Share

Bilang Ayahmu Aku Muslim (Extended Version)
Bilang Ayahmu Aku Muslim (Extended Version)
Penulis: Hakayi

1. Kabar dari Kampus

Itu petang yang teduh. Matahari bergeser sesuai hukumnya. Namun langit kelabu menggantung di atas Washington DC. Menyembunyikan terang di baliknya. Gumpalan awan kelam menaungi kota yang hanya menerima sinar matahari rata-rata dua ribu lima ratus jam per tahunnya itu. Washington DC yang beriklim subtropis lembab sedang berada di titik cuaca ekstrim musim dingin. Dan petang itu pusat pemerintahan negara adidaya itu akan mandi besar. Gedung-gedung pencakar langitnya akan basah kuyup dijatuhi curah hujan tinggi di Januari.

Di dalam sebuah rumah sakit besar yang terhimpit gedung-gedung raksasa di jantung kota itu, seorang remaja berusia dua puluh tahun terbaring lemah. Memandangi kelamnya suasana dunia luar dan derasnya hujan melalui jendela kamarnya yang tirainya tersingkap.

David. Anak lelaki berkulit cerah, berambut ikal pirang pendek. Hidungnya kecil, dengan bibir tipis yang warna merah muda agak sedikit pucat. Sesekali pandangannya terarah pada tetes-tetes glukosa dalam tabung infus yang terhubung dengan aliran darahnya. Di sisinya, Rushel Martin—ayah angkatnya—duduk menungguinya. Ia seorang seorang pastur berusia empat puluhan. Lelaki berpembawaan tenang yang mengabdikan dirinya di sebuah gereja di kota itu. Seharian itu dia telah menghabiskan waktunya untuk menjaga anak angkat kesayangannya itu. Anak yang dipungutnya di depan gereja di pagi buta. Tak ada yang mengakuinya sebagai orang tuanya. Rashell pun dengan senang hati merawat anak itu dan mengasuhnya di gereja dan membesarkannya hingga dia kuliah seperti sekarang.

Saat kilat menyambar di luar sana, David tampak ketakutan. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke wajah ayah angkatnya dengan rasa takut. Sejak kecil David sangat takut dengan suara petir itu. Rushell lah yang selalu menenangkannya setiap kali ketakutannya muncul.

"Ayah, kapan aku bisa pulang?” tanya David lemah. “Aku sudah tidak betah di sini. Aku ingin pulang. Aku rindu orang-orang di gereja dan aku rindu dengan teman-teman di kampusku.”

Rushel memandangnya dengan iba. Ia lalu mengelus kening remaja itu, "Sabar, anakku. Dokter bilang kau belum boleh pulang."

David pasrah. Ia kembali menoleh pada derasnya hujan di luar sana yang tanpa ampun membasahi kota. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sesaat kemudian, wajah-wajah yang dikenali remaja itu muncul dari balik pintu. Jardon, dan Anggel - teman kuliahnya, datang mengunjunginya. Jardon yang berulit hitam dan berwajah ramah itu tersenyum senang saat bisa melihat David kembali. Anggel pun merasakan yang sama saat melihatnya. Mereka sudah lama tidak bersama-sama semenjak David di rawat di sana.

Wajah David berbinar melihat mereka datang. Ia ingin bangkit dari posisi berbaringnya namun tubuhnya masih lemah.

            “Tiduran saja, kau tak perlu duduk,” pinta Jardon.

            David mengangguk lalu kembali berbaring sambil melihat ke arah mereka.

Rushel langsung menyambut sahabat-sahabat puteranya dengan senyum sebelum keluar dari kamar itu, membiarkan dua remaja itu bercengkrama dengan anak angkatnya itu.

”Bagaimana keadaanmu, Dave?” tanya Jardon khawatir. Sementara itu, Anggel hanya diam di samping Jardon.

Seulas senyum terpancar di wajah David.

”Kurasa aku sudah lebih baik. Terima kasih kalian sudah datang,” ucap David senang.

Jardon dan Anggel mendadak saling pandang. Seperti sedang berkompromi untuk mengatakan sesuatu pada David. Anggel mengangguk pada Jardon. Jardon pun menoleh pada David dengan penuh keberanian.

“Di kampus, ada mahasiswi baru, Dave,” akhirnya Jardon berkata. “Hari ini teman-teman yang satu jurusan dengan kita tidak mau ikut jam kuliah gara-gara ada mahasiwi baru itu, termasuk aku dan Anggel. Teman-teman bilang dia teroris. Mereka takut, Dave. Mereka khawatir kalau-kalau kampus kita akan dibom oleh mahasiswi itu." Jardon berucap penuh rasa kesal. Sementara Anggel hanya diam dan menunjukkan mimik wajah yang serupa dengan yang ditunjukkan Jardon.

David terkejut tak percaya,”Teroris?”

“Begitulah, Dave.” sambung Anggel. “Hampir semua mahasiswa dan mahasiwi menuntut Rektor kita agar mengeluarkan anak itu dari kampus. Kau tahu? Dia mengenakan pakaian panjang dan pentutup kepala yang lebar. Kostum yang aneh sekali. Yuck!” Anggel meyakinkan.

“Agh! Harusnya aku bersama kalian sekarang. Sayangnya, dokter belum membolehkanku pulang,” ucap David sedih. Sebagai ketua BEM, ia merasa wajib menjadi yang pertama kali mengetahui permasalahan di kampusnya itu. Apalagi, ini mengenai terorisme.

“Kau tak perlu khawatir! Akan kuatasi semuanya saat kau tak ada. Aku kan, wakilmu,” Jardon mengedipkan mata.

Well, kupercayakan padamu, Jardon. Kuharap sekolah kita tidak akan berakhir seperti Gedung Putih!”

***

Saat kedua sahabatnya itu pergi. David gelisah. Pikirannya tersita dengan berita kedatangan mahasiswi muslim berbaju panjang lengkap dengan penutup kepalanya itu. Ia ingin segera sembuh agar bisa segera ke kampus dan bisa melihat sendiri mahasiswi muslim yang dianggap teroris oleh teman-temannya itu.

Mahasiswi muslim asing bukanlah masalah kecil. Ia yakin, ada yang harus ia lakukan. Misalnya, mendukung aksi pengusiran mahasiswi berkerudung itu dari kampusnya.  Sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di gedung putih, hampir semua warga Amerika mem-black list umat muslim. Tak terkecuali David. Baginya, semua muslim adalah teroris.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
menarik sekali, mahasiswinya pasti cantik, Lo bakal klepek" Dave ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status