sampai di depan sebuah rumah kontrakan satu pintu, ia melirik secara seksama ke dalam rumah. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Lelaki itu memilih menunggu beberapa waktu, hingga tiga puluh menit berlalu rumah tersebut tetap kosong. Akhirnya Ardi memutuskan untuk turun. Ia memerhatikan ke sekeliling dan mendapati ada seorang wanita keluar dari rumah sebelah kontrakan itu. Sang lelaki segera mendekat."Assalamualaikum maaf Bu mengganggu.""Waalaikum salam. Iya ada apa?""Saya mau bertanya Bu, yang tinggal di rumah ini kemana, ya?""Oh sudah pindah, Pak.""Pindah? Ibu tahu kemana pindahnya?""Nggak tahu, Pak."Ardi kembali berpikir."Apa pemilik rumah ini punya seorang anak kecil?""Punya, Pak.""Dibawa ikut juga?""Saya dengar ada yang adopsi, Pak. Soalnya itu bukan anak mereka, anak pantai asuhan."Ardi terdiam napas berat. Merasa sedikit iba pada nasib Seruni kelak. "Diadopsi sama siapa Bu, apa Ibu tahu?""Nggak tahu Pak, tapi yang saya dengar sih orang kaya."Ardi menghela na
Ardi tak menyerah, sepiring indomie rebus plus bakso telur kini ada di dalam nampan. Tidak ada cara lain merebut hati Ze selain dengan makanan.Lelaki itu dengan mantap melangkah ke dalam kamar lalu membuka pintu. Seketika aroma kari dari mie yang ia masak tersebut menguar memenuhi ruangan.Ze masih menutup tubuhnya dengan selimut, seolah memang sudah tidur. Padahal mana mungkin mata bisa terpejam dengan hati yang masih bergemuruh."Umi, Abi masakin mie kesukaan Umi ne. Indomie Kari Ayam plus bakso. Makan yuk."Ze bergeming."Yah, udah tidur. Yaudah Abi habisin aja."Ze masih bergeming, tak terkecoh sedikitpun akan rayuannya. Ardi menarik napas panjang. Dia meletakkan nampan di atas nakas. Lalu naik ke ranjang. Ikut tidur seraya perlahan melingkari tangan memeluk sang istri yang masih berselimut. Ze masih tak bergeming."Maafkan Abi, Mi. Abi mengaku salah. Abi janji nggak bakalan begini lagi."Sejenak hening, hingga detik berikutnya Ze membuka selimut lalu berbalik. Pandangan mereka b
Dua netra Ardi membelalak, sementara di hadapannya Seruni menelan ludah. Ada debar tak biasa dalam dada wanita itu, dua belas tahun tak bertemu, Ardi di matanya semakin menawan. Andai, dia punya satu sosok seperti Ardi untuk berkeluh segala beban pikiran, tentu kondisinya sekarang tak seperti ini.Masih pantaskah dia meminta tolong Ardi untuk mencari putranya? Sedang ia sudah bertaubat dari masa lalu buruk yang pernah dilakukan?Seruni menarik napas dalam.Tidak sampai kapanpun, aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama."Mau mainan yang mana, Dek?" tanyanya dengan sebisa mungkin menjaga nada suara."Yang robot itu, Bu."Seruni mengabaikan Ardi, seolah tak pernah kenal. Meski jantung bertabuh layaknya genderang."Ini Dek mainan yang kamu mau.""Makasih ya, Bu.""Sama-sama.""Berapa harganya?" tanya Ardi dengan memandang wajah Seruni."Tiga puluh ribu."Ardi mengeluarkan uang lembaran lima puluh ribu."Tidak ada uang pas saja, Mas. Dagangan saya baru laku ini, jadi saya tidak punya
"Anak Ibu diculik?" tanya Bu Margareth penasaran.Seruni terdiam sejenak, rasanya enggan jujur. Sebab ini adalah masalah yang begitu privasi untuk ia bagi pada siapapun. Tapi melihat ketulusan Ibu Margareth, rasanya tak adil Seruni menipunya."Saya ini mantan narapidana, Bu."Bu Margareth terhenyak, sedikit ketakutan karena pikiran buruk seketika menerpa. Apa yang menyebabkan wanita di hadapannya ini masuk penjara? Benar-benar Bu Margareth ingin segera keluar dari rumah itu.Seruni yang mendapati wajah Ibu Margareth tiba-tiba berubah, segera menjelaskan perkara yang menimpanya dahulu. Tentang kenapa ia sampai mendekam di balik jeruji besi.Panjang lebar Seruni bercerita membuat Ibunda Han menarik napas berat."Sangat berat beban yang menimpa Ibu, tapi saya salut karena Ibu bisa bertahan sejauh ini."Seruni menyunggingkan selarik senyum dengan terpaksa. Nyatanya ia memang kelihatan tegar, tapi sebenarnya dirinya cukup rapuh. Siang malam yang ada di pikiran selama sepuluh tahun di penja
Bu Margareth mengemasi semua pakaian, esok adalah hari keberangkatan mereka sekeluarga ke negeri Arab. Wanita itu membuka lemari pakaian suaminya. Tak semua pakaian di bawa ke Qatar sewaktu keberangkatan pertama Albert, dan rencananya kali ini lelaki itu meminta sang istri untuk memasukkan semua pakaiannya tanpa menyisakan satu pun.Wanita paruh baya tersebut sudah selesai melakukan pekerjaannya, hanya bersisa berkas di dalam laci lemari. Sebenarnya Pak Albert tak meminta istrinya untuk membereskan laci tersebut, tapi entah kenapa Bu Margareth justru tak enak hati menyisakan satu tempat di dalam lemari.Hingga tangaannya ia gerakkan untuk membuka tempat itu.Tidak banyak berkas, hanya beberapa kartu ucapan dari Bu Margareth dulu setiap kali mereka merayakan anniversary dan ulang tahun. Selebihnya cuma kertas tak jelas dan sebuah amplop kecil yang membuat wanita itu sedikit penasaran.Ia mengulurkan tangan untuk membuka amplop tersebut. Dua netra Bu Margareth mendelik. Isinya adalah se
"Dia bukan anak kami, Bu. Han adalah anak yang kami adopsi."Inilah nasibku menikah dengan lelaki yang tidak jelas siapa ibu dan ayah kandungnya. Tapi beginilah takdir, tidak boleh menyerah apalagi membatalkan karena ijab Qabul sudah terlanjur diucapkan.Dari awal, aku memang sempat menolak menikah dengan suamiku sekarang karena pertama aku tahu di masa mudanya dia bukan pemuda baik-baik. Dia bahkan pernah kedapatan sedang bercumbu dengan pacarnya di dalam mobil. Kedua, karena aku punya kriteria calon suami yang sangat kuidamkan semenjak dahulu. Seminimal Gus Ahmad, dosen Bahasa Arab atau Ustadz Rafiq yang memegang mata kuliah hadist.Tapi kenyataannya, yang menjadi suamiku hanya seorang Han. Yang pernah bersekolah di Al Azhar, tapi kemudian berhenti dan pindah ke jurusan lain di fakultas lain pula.Tapi Umi bilang Han yang sekarang sudah lebih baik, ia bahkan lulusan fakultas terbaik yang ada di Malaysia. Mau menolak gimanapun juga nggak mungkin, perjodohan ini bahkan sudah terjadi s
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak