Zack datang ke apartemen menemui Langit. Mereka bersantai menikmati secangkir kopi latte dan kudapan. Melupakan sejenak perseteruan yang kemarin terjadi. Sesekali, mata pria hitam manis itu menatap ke arah Senja yang tampak sibuk mengurus Baby La. Bermain bersama. "Kau lihat, Bos. Nyonya Senja begitu bahagia dengan Baby La. Apa kau ingin merusaknya dengan terus memikirkan Violeta?" Zack tanpa basa-basi lagi langsung memulai perbincangan yang kurang enak didengar oleh telinga Langit."Apa maksudmu, Zack?" Langit bertanya dengan kesal."Kau pasti tahu maksudku. Bertindaklah tegas pada Violeta. Kasian Nyonya Senja. Dia terlalu baik untuk disakiti." Zack kembali berkata yang membuat Langit semakin kesal."Zack, saya memintamu datang untuk berbicara santai. Bukan memancing amarahku." Langit berkata kesal sambil sedikit mendekatkan wajahnya pada Zack."Tidak perlu marah-marah. Saya hanya ....""Maaf, mengganggu. Saya sudah menyiapkan makan siang. Zack, kau ikutlah makan bersama kami." Senj
Langit tampak sedang bercakap-cakap dengan Mami dan papinya di ruang tamu usai makan siang. Senja sedang menidurkan Baby La di kamar. Percakapan mereka begitu serius dan cukup menegangkan."Langit, Mami mau tanya sama kamu. Apa benar pernikahan kamu dengan Senja hanya di atas kertas dan akan segera berakhir?" tanya Lingga dengan penasaran.Kedua bola mata Langit membulat sempurna. Pria itu kaget bukan kepalang. Ia tidak menyangka jika kedua orang tuanya mengetahui rencananya tersebut."Langit, jawab!" Suara bariton Papi Liam sempat membuat Langit tersentak. Membuyarkan lamunannya."Pa--Papi sama Mami tahu dari mana berita itu?" tanya Langit balik dengan penasaran. Pasalnya, ia tidak pernah menceritakan hal itu pada kedua orang tuanya."Jawab pertanyaan Mami. Jangan malah balik bertanya." Lingga mulai geram karena Langit tidak juga mengaku."Langit," panggil Papi Liam sambil menatap Langit tajam."Awalnya, saya memang menikahi Senja hanya sebatas perjanjian di atas kertas karena saya m
Satu minggu berlalu, pasca kecelakaan yang menimpa Senja terjadi. Wanita itu belum juga menunjukkan tanda-tanda siuman. Langit selalu setia menunggu. Tidak sekalipun ia meninggalkannya."Senja, buka matamu. Saya mohon. Apa kau tidak lelah menutup mata terus? Saya merindukanmu, Sayang." Langit meraih sebelah tangan Senja yang terbalut perban. Kemudian, mencium mesra punggung tangannya.Cukup lama itu terjadi. Tak berapa lama, jadi-jemari Senja mulai bergerak. Menyentuh bibir Langit yang sedang menciumnya. Pria itu tersentak dan mendongak."Sayang, kau sudah siuman?" Langit berkata sambil menatap kedua bola mata Senja yang terbuka perlahan."Sa--saya di mana? Ke--kenapa ada di sini? A--apa yang terjadi?" Senja berkata lirih dengan terbata. Menatap ke arah Langit."Kau kecelakaan beberapa waktu lalu. Tidak sadarkan diri pasca kejadian itu," jelas Langit sambil mendekat dan membelai lembut wajah Senja."Kecelakaan? Aww!" Senja berkata bingung. Kemudian sedikit berteriak karena merasakan s
"Senja, bukan begitu maksud saya. Sejak awal bertemu dan saya memutuskan untuk menikah denganmu. Saya yakin kau bukan perempuan seperti itu. Oleh karena itulah, saya yakin kau cocok untuk menjadi istriku," jelas Langit sambil menggenggam sebelah tangan Senja meski wanita itu berusaha melepaskannya."Cocok? Cocok untuk Anda jadikan kelinci percobaan. Memenuhi semua keinginan Anda. Sekarang, semua sudah terwujud, apalagi yang Anda inginkan dari saya?" Senja semakin menjadi, ia semakin kesal dengan perkataan Langit."Saya tidak pernah menjadikanmu kelinci percobaan. Saya memang menikahimu awalnya hanya di atas kertas dan tidak ada perasaan cinta. Namun, semenjak kejadian malam itu, saat saya ...."Langit menggantung kalimatnya. Pemuda itu semakin merasa bersalah kala harus mengingat kejadian yang sudah menghancurkan perjanjian antara dirinya dan Senja sebelum memutuskan untuk menikah."Apa? Kejadian yang telah menghancurkan semua mimpi dan hidup saya hingga terjebak dalam belenggu Anda?"
Semakin hari, kondisi Senja semakin membaik. Memar di tubuhnya sudah tidak terlihat. Senja sudah diperbolehkan pulang setelah hampir satu bulan dirawat pasca kecelakaan itu terjadi. Meskipun sebelah tangannya juga kepala masih terbalut perban.Langit begitu hati-hati menjaga. Lelaki itu merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Senja. Ia ingin menebusnya dan memperlakukan Senja dengan baik."Kenapa membawa saya pulang ke sini? Saya ingin pulang ke rumah ibu." Senja sedikit kesal karena Langit membawanya pulang ke apartemen."Saya akan merawatmu di sini. Setelah pulih, saya akan mengantarmu ke rumah ibu." Langit menjelaskan alasannya dengan wajah serius."Tuan, saya ingin mengakhiri perjanjian kita. Saya sudah lelah." Senja berkata pelan tak berani menatap Langit."Apa? Kau bilang apa barusan? Tuan? Mengakhiri perjanjian? Perjanjian apa? Tidak ada perjanjian di antara kita, Senja." Langit tampak tidak suka dengan perkataan Senja."Kontrak pernikahan kita. Bukankah akan segera berakh
Senja berkata lirih saat melihat Langit yang sedang berdiri sambil menatapnya tajam. Pria itu mendekati Senja dan duduk di sebelah wanita yang sedang memangku Baby La tersebut."Siapa yang meneleponmu?" tanya Langit dengan tatapan penuh selidik. Senja terdiam sambil mengusap lembut kening Baby La yang tampak lahap menyusu. Wanita itu berusaha menghindari tatapan Langit yang mengintimidasi."Senja," panggil Langit tanpa melepaskan pandangannya."Teman," jawab Senja singkat sambil terus mengusap-usap Baby La."Teman? Siapa? Laki-laki? Perempuan?" tanya pria itu kembali dengan curiga."Mas ....""Jawab, atau saya akan mencari tahu sendiri," ucap Langit sambil berusaha mengambil ponsel Senja yang tergeletak di samping wanita itu."Kenapa ingin tahu urusanku? Aku saja tidak pernah ingin tahu urusanmu?" Bukannya menjawab Senja malah balik bertanya sambil mengambil cepat ponselnya dan menggenggamnya erat."Jangan berkilah. Jawab saja. Atau saya akan merebut ponselmu dan menghancurkannya," a
Langit terus memikirkan ucapan orang yang ia tangkap kemarin. Rasanya sulit dipercaya dengan apa yang dikatakan tawanannya tersebut. "Apa benar yang dikatakannya? Tapi bagaimana mungkin dia melakukannya? Saya harus mencari tahu sendiri kebenaran itu. Kalau sampai dia membohongiku untuk menyelamatkan diri, tidak akan saya ampuni." Langit berkata pelan sambil mengepalkan kedua tangannya.Lamunan Langit buyar ketika netranya melirik ke arah Senja yang baru saja keluar dari kamar sambil mendorong kereta bayi. Langit mendekat."Kau mau ke mana, pagi-pagi sudah rapi dan membawa Baby La?" tanya Langit dengan curiga."Apa kau lupa kalau hari ini saya kontrol?" tanya balik Senja dengan raut wajah sedikit kesal."Astagfirullah. Maaf, saya lupa. Saya akan mengantarmu," ucap Langit sambil menepuk keningnya cukup keras."Kalau kau sibuk, saya bisa pergi sendiri." Senja kembali berkata dengan nada lembut. Namun, cukup membuat Langit mengelus dada untuk bersabar."Saya tidak sibuk. Maaf, jika saya
Langit melakukannya cukup lama. Kemudian melepaskan perlahan. Menatap Senja dengan begitu intens. Napasnya bergemuruh menahan rasa yang bergejolak di dalam dadanya. Antara kesal, cemburu, dan takut kehilangan."Saya tidak suka kau berdekatan dengan dokter itu. Saya tidak suka dia menyentuhmu, meski hanya pemeriksaan. Kau istriku dan sampai kapan pun, saya tidak akan melepaskanmu," ucap Langit penuh penekanan.Pria itu kembali mencumbu Senja tanpa memberi kesempatan sang istri berkata-kata. Langit tak hanya mencium bibir Senja, ia juga menghujani kecupan di pipi dan tengkuk wanita di hadapannya dengan begitu lembut."A--apa yang kau inginkan, Ma--Mas?" Senja berkata saat ada kesempatan sambil menahan sentuhan-sentuhan Langit. Napasnya pun bergemuruh. Jantung Senja berdegup dua kali lebih cepat dari normal."Saya menginginkanmu sebagai istriku. Saya ingin menghapus setiap jejak yang ditinggalkan dokter itu di tubuhmu dan menggantikannya denganku," ucap Langit yang semakin menggebu. Rasa