Rashel datang lalu duduk di dekatnya. David menoleh pada Rushel. Ia ingin menanyakan sesuatu padanya dan berdiskusi atas sikap yang akan diambilnya terhadap mahasiswi muslim yang dianggapnya merangsek ke kampusnya itu.
“Yah, bagaimana menurutmu jika kampusku kedatangan seorang gadis teroris?”
“Teroris?” tanya Rushel dengan heran.
“Maksudku, dia seorang muslim. Dia memakai pakaian panjang dan penutup kepala lebar.”
“Jubah dan kerudung?”
“Ah, ya. Kurasa itu yang dimaksud Jardon.”
Rushel tak lantas menjawab. Ia berpikir sejenak. Setelah mendekatkan kursinya ke dekat tempat tidur David, ia pun berkata, “Apa menurutmu para biarawati gereja kita bisa disebut teroris hanya karena memakai jubah panjang dan kerudung?”
David terperanjat. Tak terpikirkan hal itu sebelumnya.
“Tapi dia muslim, Yah.”
“Dan kita Kristen,” jawab Rushel.
“Tapi, Yah ….”
“Istirahatlah, Anakku. Kesembuhanmu adalah yang terpenting,” pinta Rashel penuh harap.
David mengela napas.
“Aku tidak bisa membiarkan teroris belajar di kampusku. Kampusku berada dalam bahaya.”
Rushel tersenyum penuh kasih. “Anakku, pikirkanlah lagi. Teman barumu, mungkin saja memiliki keyakinan yang sama dengan keluarga biarawatimu sehingga ia mengenakan jubah dan kerudung.”
Wajah David segera diliputi tanda tanya. “Keyakinan?”
Rushel mengangguk pelan,“Bibel mengajarkannya, anakku. Korintus 11 ayat 5.”
David memandang ayahnya dengan penasaran.
“Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa,” ucap Rusahel melanjutkan,”atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.”
David terdiam.
Kemudian Rushel melanjutkan kata-katanya,”Lalu Korintus 11 ayat 13. Pertimbangkanlah sendiri, patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Dan St Tertulian dalam risalahnya “On The Veiling of Virgins” mengatakan, wanita muda … hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.”
David ingin protes, “Tapi dia bisa saja menyembunyikan sesuatu di balik kerudungnya yang besar itu, Yah. Hal semacam itu lumrah di dunia ketiga,” bantah David. “Afghanistan, Palestina, dan lainnya.”
Rushel menghela napas.
“Mintalah ampun pada Tuhan, Anakku,” ucap Rushel,“Bagaimana kau bisa berkata begitu sementara kau belum melihatnya dan kau tidak mengetahuinya secara pasti? Lagipula, negara-negara yang kau sebutkan itu adalah negara-negara yang sedang berperang. Setiap orang berhadapan dengan dua pilihan. Membunuh atau terbunuh.”
David terdiam.
“Berbaik-sangkalah,” Rushel berkata lembut,“berkasih-sayanglah. Itu tidak akan pernah merugikanmu. Kota kita adalah pusat pergerakan hak asasi manusia. Warga kotanya harus merasa malu jika mereka menginjak-injak identitas kotanya sendiri. Justitia omnibus.[1] Kau ingat itu, Dave?”
David tak berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar ingin segera melihat gadis muslim itu. Dan sepanjang malam itu, ia terus mengingat perkataan ayahnya.
Justitia omnibus.
***
Gadis itu melangkah pelan menuju bangkunya, menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan yang sepi. Ia merapikan tataan kerudungnya sambil mengembus napas. Kebingungan karena tak seorang mahasiswa dan mahasiwi pun berada di ruang kelas itu. Maryam. Gadis yang baru saja pindah bersama keluarganya dari Dubai ke Washington DC. Awalnya ia tak mau ikut pindah. Namun, Maryam tak punya pilihan. Ayahnya yang ditugaskan sebagai Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat memutuskan untuk membawa serta istri dan puteri satu-satunya itu. Karena begitu sibuk dengan urusan kedutaan, ia terpaksa memindahkan Maryam ke sebuah universitas yang mayoritas mahasiswa dan mahasiswnya adalah non muslim.
Seorang wanita tiba-tiba muncul di ambang pintu kelas. Mrs. Violen. Dosen pertamyanya di hari itu adalah seorang wanita berwajah riang, berkulit gelap, berambut ikal model bob. Ia sedikit terkejut ketika hanya mendapati satu mahasiswi di kelasnya. Maryam hanya menunduk.
“Selamat pagi, Maryam. Tampapknya hanya kau yang siap kuliah hari ini,” sapa Mrs. Violen ramah. Berusaha membesarkan hati siswi muslimnya.
Maryam merasa bangga mengetahui dosennya tahu akan namanya itu.
”Good morning, Madam. Kenapa tak ada siapa pun di kelas hari ini?” tanya Maryam dengan dialek Arab yang masih kental sehingga bahasa Inggrisnya terdengar sedikit aneh. Beruntung, sejak kecil Maryam sudah mengikuti kursus bahasa Inggris. Sehingga ia tidak begitu kesulitan memahami bahasa itu.
“Aku tidak begitu mengerti, Maryam. Tapi ... kudengar … mereka …,” Mrs. Violen menimbang ucapannya sejenak sebelum melanjutkan. “Maafkan aku, Sayang. Tapi sepertinya mereka pikir kamu … seorang teroris,” suara Mrs. Violen pelan saat mengucapkan ‘teroris’.
“Tapi jangan khawatir, Maryam. Semua akan baik-baik saja. Mereka hanya butuh sedikit waktu untuk memahami bahwa kau tidak berbeda dengan mereka,” Mrs. Violen berkata sambil tersenyum pada Maryam. “Dan walau hanya kau sendiri yang hadir di kelasku, kau akan tetap mendapatkan hakmu.”
Maryam memandang wajah gurunya yang dianggapnya sangat bijak itu. Meski masih merasa sedikit sedih, namun ia menjadi lebih bersemangat karena Mrs. Violen tidak kehilangan antusiasme mengajari materi kuliah yang hanya dihadiri satu peserta di pagi itu.
David masih terbaring lemah menunggu kesembuhannya. Ia ingin sekali segera bertemu teman-teman di kampusnya untuk ‘melakukan sesuatu’ atas mahasiswi muslim di kampusnya itu jika benar ia seorang teroris, namun ayahnya selalu mengatakan bahwa dokter belum mengizinkannya untuk pulang.Seminggu lebih di rumah sakit terasa setahun baginya. David sudah merindukan dunia di luar tembok rumah sakit itu. Suasana gereja tempat tinggalnya, aroma bebungaan taman gereja, para biarawan-biarawati yang selalu menunjukkan rasa sayang padanya, dan kehadiran Pinokio—anjing kecil kesayangannya—tentu saja.David masih ingat bagaimana ia menemukan Pinokio yang terluka dan meraung lemah di depan gereja. Sebuah kalung bertulis ‘Pinokio’ sudah melingkar di lehernya. Keadaan itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Pada bagaimana ia ditemukan oleh Rushel. Bedanya, tak ada yang memasangi kalung di lehernya. Rushel lah yang menamainya David. Nama yang mengandu
David melangkah memasuki kelas itu dengan pelan dan dengan tanya—yang sama dengan yang dilontarkan Jardon dan teman-temannya beberapa saat lalu—di kepalanya. Mengapa ia sampai berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teroris yang dituduhkan pada gadis itu?Gadis itu sedang duduk sambil membaca sesuatu saat David berjalan menuju bangkunya. David duduk di sebelahnya. Lama tak ada pembicaraan di antara mereka. Bagi David, wajah se-innocent itu tidak tampak seperti menyimpan niat jahat untuk menghancurkan kampus dengan bom. Dan seperti kata ayahnya, gadis itu wajib diperlakukan seperti warga Amerika lainnya. Justitia omnibus. David mengingatnya lagi.Maryam sendiri merasa tenang karena akhirnya ia merasa memiliki teman yang mendukungnya. Meski tak melihat wajahnya, ia yakin, mahasiswa yang masuk ke kelas itu adalah mahasiswa yang beberapa saat lalu berdebat dengan teman-temannya di parkiran kampus. Maryam ingin mengucapkan ter
David berjalan menuju kantin sambil kembali mengingat-ingat saat pertama kali dia melihat wajah gadis berkerudung itu di parkiran kampus tadi pagi.Wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun Anggel adalah yang tercantik di sekolah, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.Pikir David. Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa jam yang lalu.Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis mana pun. Tiba-tiba saja aku seperti berubah. Berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin Jardon benar? Aku memang tidak mengenalnya. David berdialog dengan dirinya sendiri. Ia kemudian sampai di kantin itu dan memesan makanan. Setelah kenyang kembali ke kelas. David menemukan Gadis Dubai itu sed
Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam dikuliahkan di universitas khusus perempuan sehingga ia nyaris tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda remaja itu, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah. Ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Maryam,”lagi pula, aku tidak mungkin menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan itu. Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh bersepeda berboncengan?“Kau berjalanlah duluan,” pinta Maryam kemudian.“Tapi kau jangan jauh-jauh dariku,
Maryam masuk ke kamarnya lalu berbaring di atas kasurnya. Tiba-tiba wajah David terbayang di pelupuk matanya. Berkali-kali ia mengusir wajah itu, tapi bayangan wajah David yang tampan itu tak mau hilang juga dari matanya. Maryam lalu duduk. Dia beristigfar berkali-kali. Namun sesaat dia tersadar saat pertama kali menatap wajah remaja itu tadi ada perasaan aneh yang muncul secara mendadak. Lalu ditambah saat dia menemaninya belajar di kelas tadi dan saat dia menemani Maryam ke halte dengan alasan dia khawatir kalau mahasiswa dan mahasiswi yang tidak suka dengannya itu akan berbuat jahat padanya. Tulus sekali niat pemuda itu, pikir Maryam. Selama hidupnya baru kali itu ada seorang lelaki asing yang baik padanya.Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan William Shakespeare dalam karyanya Romeo dan Juliet?Tidak, itu terlalu cepat untuk menyimpulkannya begitu. Selama ini Maryam tak pernah percaya dengan k
Saat Maryam berada di dalam bus, dia teringat obrolan ayah dan ibunya di ruang tengah dan tak sengaja ia dengarkan di kamarnya. Kedua orang tuanya itu sedang membahas hari ulang tahun ayahnya besok. Ibunya menanyakan hadiah ulang tahun apa yang ayahnya mau. Ayahnya bilang beri saja dia maninan kunci berbentuk ka’bah, agar dia selalu teringat kiblat dan benda itu akan turut mengingatkannya akan sholat lima waktu. Ibunya berjanji untuk memberika hadiah itu pada suaminya. Dan untuk alasan itulah Maryam menanyakan pada David tadi soal toko yang menjual benda-benda yang biasa dijadikan hadiah. Maryam ingin memberi hadiah itu pada ayahnya tepat di hari kelahirannya. M
“Kau belum tidur?” tanya ibunya heran. “Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah, Bu,” ucap Maryam sambil tersenyum senang. Ibunya terkejut, dia baru teringat kalau malam ini suaminya itu ulang tahun. Padahal kemarin malam dia sudah berjanji untuk memberikan kado padanya. Namun dia tak menemukan hadiah yang diinginkan suaminya itu.
Sebuah Bus berhenti di halte. David dan Maryam pun turun dari sana. Sesaat gadis berkerudung itu menoleh pada David.“Terima kasih, Dave. Hari ini kau sudah membawaku untuk mengenal dunia,” ucap Maryam dengan senang.“Sama-sama. Dan aku akan selalu siap untuk menemanimu ke mana pun kau mau,” ucap David.Maryam lalu berbalik dan meninggalkan David di sana. David menatap punggung Maryam yang kian jauh dari pandangan matanya.Dan setelah itu, setiap kali pulang kuliah, Maryam meminta David untuk menemaninya kembali berkeliling kota. Maryam pun meminta David untuk menemaninya ke mall, ke toko buku dan ke tempat restoran Arab yang ada di sana. Mereka mulai saling dekat dan saling mengenal. Mereka mulai merasakan kenyamanan saat bersama.Dan saat Maryam pulang sehabis pergi bersama David itu. Hari itu ada yang berbeda dengan ayahnya. Ayahnya berdiri marah di ambang pintu menunggu Maryam pulang. Maryam berjalan ke arahnya den