POV Ardi
Aku mengenal cinta, tepatnya ketika duduk di bangku kuliah. Namanya Seruni. Cantik dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di kampus. Dia juga punya segudang prestasi, mulai dari olimpiade antar kampus hingga penghargaan bergengsi lainnya yang diadakan baik di dalam maupun di luar universitas.
Banyak yang kagum padanya, tapi entah kenapa dia memilihku sebagai kekasih. Tapi semua hancur saat kedua orang tua Seruni justru menjodohkannya dengan lelaki lain.
Aku seperti kehilangan arah hidup. Melihatnya bersanding di pelaminan bersama lelaki lain rasanya begitu menyesakkan dada.
Tapi berselang beberapa bulan setelah itu, Mama yang khawatir aku bakalan kehilangan semangat hidup segera mencari pengganti Seruni.
Namanya Zearetha Bilbis. Gadis shalihah dengan latar belakang agama yang kuat. Dia memang menantu idaman, tapi tidak bisa menjadi istri idaman untukku. Semua ini mungkin karena hati telah sepenuhnya dimiliki oleh wanita lain.
Seruni.
Kuhela napas panjang. Kini setelah terus menggantung harap, dia kembali. Bahkan tidak hanya itu, dia menyatakan bahwa dirinya sudah resmi bercerai. Apa yang harus kulakukan? Bukankah menikah dengannya adalah tujuan, lalu bagaimana dengan Ze?
Wanita itu amat baik, juga tak pernah membuat satu kesalahan pun. Tegakah aku menceraikannya?
Kuabaikan Ze dan fokus pada Seruni yang terlihat begitu sedih saat menceritakan kisah hidupnya. Setragis itu memang, dipaksa menikah dengan lelaki berkelainan seksual hingga akhrinya harus bercerai.
Pasti selama ini hidupnya amat menderita.
Kupeluk dia lalu mengusap lembut kepalanya seperti dahulu ketika dia sering mengadu padaku tentang kedua orang tuanya.
Ya, dia memang sudah semenderita itu semenjak kecil. Dibesarkan oleh ibu kandung dan ayah tiri, Seruni bahkan sering mendapat kekerasan dari keduanya.
Suatu ketika pernah aku mendapati kulit lengan kanannya melepuh karena disiram air panas oleh sang ibu.
Kini setelah tahu dia sudah berpisah, ada sebuah harapan. Andai ada kesempatan, aku ingin membahagiakannya.
"Sudah jangan menangis, ada aku di sini."
Tiba-tiba dia mendorong tubuhku.
"Maaf Mas, kamu tak seharusnya di sini. Pulanglah, sebagai seorang wanita aku merasa bersalah telah mengajakmu bertemu."
"Kenapa?"
Aku tak mengerti kenapa dia tiba-tiba marah.
"Kau sudah menikah, hati istrimu pasti sakit jika melihat kita begini."
"Tidak apa, aku hanya menghiburmu. Kita tidak melakukan hal yang berlebihan."
"Tapi hatiku? Jika kau terlalu baik padaku, aku bisa menaruh kembali rasa padamu."
Kami bertatapan, sejenak hening. Aku tahu ada jurang besar diantara kami, tapi bolehkan aku memindahkan jutang itu agar bisa bersamanya. Wanita yang masih begitu kucintai.
"Aku ingin membahagiakanmu."
"Hah?"
Dua netra Seruni membelalak.
"Jika dengan menikahimu aku punya kesempatan untuk itu, maka terimalah aku sebagai suamimu."
"Menikah?"
Kuanggukkan kepala.
"Lalu bagaimana istrimu?"
"Kami menikah tanpa cinta. Aku yakin sampai detik ini dia bertahan hanya karena tak punya alasan untuk berpisah. Jika dia tahu akupun punya keinginan yang sama, dia pasti akan paham dan setuju."
Seruni masih tercengang.
"Ze jangan kau pikirkan, percayalah dia pasti sangat setuju dengan semua keputusanku ini. Sekarang aku ingin bertanya padamu, maukah kau jadi istriku?"
Dua netranya basah. Lalu ia menangis seraya memelukku. Anggukan menjadi pertanda bahwa keinginanku telah mendapat lampu hijau.
*
Pulang ke hotel, perasaan begitu tak menentu. Apa yang kujanjikan pada Seruni? Bagaimana caranya mengatakan pada Ze jika aku ingin berpisah?
Kubuang napas panjang, meraih ponsel hendak membuka-buka galeri untuk menatap foto Seruni. Tapi mendadak hati ini seperti tersetrum. Ingatan ini tertuju pada wanita haynh kutinggalkan di Jakarta. Akhirnya kuputuskan untuk mengirimkan Ze sebuah pesan.
