuka cerita, ia melirikku dengan mata yang persis seperti saat ia menyatakan perasannya di angkutan kota yang kami tumpangi kala itu.
Aku masih mengingat jelas wajahnya, meski kelakukan konyolku justru membawaku pergi menjauh setelah kejadian itu.
"Teruuus?" Tri mulai tak sabar.
"Pas kali ke berapa kami di angkutan umum, kami tinggal berdua. Trus aku tanya, dia mau gak jadi pacarku." Eki melirik ke arahku.
Aku menunduk malu.
Kulihat Tri terpana dan matanya mendelik ke arahku, seolah berkata, "Awas ya! Lo utang cerita sama gue. Liat aja nanti, gue cekek, Lo!"
Keringat dingin mengucur di seluruh badanku, hingga menembus ke celana yang kukenakan.
"Trus? Dia jawab apa? Gila sih! Gw gak tau lo se-gila itu, Ki. Saik sih! Parah!" Tri bertanya dengan mata berapi-api tak sabar menunggu kelanjutannya.
"Ehmm, bukannya dijawab, dia malah langsung turun dari angkot yang lagi jalan, trus menghilang. Gak bayar!" Ia menjelaskan moment memalukan itu sambil kembali melirikku dengan sudut matanya.
"Wait, yang waktu itu lo kerumah gue berdarah - darah dan kata lo karena kesenggol motor, Mim? Trus lo nangis it, kan?" Tri berusaha mengingat masa muda kami.
Dang! Gotcha!
Ia mengangkat alisnya, melirikku perlahan seolah ingin memastikan pernyataan Tri dengan kalimat 'is it true?'
Aku semakin menunduk, berharap aku bisa menghentikan pertanyaan mereka dengan tombol merah pada handphoneku.
Tawa mereka menggelegar, terdengar sangat puas dan bahagia. Cukup berisik hingga membuat seluruh orang melirik ke meja kami.
Aku segera bangun dan pamit ke toilet. Tak sanggup berada lama-lama menjadi pusat perhatian.
**
"Duluan ya, Tri! Kalian hati-hati di jalan. Kalian naik apa?" tanya Eki yang bersiap menuju area parkir mobil di lantai yang sama tempat kami bertemu.
"Iya, Ki. Kami naik taksi online," tukas Tri sambil menyenggol lenganku.
"Hah? Oh iya, ho'oh taksi online." Aku tergagap.
"Oke deh. Bye!" Mereka saling melambaikan tangan. Eki melirikku dan melemparkan senyum penuh arti yang bermakna 'We'll meet again.'
"Iiiih Tri nyebelin banget,sih!!" Aku memukul lengannya berkali-kali karena menahan kesal sedari tadi.
"Aduuh! Sakit Mim. Ih apaan, sih!" rungutnya sambil mengelus dan meniup lengannya yang sama sekali tak lebam.
"Lo ngapain sih, Tri? Ah!" Aku memijat dahiku yang mendadak terasa berat. Andai aku bisa me-rewind hari ini ke awal, akan kuurungkan kedatanganku ke sini.
"Emang gue ngapain? Lo kenapa, sih?" Ia bertanya dengan wajah yang benar-benar terlihat bingung.
"Auk ah! Sebel gue sama lo! Gue mau pulang, Bhay!" Aku meninggalkannya dan segera berlari ke arah lobby.
"Mim, tungguin gue. Mim.. Mimaaa.." Tri berteriak hingga suaranya sedikit menggema dan membuat beberapa pengunjung mall saling berbisik. Kudengar derap kakinya setengah berlari berusaha mengejarku.
Aku segera memanggil taksi yang sedang mangkal di luar gedung mall. Sepatu kets membuat langkahku lebih cepat dan sukses meninggalkan Tri yang tertatih karena ia mengenakan wedges cukup tinggi.
Taksi bergerak meninggalkan Tri dan mall dimana aku mengalami hal konyol berkali-kali.
Aku memutar kepala sebentar ketika taksi sudah sedikit menjauh. Terlihat Tri melambaikan tangan, berharap taksi berhenti.
Rasanya ingin mengilang dari memori Eki, Willy, dan Tri atas kejadian hari ini. Sehingga tak ada aib buruk yang terekam di ingatan mereka.
"Baik, sila mempelai pria menjabat tangan wali." Penghulu memberi intruksi untuk diikuti oleh Eki"Bismillahhirohmanirrahim. Saudara Reiki Savian Altezza bin Kuncoro Adi Kusumo. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan keponakan saya yang bernama Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya berupa dua puluh gram logam mulis, seperangkat alat shalat dan mushaf wanita dibayar tunai," ucap om Kenzi dengan suara berat seolah menahan tangis."Saya terima nikah dan kawinnya Elmima Kamaniai Izdihar binti Nelson Izdihar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai." Eki mengucapkan janjinya dengan lantang tanpa ada kesalahan sedikitpun."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu ke arah saksi, juga para tamu yang hadir."Sah!" Seluruh yang hadir mengucapkan satu kalimat yang kami nanti."Alhamdulillah..."Seisi ruangan mengucap hamdalah. Pertanda aku telah sah menyandang gelar nyonya Eki.Aku mengusap wajah. Menutup wajah
Aku duduk sendiri di kamar, membiarkan penata rias melakukan aksinya. Puluhan tetes kecil foundation cair ia berikan pada wajahku, lalu diratakan menggunakan spons. Kembali ia membubuhkan foundation berbentuk stick berwarna sedikit lebih terang pada wajahku, diratakan kembali. Ia menambahkan shading berwarma coklat pada bagian bawah tulang pipiku di kanan dan kiri, meratakannya dengan kuas. Setelah itu ia menepuk-nepuk mukaku dengan bedak tabur bewarna natural. Lalu membubuhkan blush on berwarma pink pada pipi.Aku memperhatikannya dengan mata mengintip. Ia masih asyik membubuhkan warna pada kelopak mataku. Memberikan garis hitam pada tepinya. Memasangkan maskara yang kemudian ditimpa bulu mata palsu, lalu alis yang simetris."Akhirnya sahabat gue mau married juga. Gimana rasanya, Mim?"Suara Tri yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mengagetkanku."Eh lo, baru dateng sih. Tapi syukur deh lo dateng sekarang. Deg-deg-an nih gue..""Udah, bismillah." I
Akankah semua akan berakhir seperti sebelumnya? Bahkan membayangkannya saja aku tak sanggup walau telah berserah.Aku mencoba menekan panggilan suara dari aplikasi pesan instan. Berharap pemilik telepon yang aku tuju menerima panggilan. Mehempaskan keresahan.Tuut.... nada panggilan tersambung namun tak ada jawaban.Tuut... kembali nada panggilan tersambung.[Halo assalammualaikum] sapa di seberang.[Allahuakbar, waalaikumsalam. Kamu dimana? Gimana pesawatnya?] Tanyaku beruntun.[Aku masih di Muscat International Airport. Pesawat gak ada yang bergerak karena badai.] terangnya.Aku mulai sesegukan.[Mima, aku ga akan menggagalkan pernikahan ini. Aku berusaha sekuat tenaga agar tetap sesuai jadwal. Kalau tidak, enggak mungkin aku membersamai kamu sejak enam bulan lalu.] Ia mencoba menenangkanku.[Iya, tapi... aku enggak bisa membohongi diri kalau aku khawatir. Khawatir kita sebetulnya tidak berjodoh. Menyesakkannya lagi, sem
"Mim..." Suara tante Rita saat mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu."Ya Tante," jawabku buru-buru meletakkan telepon."Gimana persiapan pernikahan kalian?" Ia bertanya seolah tahu apa yang tengah terjadi."Barusan telepon mama Inen. Ternyata Mama Inen belum dapat bahan tile untuk kebaya Mima. Mana waktu tinggal empat belas hari lagi," curhatku. Entah kenapa hatiku tak tenang. Kepalaku mendadak pening."Trus saran mama Inen bagaimana?" Tante Rita yang tahu aku selalu mudah cemas dengan kondisi seperti inipun terdengar khawatir."Mima disuruh ke toko tempat Mima beli kain. Barangkali di sana ada." Aku memberi tahu tante Rita solusi dari mama Inen tadi sambil memijat kedua sudut keningku."Kapan Mima mau ke sana?" Ia kembali bertanya, wajahnya ikut khawatir dan tak tahu harus melakukan apa."Hari ini mungkin Tante. Mumpung Mima libur." Aku menjelaskan rencanaku pada tante Rita."Seserahan sudah selesai? Sudah dibeli semua?
Aku memesan taksi online, menantinya dengan rasa gusar. Sudah jam empat sore, dan sebentar lagi jalanan ibu kota akan ramai. Beruntung taksi tiba dalam lima belas menit. Setidaknya aku berangkat sebelum jam pulang kantor.[Kamu sudah dimana?] Chat Eki terdengar resah.[Di jalan, baru keluar jatinegara.][Lewat tol aja ya, biar cepat. Aku udah mau sampai.] balasnya.[Oke. See you then]Klik!Aku mengunci gawai, pandangan kuedarkan ke luar jendela. Dalam beberapa menit ke depan, Eki akan meninggalkan Indonesia. Itu berarti tidak akan ada lagi lelaki penuh kejutan yang datang ke puskesmas, rumah mama, atau kostanku. Tanpa sadar, aku menyukai kejutan yang dibuatnya. Mungkin akan merindukannya beberapa saat, hingga nanti penghulu menyatukan kami dalam akad.Perjalanan ke bandara memakan waktu sembilan puluh menit. Aku tiba di terminal yang dimaksud, tiga puluh menit sebelum jadwal check-in. Eki sudah berdiri disana. Dengan celana chino war
"KUDA disini, singkatan dari Kendaraan, Uang, dan DArah. Pastikan ada kendaraan yang mudah dijangkau untuk kondisi darurat, lalu uang, atau tabungan persalinan. Biaya bersalin cukup mahal. Paling murah itu satu juta. Itu pun jika normal tanpa komplikasi. Kalau ada komplikasi atau malah operasi, biayanya bisa sepuluh kali lipat dari itu Pak. Jadi mulai menabung ya Pak. Biar nanti gak bingung dana kalau kondisi darurat. Yang terakhir ialah darah. Di Indonesia yang penduduknya padat, sangat sedikit stok darah. Karena itu, biar gak pusing cari donor, bapak siapkan dari sekarang calon pendonornya. Ibu golongan darahnya A kan? Bapak apa?""Saya A juga Bu Bidan," jawab si suami."Nah Bapak bisa jadi donor, keluarga yang golongan darahnya A juga dimintai tolong jadi donor jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tapi bilangnya dari sekarang, jangan pas butuh. Biar mereka juga standby.""Baik Bu Bidan. Lalu kalau isteri sendiri, apa yang harus dipantang?" Ia kembali bertanya. Aku