Share

2. Siapa Gadis Berkerudung Itu?

Rashel datang lalu duduk di dekatnya. David menoleh pada Rushel. Ia ingin menanyakan sesuatu padanya dan berdiskusi atas sikap yang akan diambilnya terhadap mahasiswi muslim yang dianggapnya merangsek ke kampusnya itu.

“Yah, bagaimana menurutmu jika kampusku kedatangan seorang gadis teroris?”

“Teroris?” tanya Rushel dengan heran.

“Maksudku, dia seorang muslim. Dia memakai pakaian panjang dan penutup kepala lebar.”

“Jubah dan kerudung?”

“Ah, ya. Kurasa itu yang dimaksud Jardon.”

Rushel tak lantas menjawab. Ia berpikir sejenak. Setelah mendekatkan kursinya ke dekat tempat tidur David, ia pun berkata, “Apa menurutmu para biarawati gereja kita bisa disebut teroris hanya karena memakai jubah panjang dan kerudung?”

David terperanjat. Tak terpikirkan hal itu sebelumnya.

“Tapi dia muslim, Yah.”

“Dan kita Kristen,” jawab Rushel.

“Tapi, Yah ….”

“Istirahatlah, Anakku. Kesembuhanmu adalah yang terpenting,” pinta Rashel penuh harap.

David mengela napas.

“Aku tidak bisa membiarkan teroris belajar di kampusku. Kampusku berada dalam bahaya.”

Rushel tersenyum penuh kasih. “Anakku, pikirkanlah lagi. Teman barumu, mungkin saja memiliki keyakinan yang sama dengan keluarga biarawatimu sehingga ia mengenakan jubah dan kerudung.”

Wajah David segera diliputi tanda tanya. “Keyakinan?”

Rushel mengangguk pelan,“Bibel mengajarkannya, anakku. Korintus 11 ayat 5.”

David memandang ayahnya dengan penasaran.

“Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa,” ucap Rusahel melanjutkan,”atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.”

David terdiam.

Kemudian Rushel melanjutkan kata-katanya,”Lalu Korintus 11 ayat 13. Pertimbangkanlah sendiri, patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Dan St Tertulian dalam risalahnya “On The Veiling of Virgins” mengatakan, wanita muda … hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.”

David ingin protes, “Tapi dia bisa saja menyembunyikan sesuatu di balik kerudungnya yang besar itu, Yah. Hal semacam itu lumrah di dunia ketiga,” bantah David. “Afghanistan, Palestina, dan lainnya.”

Rushel menghela napas.

“Mintalah ampun pada Tuhan, Anakku,” ucap Rushel,“Bagaimana kau bisa berkata begitu sementara kau belum melihatnya dan kau tidak mengetahuinya secara pasti? Lagipula, negara-negara yang kau sebutkan itu adalah negara-negara yang sedang berperang. Setiap orang berhadapan dengan dua pilihan. Membunuh atau terbunuh.”

David terdiam.

“Berbaik-sangkalah,” Rushel berkata lembut,“berkasih-sayanglah. Itu tidak akan pernah merugikanmu. Kota kita adalah pusat pergerakan hak asasi manusia. Warga kotanya harus merasa malu jika mereka menginjak-injak identitas kotanya sendiri. Justitia omnibus.[1] Kau ingat itu, Dave?”

David tak berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar ingin segera melihat gadis muslim itu. Dan sepanjang malam itu, ia terus mengingat perkataan ayahnya.

Justitia omnibus.

***

Gadis itu melangkah pelan menuju bangkunya, menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang sepi. Ia merapikan tataan kerudungnya sambil mengembus napas. Kebingungan karena tak seorang mahasiswa dan mahasiwi pun berada di ruang kelas itu. Maryam. Gadis yang baru saja pindah bersama keluarganya dari Dubai ke Washington DC. Awalnya ia tak mau ikut pindah. Namun, Maryam tak punya pilihan. Ayahnya yang ditugaskan sebagai Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat memutuskan untuk membawa serta istri dan puteri satu-satunya itu. Karena begitu sibuk dengan urusan kedutaan, ia terpaksa memindahkan Maryam ke sebuah universitas yang mayoritas mahasiswa dan mahasiswnya adalah non muslim.

Seorang wanita tiba-tiba muncul di ambang pintu kelas. Mrs. Violen. Dosen pertamyanya di hari itu adalah seorang wanita berwajah riang, berkulit gelap, berambut ikal model bob. Ia sedikit terkejut ketika hanya mendapati satu mahasiswi di kelasnya. Maryam hanya menunduk.

“Selamat pagi, Maryam. Tampapknya hanya kau yang siap kuliah hari ini,” sapa Mrs. Violen ramah. Berusaha membesarkan hati siswi muslimnya.

Maryam merasa bangga mengetahui dosennya tahu akan namanya itu.

Good morning, Madam. Kenapa tak ada siapa pun di kelas hari ini?” tanya Maryam dengan dialek Arab yang masih kental sehingga bahasa Inggrisnya terdengar sedikit aneh. Beruntung, sejak kecil Maryam sudah mengikuti kursus bahasa Inggris. Sehingga ia tidak begitu kesulitan memahami bahasa itu.

“Aku tidak begitu mengerti, Maryam. Tapi ... kudengar … mereka …,” Mrs. Violen menimbang ucapannya sejenak sebelum melanjutkan. “Maafkan aku, Sayang. Tapi sepertinya mereka pikir kamu … seorang teroris,” suara Mrs. Violen pelan saat mengucapkan ‘teroris’.

“Tapi jangan khawatir, Maryam. Semua akan baik-baik saja. Mereka hanya butuh sedikit waktu untuk memahami bahwa kau tidak berbeda dengan mereka,” Mrs. Violen berkata sambil tersenyum pada Maryam. “Dan walau hanya kau sendiri yang hadir di kelasku, kau akan tetap mendapatkan hakmu.”

Maryam memandang wajah gurunya yang dianggapnya sangat bijak itu. Meski masih merasa sedikit sedih, namun ia menjadi lebih bersemangat karena Mrs. Violen tidak kehilangan antusiasme mengajari materi kuliah yang hanya dihadiri satu peserta di pagi itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status