[Udah tidur?]
Aku merasa degup jantung tak biasa. Dialah wanita yang akan kuceraikan? Kepala terasa berat, ah kenapa harus serumit ini?
[Belum.] balasnya.
[Mas telpon, ya.]
[Iya.]
Dua tahun bersama, setiap kali dinas keluar kota tak pernah aku menghubunginya terlebih dahulu. Tapi dia tak mempermasalahkan hal itu. Ya, jelas sekali terlihat bahwa dia belum mencintaiku. Jadi sangat mudah untuk menerima kaputusan untuk pisah.
[Kenapa belum tidur, kan udah jam sebelas?]
[Perasaanku sedang nggak enak, Mas.]
Deg.
Apa dia sudah mulai punya firasat?
[Kenapa?]
[Entahlah, aku merasa seperti ada sesuatu yang mencoba mengusik hidupku.]
[Siapa?]
Di detik ini aku merasa menjadi lelaki yang paling egois, tak bertanggung jawab. Pernikahan bukan tentang memiliki apa yang kita inginkan, tapi bertahan demi mendapat kebahagiaan.
Meninggalkannya apakah yang terbaik untukku?
[Aku belum bisa membacanya, Mas.]
[Hem, udah shalat?]
Ah, aku jadi tidak tahu harus bertanya apa.
[Udah.]
[Yasudah, tidurlah. Supaya pikiran lebih tenang.]
[Iya.]
Rasa bersalah semakin dalam menghujam dada.
[Ze?]
[Hem.]
[Maaf, ya.]
Apapun itu, niat bercerai adalah salah.
[Untuk apa?]
[Untuk semuanya.]
[Iya.]
Tapi demi sesuatu yang sangat berharga yang sedari dulu sudah kuimpikan? Akan kulakukan.
[Selamat tidur.]
[Selamat tidur, Mas.
*
"Ardi, kamu dimana, Nak?"
Lima belas menit mau masuk ke ruangan, Mama tiba-tiba menelpon.
"Sedang ikut pelatihan Ma, di Bandung."
"Oh, Ze dimana?"
"Di rumah, sama Sandy. Mama apa kabar?"
"Mama sedang tidak sehat."
"Mama sakit?"
"Iya, jika kamu punya waktu. Hari ini datanglah ke rumah, ada hal penting yang mau Mama bicarakan."
"Hal penting apa, Ma?"
"Nanti di rumah Mama kasih tahu. Usahakan datang, ya."
"Iya, Ma. Nanti selepas acara penutupan, aku langsung ke sana."
"Terima kasih Sayang. Hati-hati ya."
Sesuai janji, tepat pukul enam sore aku langsung meluncur ke Tangerang. Di sana ternyata sudah ada Ze. Sebenarnya apa yang mau disampaikan mama, kenapa Ze juga ada?
*
Aku menganjurkan napas, ternyata Mama berharap aku dan Ze bisa segera memberinya momongan. Huh! Lalu bagaimana dengan keinginanku untuk menikahi Seruni?
Sebaiknya aku bicarakan saja terlebih dahulu pada Ze, tapi kapan waktu yang tepat?
Terlebih malam ini, ada tugas yang harus kuselesaikan untuk persiapan presentasi di sekolah besok siang.
Sebaiknya, kupikirkan lain kali. Malam ini fokus pada tugas. Aku mengeluarkan laptop dan mulai mengerjakan persiapan presentasi esok hari. Tiba-tiba ...
"Siapa Seruni, Mas?" tanya Ze membuat tanganku terhenti seketika. Jantung berdegup lebih cepat, darimana Ze bisa tahu nama Seruni?
Aku menatapnya sejenak. Namun, semakin tercengang saat Ze justru memperlihatkan foto ketika diriku memeluk dan menenangkan Seruni saat di rumah sakit. Bagaimana Ze bisa mendapatkannya?
Kupejamkan mata sejenak.
"Kenapa diam, Mas? Jujur aja semuanya. Kita menikah bukan sehari, tapi dua tahun. Apa selama itu kamu tidak sedikitpun menganggapku sebagai istri, hingga tega kamu memeluk dan mengusap pipi wanita lain?"
Istri? Aku tertegun sejenak. Sesuatu mengetuk relung hati. Bayangan ketika mengecup keningnya pertama kali, setiap perhatian yang dia berikan, dan yanh paling utama adalah malam pertama setelah berbulan-bulan menahan diri.
Jujur dialah wanita pertama yang pernah kusentuh. Bersama Seruni, hubungan kami memang berlangsung lebih dari setahun, tapi aku tak pernah menyentuhnya. Kujaga ia agar tetap suci karena cintaku padanya tulus dengan harapan bisa bersatu sampai pernikahan.
Namun, Ze bukan yang kudamba. Serunilah yang menjadi impianku selama ini.
"Kita memang perlu bicara Ze, tapi Mas harap kamu bisa mengontrol emosimu. Ada Mamaku yang harus kita jaga di rumah ini."
Aku menarik napas dan ikut duduk dengannya di atas ranjang.
"Dia wanita yang pertama yang Mas cintai dari dulu sampai detik ini, Ze," ucapku terbata.
Antara rasa bersalah juga penyesalan.
Aku lihat dia seperti terguncang. Salahkah aku? Sakitkah dia?
Dalam segenap rasa bersalah, aku melanjutkan berterus terang padanya. Ya, aku tidak mau berdusta, karena bermain di belakang akan lebih sakit terasa daripada keterusterangan ini.
"Dia datang dan mengatakan bahwa sudah bercerai dari suaminya. Dan itu membuat sebuah harapan yang sempat terhempas seperti menemukan kembali tujuannya. Ze, kita sama-sama tahu, bukankah pernikahan kita terjadi atas perjodohan. Dan sampai detik ini, Mas sudah berusaha untuk melupakan dan menggantikannya dengan posisimu di hati? Tapi maaf Ze, Mas belum bisa mencintaimu."
Kuberanikan diri menatap wajahnya, dua netra bening itu kini dipenuhi cairan.
"Apa yang Mas inginkan?"
Aku seperti kehabisan kata, kucoba menelan ludah untuk melanjutkan ucapan.
"Ze, kamu cantik dan shalihah. Mas yakin di luar sana pasti ada lelaki lain yang lebih pantas mendampingimu, tentunya yang sholih dan mencintai serta siap membahagiakanmu seumur hidupnya. Bukan Mas, lelaki yang bisa menjaga perasaanmu bahkan belum sempurna dalam ibadah."
Dia mengusap air mata yang merembes perlahan di kedua pipi. Entah kenapa ada yang membuat nyeri di dada ini. Tapi aku tidak boleh lemah. Lelaki baik berani menyatakan apa yang dia rasa dan berani bertanggung jawab atas apa yang pernah dia ikrarkan di hati. Dan aku pernah berikrar untuk mempersunting Seruni, kapanpun itu.
"Mas ingin kita bercerai," ucapku terbata. Bagaimanapun, tak mudah untuk mengucap kata itu. Yang kutahu boleh tapi dibenci Allah.
"Lalu bagaimana dengan Mama?" tanyanya menyadarkanku dari keinginan yang begitu menggebu ini.
Kuusap wajah dengan kedua tangan.
"Mama biar Mas yang bicara."
Dia terdiam beberapa detik, terlihat berusaha menenangkan diri. Mungkinkah dia akan menolak?
"Baiklah, Mas. Aku terima."
Aku tidak terkejut, sudah kuprediksi akan semudah ini menceraikannya. Aku takkan lupa jika diantara kami memang tak pernah ada cinta. Jadi tentu dia akan dengan mudah move on dari pernikahan ini.
*
Ze sudah tiga kali bolak balik dari kamar ini untuk mengeluarkan barang-barangnya, pakaian dan alat kosmetik. Aku hanya memerhati tanpa berucap apapun.
Selepas dia keluar dari kamar, aku membaringkan diri di atas ranjang. Kini entah kenapa aku merasa ada yang hilang di kamar ini.
Biasanya Ze akan sibuk bercerita, tentang hari-harinya, tentang usahanya berjualan online. Tapi bukankah ini kabar gembira, aku tidak perlu lagi mendengar ocehan wanita itu.
Kuraih ponsel untuk kemudian menelpon Seruni. Aku akan mengabarkannya tentang keputusanku menikahinya secepatnya. Tentu tanpa diketahui Ze. Hingga perceraian kami sah secara agama.
Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.
Ck! Kenapa nomornya tidak aktif.
Krookkk!
Tiba-tiba perutku perih. Sudah satu bulan lebih asam lambung kumat. Apalagi tadi pagi, memang aku 'kan memilih tidak makan.
Di rumah ada makanan nggak, ya?
Aku keluar dari kamar, rumah terlihat senyap seperti tak berpenghuni. Lantai pun cukup berdebu. Jendela rumah masih tertutup.
Kemana Ze? Bukankah semua ini tugasnya?
"Ze ...."
Mendadak, aku berdiri kaku. Kenapa aku memanggilnya? Bukankah kami sudah bercerai?
***
Bersambung
Trima kasih sudah membaca.
Mohon bantu subsrcribe
Utamakan baca Al-Quran.
Tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.***Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada buah cintaku dan Mas Han yang hari ini genap berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah, selain kualitas bahagia yang semakin jauh biduk rumah tangga mengarungi semakin bertambah pula kadar rasanya.Aku membelalak menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi telah kupakai ini. Antara terkejut dan bahagia, entahlah. Mungkin ini terlalu cepat, tapi dengan penuh kesadaran kuiyakan saat Mas Han membujuk untuk bersedia kembali menambah jumlah keluarga ini.Oya berbicara tentang usaha, kini suamiku dan Abi sukses merintis usaha jual beli mobil klasik. Usaha ini membuat Mas Han tidak lagi mencoba melamar pekerjaan sesuai dengan kemampuannya di luaran sana. Mengingat hasil yang didapat melebihi target yang diperkirakan. Menurutku ini adalah sebuah anugerah untuk keluarga kecil kami ini yang sangat kusyukuri.Sambil menunggu M
Kedua kaki Seruni tiba-tiba kehilangan kekuatan, ia seketika terjatuh ke lantai. Bersyukur, Han dengan segera menangkap dan berhasil mendudukkan ibundanya di atas sofa."Ambilkan segelas teh hangat," pinta Ze pada ART nya."Baik, Bu."Mereka semua mendekati Seruni yang sudah ditidurkan Han di atas sofa."Maaf ya Abi, Umi. Padahal tadi di rumah, Ibu terlihat cukup sehat. Tapi kenapa tiba-tiba jadi pingsan begini, ya?" tanya Han khawatir. Ze dan Ardi terkejut bukan main mendengar ucapan Han tersebut."Dia ibu kandung kamu, Han?" tanya Ze yang masih tak percaya dengan kenyataan tersebut.Sementara Han, tanpa ada perasaan apapun seketika mengangguk yakin. Membuat Ardi dan Ze saling bertatapan."Kapan kamu menemukannya? Dan bagaimana kamu sangat yakin jika dia ibumu?"Ze kembali melempar pertanyaan."Menurut pengakuan Ibu sendiri, Mi. Tapi Han sudah mengirim sampel rambut untuk diuji DNA lagi. Supaya lebih pasti.""Hasilnya udah keluar?"Han menggeleng."Tapi kenapa kamu seyakin itu?"Ze
Seruni menatap Han yang sudah tampak rapi dan ingin memimpin shalat subuh pagi itu, sungguh rasa syukur tak henti ia langitkan kepada Rabb semesta alam. Betapa hal ini tidak terbayangkan dalam pikirannya, tapi Allah telah menjadikan semua itu nyata.Sementara di hadapan, Han menyunggingkan selarik senyum ke arah ibu dan istrinya lalu mengambil posisi di depan. Dia memang bukan lelaki dengan tingkat keimanan yang tinggi, tapi setidaknya Han pernah beberapa kali memimpin shalat saat masih duduk di bangku kuliah dahulu.Usai shalat, mereka membaca doa bersama, dilanjutkan duduk berzikir. Selesai semuanya pukul enam. Han mengajak sang ibu ke taman belakang, sementara Syarifa memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Duduk di taman, Han mengajak ibundanya berbicara."Bu, pagi ini aku akan berangkat kerja. Nanti di rumah, Ibu akan ditemani Syarifa. Boleh 'kan, Bu?" tanya Han seraya memegang jemari sang ibu.Seruni menatap snag anak, entah kenapa perasaannya tidak enak."Pergilah, lakukan a
Han berlari memeluk ibundanya. Ada rasa sedih dan haru yang melebur menjadi satu, jika mengingat semenjak lahir tak pernah tahu siapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Tapi Allah Maha Baik, menampakkan semuanya meski waktu telah bergulir sedemikian lama.Kini, ia tak mau lagi kehilangan ibundanya. Setiap waktu, akan ia pergunakan untuk menggantikan semua detik yang telah berlalu. Ia benjanji untuk itu.*Setelah beberapa waktu terlalui, Seruni melerai pelukan lalu ia memerhatikan wajah sang anak dengan seksama. Wanita itu menggerakkan tangannya untuk mengusap wajah Han mulai dari rambut, alis, mata, hidung, pipi lalu membingkai wajah Han dengan kedua tangan yang tampak kotor tak terurus.Dua netra yang sedari tadi berkaca kini menumpahkan cairannya. Isak tangis menghiasi hari paling bersejarah tersebut."Sudah habis cara kuberdoa pada Allah. Tidak lain aku meminta Allah panjangkan umur agar bisa bertemu denganmu, Anakku."Hana kembali memeluk sang Ibu. Seperti halnya Serun
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin